Rabu (8/7) ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghadiri sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai pihak Teradu dalam perkara yang diajukan oleh Cinde Laras Yulianto. Ketua KPU, Arief Budiman, menguraikan argumentasi sebagai bentuk pembelaan. Simak keterangan dan jawaban Arief selama persidangan DKPP dalam bentuk wawancara.
KPU mengeluarkan norma agar mantan narapidana tiga kasus kejahatan, yakni korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak tidak dicalonkan di dalam Peraturan KPU (PKPU). Apa landasannya?
Dalam merumuskan suatu peraturan, ada tiga landasan, yakni filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam landasan filosofis yang kami kemukakan di dalam surat kami, norma ini dibuat dari pandangan bahwa praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta membahayakan eksistensi negara. Kemudian landasan sosiologis, kami melihat bahwa norma tersebut merupakan semangat yang berangkat dari nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dan tuntutan reformasi akan terselenggaranya pemerintahan yang bersih dari praktek KKN. \
Sementara itu, landasan yuridis, kenapa norma ini muncul, di Pilkada 2015, 2017, dan 2018, begitu banyak calon yang terlibat tindak pidana korupsi. Pada sata itu, ketika mereka ditetapkan sebagai tersangka, harapan partai politik dan pemerintah agar calon-calon itu bisa diganti. Padahal, dalam regulasinya tidak bisa diganti.
Lalu banyak pihak khawatir kalau dia jadi tersangka, lalu dia menang, maka rakyat dirugikan karena memilih calon berstatus tersangka. KPU inginnya waktu itu, ketika ada calon berstatus tersangka korupsi, dia didiskualifikasi saja, tapi partai-partai tidak setuju karena mereka rugi tidak punya calon lagi. Nah, perdebatan panjang itulah yang membuat kami menelaah berbagai regulasi yang berkaitan dengan pemilihan pejabat-pejabat negara melalui pemilu.
Kami lakukan pengecekan, dan ternyata, dari tiga jenis pemilu, yakni pilkada, pemilihan legislatif (pileg), dan pemilihan presiden (pilpres), ada regulasi yang mengatur suatu norma, tetapi norma itu tidak ada di pileg. Di pilkada, ada UU yang mengatur larangan bagi bandar narkoba dan kejahatan seksual. Di UU Pemilu No.7/2017, pada bagian syarat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), calon dilarang pernah melakukan tindak pidana korupsi. Nah, dua pengaturan inilah yang menurut kami harus diperlakukan setara untuk memilih pejabat yang dipilih melalui pemilu, karena pejabat di legislatif adalah partner bagi pejabat di eksekutif. Maka, selayaknya mereka dipilih dengan cara dan syarat yang sama agar ekual dan pemilunya yang berbarengan sama-sama mendapatkan orang-orang yang kualitasnya sama. Oleh karena itu, dua regulasi yang tidak dimasukkan di pileg, kami masukkan ke PKPU.
Tapi di UU Pemilu kan berarti tidak ada syarat itu. Mengapa tidak meminta agar Pemerintah merevisi UU Pemilu agar kemudian baru diturunkan ke PKPU?
Kami waktu itu mendorong agar ini diatur di UU, tapi pembuat UU mengatakan tidak cukup waktunya. Peraturan Pemerintah juga tidak mungkin mengatur ini. Maka, satu-satunya peluang mengatur itu adalah di PKPU.
KPU tidak merasa norma ini bertentangan dengan prinsip-prinsip pembuatan peraturan perundang-undangan?
Ya, dalam pandangan kami, norma ini tidak bertentangan. Pertama, KPU diberikan kewenangan atributif. Kedua, KPU punya pengalaman di pemilu-pemilu sebelumnya, bahwa ada regulasi yang belum diatur di UU, tapi kemudian KPU mengatunya untuk mengisi kekosongan. Jadi, bukan untuk menerbitkan norma baru tapi untuk mengisi kekosongan supaya tahapan pemilu tetap berjalan lancar. Hal-hal yang belum diatur di UU, diatur di PKPU.
Pengalaman itu misalnya, di Pilkada 2015, kami pernah membuat PKPU yang normanya belum diatur di UU. Kemudian, ketika pembuat UU merevisi UU tersebut, aturan di PKPU diadopsi menjadi UU. Itulah yang terjadi pada UU pilkada yang beberapa pasalnya mengadopsi beberapa aturan di PKPU.
Atas dasar fakta itu, KPU berpandangan ini bisa diatur di PKPU lebih dulu, baru nanti ketika pembuat UU merevisi UU, ini bisa diatur di UU. Karena kebutuhan memang mendesak dan pencegahan itu harus dilakukan sekarang.
Kekhawatiran orang pada Pilkada 2015 akhirnya terbukti di Pilkada 2018. Ada orang yang mengatakan serahkan saja ke pemilih untuk tidak memilih tersangka korupsi, tapi ternyata itu tidak cukup karena faktanya, calon berstatus tersangka dan sudah ditahan di penjara, menang Pilkada. Jadi, kalau mau lindungi hak pemilih, harus diatur di regulasi.
Selain itu, norma larangan ini juga kami atur di PKPU Pencalonan Anggota DPD. Tapi tidak ada yang mempersoalkan PKPU itu. Namun ketika norma yang sama dimasukkan ke PKPU Pencalonan Anggota DPR dan DPRD, muncul persoalan.
Kami mengundang para ahli hukum dan ahli pemilu, semua berpendapat bahwa norma larangan ini sebaiknya dimasukkan ke PKPU. Begitu juga saat kami berkonsultasi dengan Pemerintah dan DPR, semua yang hadir setuju terhadap susbtansi diaturnya larangan terhadap mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak. Perbedaan pendapat hanya soal dimana aturan itu ditempatkan, di UU atau di PKPU. Dengan fakta itu, KPU semakin yakin, bahwa pendapat yang sama terhadap substansi mesti kami carikan jalannya agar menjadi resmi.
KPU pernah mengeluarkan statement bahwa KPU ini dapat berlaku sejak disahkan. Apa menurut Bapak PKPU tidak perlu diundangkan?
Dalam proses pembuatan PKPU, kita harus berhati-hati pada istilah pengesahan dan pengundangan. Kalau pengesahan, itu oleh KPU sendiri. Sementara pengundangan adalah kewajiban administrasi lembaga yang diberi wewenang untuk mengundangkan. Untuk meyakini pandangan ini salah atau tidak, kami berdiskusi dengan ahli hukum tata negara. Mereka berpendapat bahwa sebuah peraturan sah sejak disahkan oleh lembaga yang punya otoritas untuk mengesahkan peraturan. Jadi, kami sudah mengesahkan, tetapi tetap kami meminta agar Kemenkumham segera mengundangkan.
Pengadu mengatakan bahwa substansi larangan di PKPU sebelum dan sesudah diundangkan adalah sama. Bagaimana pandangan Bapak?
Sinkronisasi kami lakukan setelah kami mengesahkan PKPU tanggal 30 Juni. Kami meminta Kemenkumham mengesahkan, dan kemudian Kemenkumham mengundang kami beserta para ahli hukum dan ahli pemilu. Kalau tidak salah ada tiga kali diskusi.
Dalam diskusi itu, kami mendapat masukan, dan memang dalam pandangan kami sebelumnya juga memang lebih tepat dimasukkan pada saat pencalonan, bukan di syarat calon. Karena, di dalam proses pemilu ini, yang jadi peserta pemilu adalah partai politik. Partailah yang punya wewenang siapa mengusulkan seseorang untuk menjadi bakal calon (balon). Maka, kami sepakat memindahkan dari semula mengatur calon, lalu diserahkan ke peserta pemilu. Jika tidak dipenuhi, maka pendaftaran balon tersebut dinyatakan ditolak atau dinyatakan tidak memenuhi syarat (TSM).
Jadi, sanksinya dibebankan kepada calon yang merupakan mantan narapidana tiga kasus kejahatan atau semua calon yang ada di daftar calon daftar pemilih (dapil) tertentu? Penyelenggara pemilu harus memberikan kepastian hukum kepada peserta pemilu, tetapi di PKPU 20/2018 tidak dijelaskan balon mana yang akan didiskualifikasi jika ada mantan narapidana tiga kasus kejahatan di dalam daftar calon.
Pada dasarnya kami menghukum partai karena partai yang bisa mengusulkan. Kalau partai mencalonkan mantan narapidana tiga kasus itu, maka pencalonan yang bersangkutan tidak diterima. Mereka harus mengganti pada tahap perbaikan. Kalau yang TSM itu menyebabkan satu dapil TMS karena mantan narapidana itu adalah perempuan sehingga mempengaruhi 30 persen, maka partai itu dinyatakan tidak ikut pemilu di dapil yang bersangkutan.
Jadi, hubungan ini adalah antara KPU dengan partai politik, bukan KPU dengan balon per balon. Yang mendaftarkan sebagai balon anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, bukan perseorangan. Jadi, sanksi ini diberikan kepada partai yang telah menandatangani pakta integritas.
KPU memang mengubahnya menjadi tanggung jawab partai politik, tapi sebetulnya, sanksi ini bermuara pada syarat calon. Karena calon merupakan mantan narapidana korupsi atau bandar narkoba atau kejahatan seksual, maka dia akan dinyatakan TMS oleh KPU. Apa pandangan KPU?
Substansinya, KPU menghukum partai politik. Kalau ternyata partai mencalonkan mantan narapidana tiga kasus kejahatan, maka kena ke calonnya itu. Nah, ketika kami menyatakan balon TMS, kami tidak memberitahukan ke balon, tapi ke partai, bahwa daftar balon yang diajukan ada yang TMS. Jadi, sanksi itu kepada partai, tapi berkonsekuensi ke calon yang dia ajukan.
Calon yang TMS, kalau dia mengganggu terpenuhinya keterwakilan 30 persen, itu bisa menggugurkan kepesertaan di satu dapil karena ada syarat lain yang harus dipenuhi.
Ada pihak yang menilai norma larangan ini bertentangan dengan UU Pemilu dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Karena KPU adalah penyelenggara pemilu, maka referensi utamanya mestinya adalah UU Pemilu. Nah, kalau UU Pemilu membuka syarat sebagai mantan terpidana untuk nyaleg, kemudian KPU menuntut itu, bagaimana kata peraturan perundang-undangan dan Putusan MK?
Pertama, di UU Pemilu, mantan terpidana boleh nyaleg, asal dia sudah selesai menjalani pidananya. Kedua, dia bukan mantan terpidana tiga jenis kejahatan, yaitu korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak. Tiga ini kami adopsi dari UU pemilu yang lain dan UU Pemilu itu sendiri.
Terkait Putusan MK, MK mengatur umum, tidak spesifik jenis pidana apa. Sementara itu, PKPU spesifik membatasinya. Jadi, kami mengatur sebagian, dan itu ada rujukannya.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) dengan tegas mengatakan tidak akan mengundangkan PKPU tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD. Tapi tiba-tiba, Menkumham mengundangkan. Bisa jelaskan hal ini agar KPU terbebas dari tuduhan pelanggaran etik? Ada apa antara KPU dengan Menkumham?
Setelah KPU mengesahkan PKPU dan menyampaikan permohonan untuk diundangkan, kemudian Menkumham mengajak membahas bersama. Tidak ada negosiasi antara KPU dengan Pemerintah. Dalam pembahasan itu tidak hanya KPU dan Menkumham, tapi juga ada Bawaslu di pertemuan pertama, dan ada ahli-ahli hukum dan pemilu.
Menkumham mengasakan tidak akan mengundangkan karena dia tidak mendengar langsung penjelasan dari kami. Setelah kami jelaskan, mereka bisa menerima. Tapi memang, mereka masih mempertimbangkan bagaimana cara mengaturnya, apakah tetap di Pasal 7 atau Pasal 4. Kami juga membahas lagi dan akhirnya kami menerima masukan dari forum diskusi itu. Jadi, norma ini adalah masukan dari berbagai pihak.