Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arif Rahman Hakim, menceritakan pengalaman selama mengelola pemilu di Indonesia. Menurutnya, pengelolaan pemilu gampang-gampang susah. Simak penjelasan Arif dalam format wawancara.
Bagaimana pengalaman selama terlibat dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia?
Menyelenggarakan dan mengelola pemilu itu dari sisi manajemen, gampang-gampang susah. Gampang kalau syarat-syarat menyelenggarakan pemilu terpenuhi.
Apa saja syaratnya?
Empat syaratnya. Pertama, tersedia sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Kedua, tersedia anggarannya. Ketiga, tersedia sarana dan prasarana. Keempat, tersedia peraturan yang lengkap. Kalau itu semua terpenuhi, maka mudah kita mengelola pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilu.
Empat persyaratan sudah terpenuhi?
Saat ini, penyelenggaraan pemilu belum sesuai dengan harapan yang ada. Soal SDM, kami sudah membuat kalkulasi satuan kerja (satker) KPU. Untuk satker KPU kabupaten/kota, perlu didukung oleh 17 pegawai negeri sipil (PNS). Kalau KPU provinsi, perlu 35 PNS. Untuk pusat, 600 PNS. Nah, jumlah yang ada belum sesuai kebutuhan.
Perhitungan kita, dibutuhkan sebanyak 9.700 PNS. Saat ini, baru 51 persen, sekitar 5.300 PNS. Sisanya, KPU mempekerjakan pegawai pinjaman dari daerah atau lembaga lain.
Kalau anggaran, apakah tersedia cukup? Berapa kebutuhan anggaran yang dibutuhkan KPU secara keseluruhan?
Apabila tidak ada pemilu, anggaran yang kita punya hanya cukup untuk kegiatan operasional, yaitu 1,7 triliun rupiah per tahun untuk 549 satker. Anggaran ini adalah 60 persen dari yang dibutuhkan. Ini yang jadi tantangan sehingga setiap tahun, jumlah itu hanya cukup untuk operasional pegawai tanpa ada anggaran untuk pengembangan-pengembangan yang dibutuhkan.
Kemudian, kalau sedang menyelenggarakan pemilihan, KPU memang dapat anggaran total yang sangat besar. Untuk 2018, jumlahnya sekitar 10,8 triliun rupiah.
Jumlah itu hampir 50 persennya atau lebih dari 5 triliun rupiah dialokasikan untuk badan penyelenggara ad hoc. Ada hampir 5 juta orang di badan ad hoc, baik petugas Tempat Pemungutan Suara (TPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS) maupun Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
Anggaran itu selalu habis digunakan dalam penyelenggaraan pemilu?
Kami berupaya untuk menggunakan anggaran yang sudah dialokasikan. Namun, dalam merencanakan pemilu, banyak faktor ketidakpastian. Sampai saat ini misalnya, kita gak tau berapa jumlah pasangan calon (paslon). Oleh karena itu, kita harus antisipasi berapa kira-kira agar kita tidak kekurangan anggaran. Kita analisis kemungkinan paslon ada berapa. Kalau yang terjadi kurang dari prediksi, inilah yang mengakibatkan tidak semua anggaran terserap.
Tapi yang pasti, anggaran itu akan kami kembalikan ke negara. Untuk KPU ini, dilakukan audit spesial dengan pemeriksaan tertentu dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pemeriksaan itu sifatnya investigasi. Jumlah auditornya lebih banyak dari jumlah pegawai KPU sendiri.
Kalau anggaran untuk logistik bagaimana?
Untuk logistik sebenarnya kecil sekali. Untuk Pemilu 2019, logistik memang meningkat. Agak besar dibandingkan Pemilu 2014 karena ada perubahan aturan untuk menggunakan kotak suara transparan. Sebagai konsekuensi, kami harus mengadakan kotak suara transparan secara keseluruhan. Jumlahnya mendekati 5 juta kotak suara dan anggarannya sekitar 600 miliar rupiah.
Alokasi anggaran lainnya untuk apa?
Ada alokasi untuk kampanye, pendidikan pemilih, dan pemutakhiran data pemilih.
Terakhir, syarat sarana dan prasarana, apakah sudah tersedia?
Belum. Kalau datang ke KPU kabupaten/kota, hampir 63 persen kantor KPU kabupaten/kota masih pinjam dari Pemerintah Daerah karena kami masih belum punya gedung sendiri.
Apa harapan Bapak ke depan?
Kami punya harapan agar semua komponen, semua stakeholder mendukung kerja-kerja KPU untuk memenuhi empat syarat di luar syarat regulasi, yaitu SDM, anggaran, dan sarana-prasarana.