September 13, 2024

Asqalani: (Di Pemilu pun) Kalau Membunuh atau Membakar, Sudah Kriminal

Pemilu 2014 di Aceh perlu diperhatikan secara khusus karena tak hanya berkonteks transisi demokrasi tapi juga transisi damai. Ada potensi konflik yang relatif lebih tinggi di Serambi Mekah itu. Tak hanya isu ragam kepentingan lokal tapi juga sentimentil lokal-nasional. Terakhir (31/3) terjadi penembakan yang menewaskan empat orang penumpang mobil juru kampanye salah satu partai lokal.

Sebelumnya, rumahpemilu.org mewawancara Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Aceh, Asqalani di Banda Aceh (15/3) untuk mengetahui pengawasan pemilu di Aceh beserta potensi konfliknya. UU No. 8/2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD disertakan dengan UU No.11/2006 tentang Pemerintah Aceh, membedakan pelaksanaan pemilu di Aceh dengan provinsi lain. Berikut hasil wawancaranya:

Pengawasan Bawaslu Aceh di Pemilu 2014 di Aceh bagaimana?

Pengawasan Bawaslu Aceh adalah tugas negara yang amanatkan undang-undang. Ini bukan kepentingan pribadi pengawas pemilu tetapi untuk kepentingan rakyat Aceh. Tetapi di luar itu, pengawas pemilu harus tetap konsisten dengan ketentuan menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengawas, baik pencegahan maupun pendidikan.

Untuk penindakan, banyak laporan yang kita temukan dan ditindaklanjuti. Untuk tingkat provinsi kita sudah pernah menyelesaikan. Jadi, ada 9 dugaan kasus pelanggaran pemilu sudah kita tindaklanjuti semua dan sudah kita putuskan. Ada yang tak memenuhi unsur penyelenggaraan pemilu, ada yang pidana, ada yang administrasi dan ada yang kode etik dan ada sengketa pemilu, ada sejumlah satu kasus pidana pemilu yang diteruskan ke kepolisian, selebihnya itu pelanggaran adminisrasi pemilu.

Tingkat kabupaten/kota juga sedang penindakan dan tindaklanjut laporan di masyarakat. Seluruh Aceh. Sekarang, seluruh jajaran pengawas pemilu sudah terbentuk. Tingkat kabupaten/kota, 23 kali 3 pengawas ada 69 orang. Kemudian di tingkat kecamatan, 298 kali 3. Di tingkat desa, 7053 orang pengawas pemilu lapangan, jadi hampir 7800-an kalau dijumlahkan total. Semuanya siap dan dibekali edukasi pendidikan pengawasan tata cara pengawasan dan tata cara pelaporan pelanggaran.

Ini lembaga baru permanen jadi banyak pembenahan yang mesti dilakukan. Konsolidasi internal, memperkuat kelembagaan itu menjadi hal penting. Kemudian, memberikan pendidikan dan pengawasan kepada penyelenggara pemilu sampai tingkat PPL dan masyarakat secara lebih luas.

Pengawasan yang sifatnya khusus di beberapa daerah rawan konflik, dari Bawaslu penangannanya seperti apa?

Kalau penanganan pelanggaran pemilu, diatur peraturan Bawaslu secara formal, harus memenuhi syarat formal dan materiil. Syarat formal, identitas pelapor dan pelaku jelas. Kemudian penanganannya, kalau yang berhubungan dengan pidana pemilu maka ketentuan atau menerapkan pasal di pidana pemilu. Di luar itu, pengawas pemilu untuk menindaklanjuti pelanggaran pemilu.

Kalau sudah membunuh, membakar, sudah kriminal. Masuk tindak pidana umum dan harus diselesaikan oleh kepolisian. Itu ranah kepolisian.

Apa tugas pengawas pemilu saat itu?

Ya bisa berfungsi sebagai mitra kepolisian dalam kasus pidana umum. Memberikan data dan informasi berkoordinasi. Itu yang dilakukan pengawas pemilu dan itu tak menjadi kewenangan Bawaslu menindaklanjuti. Upaya awal yang harus dilakukan pengawas pemilu untuk meminamilisir adalah preventif (pencegahan). Bentuknya dengan berkomunikasi, sosialisasi, dan koordinasi dengan partai. Mengundang para pihak untuk saling mengidentifikasi berapa persoalan yang muncul di kabupaten/kota untuk bisa diselesaikan.

Pembiaran pada hal itu berpotensi kekerasan. Tugas pengawas pemilu harus lebih sigap untuk melakukan beberapa strategi, kontrol konstruktif untuk mencegah adanya pelanggaran.

Hasil koordinasi dengan kepolisian atau peserta pemilu, bagaimana gambaran wilayah atau lokasi yang rawan konflik?

Konflik sering terjadi di wilayah pantai utara di daerah Aceh Utara, Lokhsmawe, dan Bireun. Wilayah pantai barat di daerah Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya. Itu daerah yang selama ini pernah terjadi aksi kekerasan.

Motif dari konflik itu di konteks pemilu ini, apa ya?

Motifnya saya kira kita tak tahu lebih pasti. Apakah ini dilakukan partai, ini juga belum ada kejelasan. Kepolisian yang harus mengungkapkan ke publik. Motifnya, siapa terlibaat, bagaimana konteks politik atau ekonominya. Negara harus mengidentifikasi. Pengawas pemilu tetap pada porsi, dan tupoksi. Di banyak kesempatan saya selalu menyampaikan, mereka harus berkompetisi secara fair, arif, dan mememiliki kesatuan karena kearifan lokal di Aceh memang orang bermusyawarah termasuk dengan orang luar. Muncul kekerasan karena konflik dipersoalkan dengan konflik. Awalnya bisa soal kesenjangan sosial.

Bagaimana penjelasannya, persaingan partai lokal dan nasional bisa mengurangi kecenderungan konflik?

UU No.11 sudah mengeluarkan jaminan, penyelenggaraan negara di Aceh dilaksanakan dengan menggunakan sistem adanya partai lokal. Harusnya ini menjadi momen yang harus digunakan lebih bijak. Politisi partai sebaiknya berkompetisi sehat dan meyakinkan masyarakat melalui partai lokal dan nasional. Ingin memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Bukan hanya kepentingan kekuasaan sesaat. Ini akan mengurangi kecenderungan konflik.

Kita sangat miris Aceh selalu menjadi persoalan hukum yang tak berkesudahan. Yang paling penting sekarang mengembalikan nilai pendidikan di Aceh. Pendidikan umum dan pendidikan agama. Demokrasi di Aceh perlu disertai pendidikan yang kuat. Sayangnya pengurus partai masih belum kuat menerapkan pendidikan politik. Pengalaman saya berkomunikasi dengan peserta pemilu, penguasaan pemahaman pemilu dan undang-undang kepemiluan masih rendah. []