November 28, 2024

Aung Aung Oo: Myanmar Ingin Parlemennya Bebas Militer Seperti di Indonesia

Myanmar merupakan negara yang banyak mengapresiasi penyelenggaraan pemilu Indonesia. Koran Kompas (23/10) memberitakan, keberhasilan pengamanan pemilihan umum legislatif dan pemilu presiden di Indonesia menjadi rujukan Myanmar. Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutarman dan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Ronny Sompie mengungkapkan, Myanmar ingin belajar pola pengamanan pemilu dari Indonesia.

Sebelumnya, sejumlah aktivis hak asasi manusia (HAM) asal Myanmar mengunjungi LSM HAM, pemilu, dan demokrasi di Indonesia. Untuk mengetahui apa penilaian positif penyelenggaraan pemilu di Indonesia dan bagaimana keadaan pemilu di Myanmar, rumahpemilu.org mewawancarai salah satu aktvisi HAM asal Myanmar, Aung Aung Oo di kantor Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Kuningan, Jakarta (9/9).

Apa penilaian positif anda terhadap pemilu Indonesia sehingga Myanmar perlu belajar dengan Indonesia?

Saya sangat tertarik dengan parlemen di Indonesia yang tak lagi memberi tempat bagi kaum militer. Saya tertarik dengan isu ini, bagaimana cara pemerintahan kalian mengusir kaum militer keluar parlemen. Tapi kembali lagi, konstitusi telah mengatur bagi setiap dewan perwakilan untuk memberikan 25 % kursi bagi mereka.

Perkembangan demokrasi Myanmar kurun waktu terakhir?

Pada 2011, Myanmar mulai beranjak dari pemerintahan junta militer. Sejak saat itu pemerintah mengizinkan banyak partai politik untuk mengikuti pemilu. Mereka juga membebaskan beberapa tahanan politik.  Di Myanmar juga mulai banyak aktivitas politik yang dilakukan oleh rakyat. Sangat berbeda dengan saat berkuasanya rezim militer sebelum 2011.

Sistem pemilu apa yang digunakan di Myanmar dan seperti apa dinamika politiknya hingga kini?

Kami tidak menggunakan sistem proporsional (daftar terbuka) dalam pemilu seperti yang diterapkan di Indonesia saat ini. Kami menggunakan FPTP, First Past The Post.

Di dalam parlemen, terdapat dua partai utama. Partai pemerintah, yaitu USDP (Union Solidarity and Development Party) yang merupakan partai mayoritas di dalam parlemen, dan dipimpin oleh kaum militer. Partai lainnya, NLD (Nationalities Leagues of Democracy), partai Aung San Suu Kyi, sebagai partai oposisi di dalam parlemen.

Di dua pemilu nasional terakhir, ada inisiatif gerakan untuk mendorong orang-orang baik seperti aktivis untuk masuk partai. Lalu,  gerakan ini pun mengajak masyarkat memilih di pemilu dengan memilih orang-orang baik ini. Bagaimana relasi masyarakat dengan para kandidat di pemilu Myanmar?

Belum ada gerakan mengajak masyarakat untuk memilih orang baik di setiap partai. Mungkin karena konteks Myanmar bersistem pemilu First Past The Post.

Para aktivis HAM ada yang terlibat di partai yang bisa menampung agenda HAM. Tujuannya untuk membawa agenda HAM di parlemen dan pemerintahan.

Bagaimana capaiannya?

Terkait HAM, pemerintah masih melakukan tekanan pada rakyat di beberapa wilayah. Bersama kaum militer, mereka masih menangkapi, dan kemudian memenjarakan sebagian, rakyat yang berdemonstrasi. Sejumlah minoritas, berdasarkan etnis, memiliki wakil mereka masing-masing di dalam parlemen, untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Myanmar punya sejarah kelam HAM. Bagaimana pemilu bisa mencegah orang-orang punya pelanggaran HAM berat berkuasa melalui pemilu?

Di sisi lain, konstitusi kami juga memberi tempat bagi kaum militer di parlemen. Di dalam parlemen terdapat dua dewan perwakilan. Dewan Perwakilan Tinggi (Upper House) dan Dewan Perwakilan Rendah (Lower House). Konstitusi mengatur setiap dewan untuk memberikan 25% kursi bagi kaum militer. Dengan demikian, pengaruh kaum militer masih cukup signifikan di dalam setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Bagaimana dengan afirmasi perempuan?

Keterwakilan kaum perempuan dalam parlemen, saya kira masih rendah. Namun demikian, konstitusi tak memberi batasan bagi kaum perempuan untuk masuk ke parlemen. Konstitusi Myanmar sangat menghormati kaum perempuan.

Mereka punya hak sama dalam konstitusi, bahkan kami tak memiliki kuota bagi keterwakilan perempuan di dalam parlemen. Kesempatan itu terbuka lebar-lebar.

Bagaimana dengan kaum minoritas?

Sejumlah kaum minoritas diberi ruang berpolitik. Salah satunya yang berdasarkan etnis. Mereka ini memiliki wakil mereka masing-masing di dalam parlemen. Tentu saja hal ini untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai kaum minoritas.

Apa harapan utama para aktivis HAM Myanmar dengan pemilu dan pemerintahannya?

Tentu kami ingin pemilu dan parlemen di Myanmar seperti di Indonesia. Apalagi kami tahu, Indonesia juga pernah mengalami hal serupa dengan kami, dipimpin oleh rezim militer. Pengalaman yang sama, sejarah yang sama, semoga sama-sama mencapai terus perbaikan dan keadilan. []