August 8, 2024
Print

Badan Pengawas Dana Kampanye Pemilu

Uang merupakan kebutuhan mutlak untuk proses politik demokrasi tetapi dana saja tidak cukup mampu membuat proses politik demokrasi bekerja (Money is necessary but not sufficient for democratic political process). Selain dana, faktor lain yang diperlukan untuk menjamin proses politik demokrasi adalah nomokrasi (negara hukum), kebangsaan yang kokoh, partisipasi politik aktif warga negara, etika politik, dan lain sebagainya.

Selain itu uang tidak pernah tidak menjadi masalah dalam sistem demokrasi karena uang dapat digunakan untuk mendapatkan kekuasaan dan jabatan, dan uang juga dapat digunakan untuk membeli kebijakan ataupun pasal dan ayat hukum. Selain itu jabatan dapat digunakan untuk mencari uang. Karena itu penerimaan dan penggunaan uang dalam politik perlu dikendalikan.

Salah satu titik lemah proses penyelenggaraan Pemilu di Indonesia adalah pengawasan dan penegakan ketentuan tentang penerimaan dan pengeluaran dana kampanye Pemilu pada khususnya dan keuangan partai politik pada umumnya. Dana kampanye merupakan salah satu faktor penentu keterpilihan seseorang menjadi penyelenggara negara (anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah). Pada hal penerimaan dan pengeluaran dana kampanye di Indonesia mengalami dua kelemahan utama.

Pertama, pengaturan tentang penerimaan, pengeluaran, sistem pengelolaan, dan kesetaraan (equal playing field), transparansi dan pertanggung jawaban dana kampanye masih mengandung kekosongan hukum. Berikut adalah sejumlah aspek yang belum diatur secara lengkap dalam peraturan perundang-undangan. Partai Politik melaksanakan tugas negara (menyiapkan para penyelenggara negara) tetapi tidak dibiayai oleh negara melainkan dibiayai oleh elite dan kader partai.[2]

Pos pengeluaran partai politik lebih banyak menyangkut ‘mencari dan mempertahankan kekuasaan’ daripada melaksanakan dua fungsi utama partai politik dalam demokrasi perwakilan. Pengeluaran partai politik ternyata lebih besar daripada jumlah penerimaan.[3]

Kesenjangan ini konon diatasi dari sumber ‘gaib.’ Bagi KPK sumber dana ini semakin lama semakin tidak gaib karena berasal dari anggaran negara yang diperoleh secara illegal. Prinsip transparansi, akuntabilitas dan kesetaraan yang seharusnya menjadi pegangan dalam keuangan partai politik belum terjabarkan dalam peraturan perundang-undangan.

Dan kedua, tidak ada institusi pengawas dan penegak ketentuan dana kampanye Pemilu dan keuangan partai yang diberi kewenangan baik untuk menyelidiki dugaan pelanggaran ketentuan dana kampanye maupun untuk mengenakan sanksi yang tegas bagi pelanggar. Kedua kelemahan ini kemudian menyebabkan partai politik tidak hanya dipimpin oleh orang yang memiliku uang dalam jumlah besar atau oleh orang yang karena kedudukannya mampu mencari dana bagi partai tetapi juga dipenuhi oleh para kader yang memiliki sumber keuangan yang memadai.

Tidak heran kemudian kalau ‘persaingan yang bebas dan adil antar peserta Pemilu’ sebagai salah satu parameter Pemilu Demokratik kurang terjamin. Partai Politik yang dikendalikan oleh ‘pemilik uang’ tidak hanya berakibat Pemilu menjadi persaingan yang tidak adil tetapi juga menyebabkan ‘Daulat Rakyat’ dikalahkan oleh ‘Daulat Tuan yang Punya Uang.’

Untuk menjamin ‘persaingan yang adil antar peserta Pemilu’ dan untuk menjamin kedaulatan rakyat dalam partai politik, kedua kelemahan tersebut perlu segera di atasi. Pertama, pengaturan dana kampanye dan keuangan partai politik berdasarkan prinsip pengendalian, yaitu menjamin dan mengatur sumber penerimaan, menentukan arah pengeluaran, dan menetapkan sistem pengelolaan keuangan partai berdasarkan prinsip kesetaraan, transparansi, dan akuntabilitas politik dan hukum.

Pengendalian keuangan partai politik pada dasarnya berisi dua hal: menjamin sumber penerimaan tetapi diatur dan diarahkan (insentif dan regulasi). Di banyak negara terdapat satu undang-undang yang khusus mengatur dana kampanye Pemilu (Campaign Fund Act). UU tersendiri atau bagian dari UU Pemilu mungkin tidak menjadi masalah sepanjang ketentuan tentang keuangan partai tersebut diatur secara lengkap. Dan kedua, membentuk Badan Pengawas Dana Kampanye Pemilu dan Keuangan Partai Politik (atau nama lain) dengan lima tugas utama berikut.

(1) Membuat peraturan pelaksanaan dan berbagai petunjuk teknis pelaksanaan ketentuan tentang keuangan partai;
(2) Melakukan sosialisasi secara lengkap dan mendalam tentang Ketentuan Dana Kampanye Pemilu dan Keuangan Partai kepada pengurus, kader dan calon dari Partai Politik, baik diminta maupun tidak diminta, sehingga setiap partai politik tidak saja memahami sepenuhnya apa yang harus dikerjakan tetapi juga mampu melaksanakan apa yang harus dikerjakan menurut undang-undang;
(3) Melakukan audit atas laporan penerimaan dan pengeluaran Peserta pemilu dan mengumumkannya kepada publik;
(4) Menyelidiki laporan dugaan pelanggaran ketentuan tentang keuangan partai, termasuk mewajibkan siapa saja yang diduga mengetahui suatu kasus pelanggaran untuk memberikan kesaksian; dan
(5) Mengenakan berbagai jenis sanksi (finansial dan nonfinansial, administrative, bahkan pidana) bagi mereka yang terbukti melakukan jenis pelanggaran tertentu, dan meneruskan dugaan pelanggaran ketentuan keuangan yang menyangkut tindak pidana kepada Kepolisian, Kejaksaan sampai pada Pengadilan. Berbagai bentuk sanksi tersebut perlu dirumuskan secara seksama, khususnya yang akan memiliki efek jera.

Pengaturan secara lengkap perihal Badan ini, termasuk persyaratan dan proses penentuan keaggotaan, tugas dan kewenangan, dan struktur organisasinya diatur secara lengkap (tanpa kekosongan hukum) dan jelas dalam Undang-Undang bersama dengan ketentuan tentang dana kampanye Pemilu dan keuangan partai politik.

Setidak-tidaknya model Amerika Serikat (Federal Election Commission, FEC) dan model Inggris (The Electoral Commission of United Kingdom) dapat dijadikan pertimbangan dalan menentukan Badan Pengawas ini. FEC di Amerika Serikat sama sekali tidak berurusan dengan proses penyelenggaraan Pemilu. FEC bukan badan penyelenggara Pemilu (electoral managemen body, EMB) melainkan sepenuhnya dibentuk sebagai pengawas dan penegak undang-undang yang mengatur dana kampanye Pemilu federal.

Begitu efisien pengawasan ini sampai salah seorang WNI yang pernah menyumbang kampanye Bill Clinton ketahuan. Sebaliknya KPU Inggris merangkap dua tugas: sebagai penyelenggara Pemilu (EMB) dan pengawas dan penegak undang-undang tentang dana kampanye Pemilu. Kedua tugas ini dirangkap karena tugas penyelenggaraan Pemilu di Inggris tidak terlalu kompleks karena hanya menyangkut pemilihan umum anggota Parlemen dan pemilihan anggoga DPRD tingkat lokal sehingga tugas pengawas dana kampanye masih dapat dilaksanakan. Apakah kita mengikuti model FEC Amerika Serikat atau Inggris?

Selama ini KPU menangani dua tugas yang berkaitan dengan dana kampanye Pemilu: membuat peraturan pelaksanaan tentang dana kampanye, dan menetapkan Kantor Akuntan Publik untuk mengaudit Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye Pemilu dan mengumumkan hasil audit kepada publik.

Karena tugas menyelenggarakan Pemilu sudah sangat menyita banyak waktu dan tenaga, maka pelaksanaan kelima tugas pengawasan itu sebaiknya tidak lagi diberikan kepada KPU. Saya mengusulkan agar kelima tugas ini dilaksanakan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan sejumlah penyesuaian karena dua alasan.[4] Penyesuaian yang dimaksud antara lain menyangkut nama, persyaratan dan komposisi keanggotaan, tugas dan kewenangan, dan pembagian tugas antara anggota dan secretariat jendral.

Alasan pertama menyangkut efisiensi. Penggunaan lembaga yang sudah ada dengan sejumlah penyesuaian jauh lebih efisien daripada membentuk lembaga baru dari awal. Bawaslu selama ini melaksanakan tiga tugas:

(a) melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan Pemilu sebagai bagian dari upaya pencegahan pelanggaran Pemilu;
(b) menampung dan mengkaji laporan dugaan pelanggaran Pemilu, dan meneruskan kepada KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten-Kota bila menyangkut dugaan pelanggaran Ketentuan Administrasi Pemilu (KAP) atau kepada Kepolisian bila menyangkut dugaan pelanggaran Ketentuan Pidana Pemilu (KPP), dan
(c) menyelesaikan sengketa administrasi Pemilu baik yang bersifat final maupun yang tidak bersifat final. Kalau Bawaslu diberi tugas melakukan pengawasan dan penegakan ketentuan tentang dana kampanye Pemilu dan keuangan partai politik, maka pelaksanaan tugas pertama dan kedua dikembalikan kepada mereka yang berhak/berwenang.

Tugas pertama dikembalikan kepada Pemilih, organisasi masyarakat sipil (seperti lembaga pemantau, lembaga survey), dan media massa dan media sosial, sedangkan tugas kedua dikembalikan kepada KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk proses penegakan KAP dan kepada Polri, Kejaksaan dan Pengailan untuk penegakan KPP. Penyerahan kedua tugas ini kepada mereka yang berhak/berwenang tidak saja dimaksudkan untuk menempatkan setiap peran sesuai dengan porsinya tetapi juga dimaksudkan agar Bawaslu dapat konsentrasi pada tugas baru tersebut.

Pelaksanaan kedua tugas pertama oleh Bawaslu selama ini juga tidak efektif. Prakarsa unsur pemilih dan masyarakat melakukan pengawasan justeru mengalami kemunduran ketika Bawaslu melaksanakan tugas pengawasan itu. Akan tetapi bila tugas pertama dan kedua tersebut diserahkan kepada masyarakat (seperti lembaga pemantau Pemilu), maka perlu dipikirkan sumber dana yang memadai.

Sumber dana dari APBN perlu dipertimbangkan. Dana ini dapat dikelola oleh suatu lembaga yang tugasnya juga mencakup menelaah proposal yang diajukan oleh lembaga pemantau Pemilu, dan koordinasi agar lembaga pemantau Pemilu melakukan pemantauan tidak di daerah tertentu tetapi menyebar di seluruh daerah pemilihan.

Pelanggaran jenis pidana lain juga disampaikan secara langsung kepada Polri tanpa perantara. Karena itu pengaduan mengenai dugaan pelanggaraan ketentuan pidana Pemilu harus disampaikan secara langsung kepada Polri sehingga dapat mencegah kemungkinan suatu kasus kadaluwarsa. Polri sudah mengetahui apa yang harus dikerjakan.

Kalau semua dugaan pelanggaran pidana Pemilu harus disampaikan kepada Bawaslu/Panwaslu lebih dahulu, maka hal itu selain memperpanjang proses juga menempatkan Bawaslu/Panwas sebagai tameng Polri dalam penegakan hukum. Apalagi kalau Polri meminta bukti kepada Bawaslu. Bukankah yang Polri yang memiliki kewenangan sebagai penyidik?

KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota juga harus menyiapkan diri secara structural untuk menampung dan menyelidiki setiap pengaduan mengenai dugaan pelanggaran KAP tanpa menunggu rekomendasi dari Bawaslu/Panwas. Tugas ini niscaya akan dapat dilaksanakan karena tugas menyangkut dana kampanye Pemilu sudah diserahkan kepada Bawaslu. []

RAMLAN SURBAKTI
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga


[1] Pokok-pokok Pikiran yang Disampaikan pada acara Sosialisasi Hasil Evaluasi Pengawasan Pemilu 2014 yang diselenggarakan di Wisma Antara Jakarta, 11 Desember 2014.

[2] UUD 1945 memberi tugas penting kepada Partai Politik: mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden (Pasal 6A), dan menjadi peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD (Pasal 22E ayat (3), sedangkan UU tentang Pemerintahan Daerah menugaskan Partai Politik untuk mengajukan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah. Itulah sebabnya hampir tidak ada jabatan negara yang terlepas dari keterlibatan partai politik baik langsung (DPR, Presiden dan Wakil Presiden, Kepala dan Wakil Kepala Daerah) maupun tidak langsung (BPK, MK, MA, Menteri dan jabatan lain). Akan tetapi negara hanya membantu partai politik sebesar Rp 108 per suara setelah Pemilu. Negara dilarang memberikan dana kampanye kepada partai politik.

[3] Menyiapkan calon peminpin dan menawarkannya kepada rakyat dalam Pemilu, dan menyiapkan alternatif kebijakan bedasarkan aspirasi rakyat dan menawarkannya kepada rakyat dalam Pemilu, merupakan dua fungsi utama partai politik dalam Demokrasi Perwakilan. Pertemuan Lima Tahunan (Kongres, Munas, Muktamar) pada tingkat nasional dan lokal, persiapan, pencalonan dan kampanye Pemilu, dan kegiatan perkantoran merupakan tiga pos pengeluaran terbesar partai politik.

[4] Saudara Rafly Harus pada suatu kesempatan pernah mengusulkan agar Bawaslu menangani perselisihan hasil Pilkada. Gagasan ini dikemukakan setelah MK menyatakan tidak berwenang menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada.