Banyak ditangkapnya kepala daerah bukan disebabkan karena sistem pemilihan langsung kepala daerah. Sebelumnya, alasan diubah pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menjadi pilkada langsung, karena anggota DPRD dan (fraksi) partai politik merupakan kelembagaan korup dan tak dipercayai publik.
“Yang kami sayangkan di darurat integritas pilkada ini penyelesaian dari elite politik malah mau mengubah pilkada langsung menjadi pemilihan melalui DPRD. Ini cara berpikir keledai. 2014 mereka sudah salah ingin pilkada dari DPRD sekarang mau dilakukan lagi,” kata penelti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil dalam konferensi persi di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta (2/3).
Fadli mengingatkan, salah satu alasan kenapa adanya pilkada langsung yang didukung publik justru karena korupsi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan fraksi partai politik. Mengembalikan pilkada ke DPRD berarti menyerahkan kasus korupsi pada lembaga korup dan pihak yang paling tak dipercayai publik.
Koordinator Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Faris mengatakan, biaya pilkada mahal karena adanya syarat ambang batas pencalonan kepala daerah berdasarkan 20% dukungan kursi partai politik dari total kursi DPRD. Sehingga, permasalahan utama korupsi politik bukan karena pilkada langsung.
“Sepanjang partai politik tak bisa dibenahi, maka sepanjang itu korupsi kepala daerah tak bisa dicegah,” kata Donal. []