Maret 29, 2024
iden

Bayu Dwi Anggono, Lima Bentuk Politik Uang yang Mungkin Terjadi di Pemilu 2019

Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember, Bayu Dwi Anggono menjelaskan perspektif hukum tata negara terhadap praktik politik uang pada diskusi “Melihat Bahaya, Ancaman, Dampak, dan Antisipasi Money Politic di Era Demokrasi Langsung” yang diadakan oleh Jaringan Pemuda Peduli Demokrasi (JPPD) di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta Pusat (30/7). Bayu menarik pembahasan melalui konsep pengisian jabatan publik dalam pemerintahan dan mentitikberatkan pada pentingnya pendefinisian “jujur” dan “adil” sebagai prinsip penyelenggaraan pemilu yang tertuang di dalam konstitusi.

Simak paparan Bayu dalam format wawancara.

Bagaimana Bapak melihat praktek politik uang yang terjadi pada setiap kali pemilu atau pilkada?

Untuk melihat mengapa politik uang selalu terjadi, saya ingin membahas mengenai pengisian jabatan publik dalam hukum tata negara. Dalam teori dasar hukum negara, dikatakan bahwa negara adalah organisasi kekuasaan. Yang namanya organisasi, pasti ada jabatan-jabatan. Nah, bagaimana cara mengisi jabatan-jabatan ini?

Pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, disebutkan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945. Sebelum reformasi, pengisian jabatan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) karena saat itu MPR dianggap sebagai perwujudan daulat rakyat. Tapi setelah reformasi, Pasal 1 ayat (2) itu kita ganti. Kita ingin supremasi parlemen menjadi supremasi konstitusi. Oleh sejak itu, UUD yang mengatur organisasi dan lembaga-lembaga negara, termasuk pengisian jabtaan-jabatannya, kekuasaan lembaga negara, hubungannya dengan lembaga lain dan hubungannya dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

Bicara pengisian jabatan, ini penting karena dia ada di hulu. Kalau pengisian dilakukan secara baik, akuntabel, partisipatif, dan rakyat bisa mengontrol, maka orang-orang yang akan menempati jabatan itu juga akan baik.

Di UUD 1945, ada tiga model pengisian jabatan. Pertama, diatur syarat-syaratnya. Siapa saja yang bisa jadi pejabat itu. Contoh, persyaratan menjadi presiden dan wakil presiden diatur di Pasal 6A. Hakim agung dan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) juga disebutkan syarat-syaratnya. Disebutkan siapa yang memilih hakim agung dan hakim MK. Kedua, tidak mengatur syarat-syarat orangnya, tetapi mengatur mekanismenya. Contohnya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), menteri, juga kepala daerah.  Ketiga, tidak mengatur syarat dan mekanisme pengisian. Contoh, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres).

Nah, DPR, DPD, dan jabatan lain yang dipilih melalui pemilu, konstitusi memberikan syarat khusus, yakni proses pemilihannya dilakukan secara langsung, jujur dan adil sebagaimana tertuang di dalam Pasa; 22 E UUD 1945. Lahirnya Pasal ini bukan tidak ada maksud tertentu dari pembentuk UUD 45. Dalam risalahnya sebelum perubahan, tidak ada bab khusus pemilu. Tapi kemudian diadakan bab pemilu sebagai bentuk intensi pembentuk UUD 1945 akan adanya pemilu yang jujur, adil, berintegritas, dan demokratis.

Jadi, sejak awal demokrasi kita tidak pernah menghendaki adanya praktek-praktek menyimpang dari konstitusi.

Soal jujur dan adil di dalam konstitusi, apakah ada penjelasan bahwa apa sebetulnya yang dimaksud jujur dan adil dalam penyelenggaraan pemilu?

Nah ini dia. Saya tidak tidak menemukan makna jujur dan adil (jurdil) di dalam risalah UUD 45. Kalau lihat model Pasal 22 E ayat (5), dia mendelegasikan untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang. Maka, tugas pembentuk UU mendefisinisikan apa itu jurdil. Karena memang, UUD tidak menyebut parameter jurdil itu seperti apa. Nah, kunci untuk mengantisipasi politik uang ada pada definisi jurdil ini. Definisi jurdil haru mampu menangkap original intent pembentukan Pasal di UUD 1945.

Menurut Bapak, apa semestinya definisi jurdil yang perlu diatur di UU Pemilu kita?

Kalau menurut Ramlan Surbakti, adil itu adalah bebas dan merupakan kontestasi yang setara. Karena politik uang itu menciptakan kontestasi yang tidak setara, maka politik uang itu tidak adil.

Baik. Lalu apa saja bentuk politik uang yang mungkin terjadi di Pemilu 2019 atau pilkada selanjutnya?

Kalau orang-orang hanya menyebutkan empat bentuk politik uang, saya menyebutkan lima. Satu, transaksi antara elit pemilik uang atau pemilik modal dengan calon kepala daerah (cakada) atau calon anggota legislatif (caleg) dan calon-calon yang berkontestasi di pemilu. Ada pengakuan mahar beberapa kali. Tentu cakada tidak mungkin melakukan mahar kalau tidak dapat support dana dari pemilik modal. Makanya, ini yang pertama kali harus diantisipiasi.

Dua, transaksi antara calon dengan partai politik. Makanya, persyaratan untuk menjadi cakada perseorangan itu mestinya dipermudah.

Tiga, transaksi antara cakada dengan petugas-petugas penyelenggara pemilu. Banyak putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memberhentikan penyelenggara pemilu. Di Garut misalnya, penyelenggara menerima uang dari peserta Pilkada 2018. Ada banyak motifnya, penyelenggara mendorong calon tunggal, mengulang kompetisi, dan hal lain yang hasilnya merubah hasil.

Empat, transaksi calon dengan massa pemilih. Pemilih itu ada dua, yakni pemilih yang tidak hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan yang hadir untuk memilih. Nah, calon bisa memberikan uang atau materi lain kepada pemilih untuk tidak memilih calon tertentu atau memilih calon tertentu.

Lima, transaksi antara calon dengan hakim MK. Kita berharap dulu MK bisa memperbaiki hasil yang diperoleh calon karena kecurangan yang dilakukannya, tapi kemudian ada kasus Aqil Mochtar. Kasus ini membuktikan bahwa politik uang di negara kita sudah paripurna. Karena, di lembaga seperti MK pun, ada politik uang.

Politik uang ada di hampir seluruh tahapan pemilu. Apa sebetulnya dampak buruk politik uang terhadap terhadap demokrasi kita?

Politik uang membuat hasil pemilu tidak legitimate. Soerang kepala daerah misalnya, ketika dia terpilih, tapi sebelumnya kita tahu dia memberikan kita uang untuk memilih dia, kita jadi gak percaya karena kita milih dia karena imbalan tertentu. Oleh karena itu, kepercayaan kita ke dia sudah sirna.

Pesan saya, kepada orang-orang yang tidak paham betul mengenai bagaimana mengurus negara, bagaimana memberikan pelayanan publik, bagaimana mengatur keuangan negara, jangan anggap mudah dengan mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau jabatan tertentu yang dipilih melalui pemilu. Karena, beberapa kali saya lihat kepala daerah yang basisnya bukan di pelayanan publik, dia sangat kesulitan. Dia harus urus juga urusan kepegawaian dan seterusnya.

Ada kepala daerah yang memberhentikan seorang pejabat dari posisinya setelah dia ditetapkan jadi kepala daerah. Padahal, dalam hukum kita, tidak bisa langsung memindahkan pejabat dari posisi A ke posisi B. Ada masa tunggu yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Aparatur Sipil Negara (ASN). UU ASN itu rumit sekali dan ini harus diketahui oleh pejabat publik.