October 3, 2024

Benang Kusut Sengketa Pencalonan Kepala Daerah

Reaksi penyelenggara pemilu beranekaragam dalam memutus kasus sengketa pencalonan yang serupa. Putusan pencalonan berseliweran bantah-membantah.

Jimmy Rimba Rogi dan Boby Daud mengundang kontroversi sejak pasangan tersebut ditetapkan menjadi peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Manado. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Manado menetapkan kepesertaan pasangan ini pada tanggal 24 Agustus lalu.

Jimmy masih berstatus hukum bebas bersyarat dan baru selesai menjalani bimbingannya pada 29 Desember 2017. Status hukum tersebut tertuang dalam surat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham RI Nomor PAS 1.PK.01.05-07 tertanggal 20 Agustus 2015.

Medio September, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI bereaksi dengan mengeluarkan surat rekomendasi yang tertuju kepada seluruh Bawaslu dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten/Kota se-Indonesia. Bawaslu RI meminta Bawaslu Provinsi dan Panwaslu untuk menerbitkan edaran peninjauan kembali dokumen pencalonan yang berkait dengan status hukum.

“Secara logika atau secara ilmu hukum , ini, kan, persoalan membelokkan istilah terkait apa yang dimaksud dengan mantan terpidana dan apa itu mantan narapidana, yang kadang-kadang dibedakan, kadang-kadang juga dicampur-adukkan,” kata Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Nelson Simanjutak, di Gedung Bawaslu RI, Jakarta Pusat (14/9).

Bawaslu juga mengirimkan surat ke Mahkamah Agung (MA) terkait perkara calon kepala daerah berstatus mantan narapidana dan mantan terpidana tersebut. Fatwa MA No. 30/Tuaka.Pid/IX/2015 tanggal 16 September menjawab surat Bawaslu No. 0242/Bawaslu/IX/2015 tanggal 2 September 2015.

Namun, panwas Manado justru meneguhkan KPU Manado telah benar menerima pencalonan Jimmy. 23 September, Bawaslu RI kemudian mengeluarkan Surat Edaran No. 275 yang menyatakan bahwa calon berstatus bebas bersyarat tidak bisa mengikuti pilkada serentak. Panwas Manado diambil alih Bawaslu Sulut. KPU Manado manut pada rekomendasi Bawaslu Sulut yang menggugurkan pencalonan.

Sepekan berlalu, Jimmy ditetapkan kembali sebagai calon. KPU Manado menerbitkan Berita Acara Nomor 40/BA/Pilwako/11/2015 sebagai sikap yang berdasar pada putusan etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Putusan DKPP waktu itu menilai KPU Manado telah menempuh prosedur peninjauan dan tidak terbukti melanggar kode etik.

“Putusan DKPP itu membuktikan tak ada permasalahan dari tahap pencalonan yang kami jalani,” kata Eugenius kepada rumahpemilu.org melalui telepon (23/11). Sikap KPU Manado ini ditiru KPU Boven Digoel dalam menangani pencalonan Yusak Yaluwo yang juga bebas bersyarat.

Putusan ini kemudian disurati KPU RI. KPU RI menilai kajian KPU Manado itu salah. Kajian yang tertuang dalam surat Nomor 840/KPU/11/2015 ini menjadi bahan pleno KPU Sulut yang kemudian membatalkan kembali pencalonan Jimmy pada 24 November lalu.

Ujian kemandirian

Sengketa pencalonan yang tak kunjung usai ini adalah ujian bagi kemandirian penyelenggara pemilu. Independesi penyelenggara pemilu berhadapan dengan disparitas keputusan antarpenyelenggara pemilu.

Yandri Susanto, Legislator Komisi II DPR RI, sempat menyinggung soal ini pada rapat dengar pendapat bersama KPU dan Bawaslu. “Kalau mepet-mepet, apalagi masih diping-pong; Memenuhi Syarat-Tidak Memenuhi Syarat begini, saya sungguh, ini menjadi aib, atau kerugian kita semua. Saya tidak tahu ada apa di balik itu,” katanya (2/12).

Ia merinci, apa yang terjadi di Manado tak akan terjadi jika penyelenggara bisa menjalankan tugasnya secara kompak. “Pusat dan daerah harus kompak. KPU pusat dan daerah itu kompak, dengan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) kompak, sebetulnya tidak akan gaduh,” kata dia.

Tapi pada kenyataannya, putusan DKPP dalam relasinya dengan lembaga penyelenggara pemilu, membuat KPU kehilangan karakternya yang mandiri. Putusan DKPP yang bersifat etik justru dijadikan legitimasi penetapan calon yang jelas berstatus hukum bebas bersyarat.

Kepastian hukum dalam relasi kompleks penyelengenggara pemilu

Setidaknya ada hampir sepuluh putusan yang bolak-balik dalam satu kasus pencalonan di Manado. Di daerah lain, ada putusan dari Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang juga terbit dalam mengatasi sengketa pencalonan.

Di Kalimantan Tengah (Kalteng), dalam putusan sela, PTTUN mengabulkan gugatan Ujang-Jawawi terkait Surat Keputusan KPU RI Nomor 196 tentang pembatalan pasangan calon Ujang-Jawawi. Keputusan KPU RI mengoreksi putusan KPU Kalteng yang meloloskan pasangan calon Ujang Iskandar-Jawawi. Alasannya, Ujang-Jawawi memalsukan tanda tangan rekomendasi dari DPP Partai Persatuan Pembangunan versi muktamar Jakarta.

Banyaknya ruang penyelesaian sengketa ini dinilai turut andil dalam menganganya jurang ketidakpastian hukum. Yandri Susanto mendesak agar kepastian hukum soal pencalonan ini menjadi perhatian. Keputusan yang tidak pasti terkait status bakal calon, menurutnya, akan merugikan banyak pihak. “Mungkin kalau ada kepastian lebih jauh, itu mungkin lebih enak,” katanya.

Saldi Isra, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, memandang penting adanya penyederhanaan lembaga penyelesai sengketa pilkada. Ia tak setuju banyak lembaga yang bermain menyelesaikan hal yang sama.

“Kita mau ini disederhanakan. Jangan terlalu banyak pemain masuk untuk menyelesaikan hal yang sama,” kata Saldi Isra saat Seminar Nasional “Kesiapan Pilkada Serentak Tahun 2015 sebagai Barometer Menuju Pilkada Serentak Nasional” yang diselenggarakan Kemenkopolhukam di Jakarta (30/10).

Penyederhanaan ini penting untuk menjamin kepastian hukum bagi yang terlibat sengketa. Banyaknya lembaga yang terlibat dalam sengketa dinilai terlalu banyak. “Orang melapor ke Bawaslu, ketika tidak puas dia ke DKPP Kalau dia tahu alamat rumah Tuhan, dia akan mengadu ke Tuhan,” seloroh Saldi yang disambut tawa peserta seminar. []

MAHARDDHIKA