Awal pembahasan UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum bisa diapresiasi positif karena Panitia Khusus (Pansus) UU Pemilu begitu terbuka dengan melibatkan banyak pihak untuk memberikan masukan. Namun terhadap isu-isu penting, lebih banyak keputusan dalam ruang tertutup. UU Pemilu format kodifikasi untuk pemilu serentak patut diapresiasi tinggi. Selebihnya, banyak isu penting yang menggambarkan buruknya UU Pemilu ini.
“Dalam aspek formal, penyusunan undang-undang pemilu amat terlambat. Sehingga, sosialisasi tak sempat dilakukan dan bentuknya ulit dipahami,” kata Koordinator Sekretariat Bersama Kodifikasi UU Pemilu, Didik Supriyanto dalam pembukaan “Evaluasi Pembentukan UU Pemilu: Menuju Pemilu Serentak 2019” di Jakarta (22/11).
Menurut Didik, pengaturan aspek materi manajemen pemilu pun membuat pemilu serentak malah menjadi rumit dan boros. Efisiensi dan efektivitas tak dijadikan penekanan untuk perbaikan bentuk dan waktu tahapan, pengaturan dana kampanye, serta pungut/hitung suara.
Profesor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris menilai, UU No.7/2017 tak menghasilkan kesesuaian antara sistem pemerintahan, sistem pemilu, dan sistem kepartaian. Adanya ambang batas syarat pencalonan presiden serta pilihan sistem pemilu dan kepartaian kontraproduktif dengan tujuan utama UU Pemilu yaitu, pengutan sistem presidensial.
“Dari UU Pemilu ini, tampak jelas, Pemerintahan Pak Jokowi tidak punya visi politik. Tak tahu, pemilu dan demokrasi mau dibawa ke mana?” kata Harris.
Ketua Umum Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Dwi Septiawati Djafar menyampaikan bahwa UU No.7/2017 tak ada perubahan pengaturan mengenai kehadiran perempuan dibanding UU No.8/2012 yang digunakan di Pemilu 2014. Sehingga, UU Pemilu yang akan digunakan di Pemilu 2019 ini tak menghasilkan tambahan afirmasi perempuan.
“Dalam sistem proporsional terbuka ini, pimpinan partai seharunya punya awareness meletakkan perempuan di nomor 1, sekalipun tidak diwajibkan oleh Undang-Undang. Selebihnya, perempuan melakukan pendekatan ke KPU, Bawaslu, dan masyarakat sipil, agar peraturan pelaksana pemilu lebih mengafirmasi perempuan,” kata Septiawati.
Komisioner KPU 2012-2017, Hadar Nafis Gumay menilai sejumlah ketentuan dalam UU No.7/2017 yang malah tak lebih baik dari UU No.8/2012. Misal, berkurangnya keadilan daerah pemilihan (dapil) pemilu legislatif karena DPR mengambil kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam membentuk dapil DPRD Provinsi. Lalu soal, berkurangnya sifat kemandirian KPU dalam pembuatan peraturan yang mengharuskan berkonsultasi dengan DPR dan memungkinkan penafsiran hasil konsultasi yang mengikat.
Selain itu, Hadar menyayangkan UU No.7/2017 yang menjadikan KTP elektronik sebagai syarat memilih. Masih banyak warga berhak pilih yang tak punya KTP elektronik yang terancam tak bisa memilih. “Apakah e-KTP sudah benar-benar beres dalam penyusunan daftar pemilih?” tanya Hadar.
Ketua Pansus UU Pemilu, Lukman Edy merespon, setuju penilaian UU Pemilu ini tak cepat diselesaikan dan punya sejumlah catatan. Banyak persoalan dari penggabungan ragam UU Pemilu menjadi UU No.7/2017, mulai dari salah ketik sampai persoalan paling berat. Salah satu catatatan implikasi regulasi untuk penyelenggaraan pemilu serentak ini adalah pembiayaan pemilu yang makin mahal. Salah satu sebab semakin mahal pemilu karena penguatan Badan Pengawas Pemilu secara struktur dan kewenangan.
“Terkait penguatan presidensial, UU Pemilu ini pun punya mata pisau yang bisa menghabisi partai politik. Selain bisa menyederhanakan partai di parlemen, presiden terpilih pun bisa terlalu kuat sehingga menjadi represif terhadap partai,” kata Edy.
Anggota Badan Pengawas Pemilu, M. Afifuddin menilai, UU No.7/2017 telah memberikan kewenangan Bawaslu yang luar biasa. Struktur dan fungsi pengadil dan menegakan hukum menjadi perhatian. Persidangan di Bawaslu harus berjalan maksimal dengan mengoptimalkan fungsi pencegahan pelanggaran pemilu melalui struktur Bawaslu yang hingga sampai kabupaten/kota. Sekalipun Bawaslu memiliki kewenangan yang besar, tetap berpotensi di-DKPP-kan.
“Dalam melakukan pencegahan pelanggaran, Bawaslu bertugas meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu. Ketika banyak sidang yang dilakukan maka fungsi pengawasan penting,” kata Afif.
Sebagai penyelenggara seminar evaluasi UU Pemilu, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memiliki sejumlah catatan di luar yang ditekankan di atas. Mengenai manajemen pelaksanaan pemilu terasa kontraproduktif dengan pemilu serentak. Salah satunya, jumlah Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dikurangi dari lima orang menjadi tiga orang.
Penambahan jumlah kursi DPR dari 560 menjadi 575 pun kontraproduktif dengan tujuan UU Pemilu. Pembiayaan menjadi inefisien. Dan permasalahan disproporsional jumlah penduduk dan kursi serta belum representatifnya anggota dewan terpilih terhadap rakyat tak terjawab dengan penambahan kursi. []
USEP HASAN SADIKIN
***
Kami membaca ulang laporan-laporan yang kami tulis dalam beragam bentuk–dari mulai laporan jurnalistik langsung dari lapangan, tulisan mendalam yang memuat analisis, sampai opini pribadi. Berikut amatan kami atas peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di 2017:
- Sekumpulan Tulisan Pilihan: Evaluasi Elektoral 2017 menuju Hiruk-Pikuk 2018
- Amatan I: Pilkada dan (Politik) Identitas
- Amatan II: Penyelenggara Pemilu dan Kewenangan Baru
- Amatan III: Catatan Proses dan Hasil Pembahasan UU Pemilu