August 8, 2024

Cita DPD yang Lebih Berdaya

“Jika bukan diperkuat, maka DPD lebih baik dibubarkan.”

Sejumlah tokoh pernah mengucapkan kalimat itu. Setidaknya, dari Ramlan Surbakti, Margarito Kamis, Fahri Hamzah, Benny Ramdhani, dan Fadjroel Falakh. Nama-nama ini menekankan bahwa DPD tak cukup fungsional sebagai bagian dari parlemen nasional dan cabang kekuasaan legislatif. “Seperti LSM plat merah,” Laode Ida menambahkan.

Jika kita bandingkan negara-negara di dunia, ada temuan bahwa, hampir semua negara yang wilayahnya luas mempunyai parlemen bikameral. Dari 13 negara terluas, hanya Cina dan Arab Saudi yang tak mempunyai sistem parlemen dua kamar.

No Nama Negara  Luas (Km2) Sistem Parlemen
1 Rusia       17,075,200 bikameral
2 China       14,598,077 unikameral
3 Kanada       9,976,140 bikameral
4 Amerika Serikat       9,639,819 bikameral
5 Brasil            8,511,965 bikameral
6 Australia            7,687,453 bikameral
7 India            3,287,590 bikameral
8 Argentina            2,766,890 bikameral
9 Kazakhstan            2,727,300 bikameral
10 Aljazair            2,381,740 bikameral
11 Kongo            2,345,410 bikameral
12 Arab Saudi            2,218,000 unikameral
13 Indonesia            1,919,440 bikameral

Data tersebut mengingatkan kita bahwa ada kebutuhan bagi negara berwilayah luas untuk menerapkan sistem bikameral. Kamar kedua sebagai representasi daerah (bukan penduduk) punya fungsi strategis dalam memfasilitasi keinginan politik sejumlah daerah dalam bingkai parlemen nasional. Keberadaan para Senator sebagai anggota parlemen menjadi penjaga tetap bersatu dan terhubungnya sejumlah daerah dengan pemerintahan pusat.

Tentu Indonesia tak merujuk Cina dan Arab Saudi. Dua negara ini terlalu sentralistik dengan latar belakang dan karakter ideologinya amat berbeda dengan Indonesia. Kita menyimpulkan, dalam perbaikan parlemen, Indonesia tak tepat merujuk Cina dan Arab Saudi meski keduanya punya pengaruh kuat dalam ekonomi dunia.

Tapi, jika kita membandingkan data tersebut dengan sejumlah indeks kualitas negara, ada keterkaitan antara kualitas 13 negara dengan pilihan bentuk negaranya. Menurut data The Economist, Freedom House, dan Transparency International, tak ada negara luas dengan bentuk negara kesatuan yang punya kualitas baik. Berdasar indeks demokrasi, kebebasan, dan transparansi antikorupsi, semua negara luas yang kualitasnya baik, punya pilihan bentuk negara federal, bukan kesatuan.

No Nama Negara Demokrasi Kebebasan Transparan Rataan Bentuk Negara
1 Kanada 92.2 98 77 89.07 Federal
2 Australia 90.9 97 77 88.30 Federal
3 Amerika Serikat 79.6 86 69 78.20 Federal
4 Argentina 70.2 85 45 66.73 Federal
5 India 69 71 41 60.33 Federal
6 Brasil 68.6 75 35 59.53 Federal
7 Indonesia 64.8 61 40 55.27 Kesatuan
8 Aljazair 40.1 34 35 36.37 Kesatuan
9 Kazakhstan 29.4 23 34 28.80 Kesatuan
10 Arab Saudi 19.3 7 53 26.43 Kesatuan
11 Rusia 31.1 20 28 26.37 Federal
12 China 22.6 10 41 24.53 Kesatuan
13 Kongo 11.3 18 19 16.10 Federal

Dari data tersebut, selain kita mengetahui ada kesesuaian antara kualitas demokrasi, kebebasan, dan transparansi suatu negara, kita pun mengetahui bahwa kualitas negara pun berkesesuaian dengan luas wilayah dan pilihan bentuk negara. CF. Strong dalam “A History of Modern Political Constitutions” (1963, hal. 84 dan 104) menjelaskan, perbedaan utama negara federal dan kesatuan adalah ada/tak ada-nya kedaulatan selain pemerintahan pusat dan parlemen yang merepresentasikan kedaulatan negara bagian/daerah. Perbedaan tegas alokasi kekuasaan negara federal dan kesatuan ini akan berpengaruh kepada kualitas negara berwilayah luas. Eksistensi kedaulatan daerah dengan penduduk majemuk dalam negara yang luas akan lebih berdaya jika menggunakan bentuk negara federal.

Miriam Budiardjo dalam “Dasar-dasar Ilmu Politik” (hal. 278) menjelaskan, federalisme begitu memfasilitasi keberdayaan negara-negara bagian dalam wilayah Amerika Serikat yang luas melalui ruang dan kewenangan Senat dalam parlemen nasional. Senat, sebagai wakil tiap negara bagian yang jumlahnya sama, lebih berkuasa dibanding House of Representative yang mewakili daerah pemilihan berdasarkan jumlah penduduk. Senatlah yang berwenang menyetujui perjanjian internasional dan pengangkatan jabatan penting seperti hakim agung dan duta besar. Masa jabatan Senat adalah 6 tahun, tiga kali lebih pajang dibanding House of Representative yang hanya 2 tahun. “..longer terms would provide stability,” kata James Madison dalam senate.gov menjelaskan original intent keberdayaan Senat.

Federalisasi negara kesatuan

Cita DPD yang lebih berdaya sebagai Senat terbentur realitas “NKRI harga mati” yang mengunci konstitusi Indonesia. Harapan mengubah UUD 1945 seiring dengan belum jernihnya wawasan dan keilmuwan dari pengalaman masa lalu yang traumatik. Merujuk proses dan capaian amandemen pasca-Reformasi, pembentukan DPD menyertai kewenangannya yang kurang berdaya amat kental dengan kecurigaan terhadap “disintegrasi bangsa”. Desentralisasi dan otonomi daerah setengah hati diwujudkan karena sentimen “federal vs kesatuan” dan “parlementer vs presidensial”. Hasilnya, Indonesia yang luas banyak penduduk dan majemuk ini mengalami tren sentralisme pemerintahan presiden yang tersandera multipartai ekstrim dalam kamar Dewan Perwakilan Rakyat.

Pada momentum amandemen konstitusi nanti, fakta aktual saintifik penting dikedepankan dibanding sentimen masa lalu atau ideologis. Kenyataannya, berdasar data The Economist, Freedom House, Transparency Internasional, dan ragam indeks lainnya, di dunia ini tak ada negara luas, banyak penduduk, dan majemuk yang sukses dengan pilihan negara kesatuan presidensial multipartai ekstrim. Tak lepas dari penyimpangan ini, Indonesia selamanya terpuruk karena masalah laten sistem politik yang buruk.

Cita DPD yang lebih berdaya secara utuh lebih mungkin diwujudkan dari konstitusi baru yang mengubah tata negara Indonesia menjadi negara federal parlementer bikameral dengan Senat yang berkewenangan signifikan. Senat yang mengikat kedaulatan provinsi berwenang memilih Presiden sebagai kepala negara juga memilih jabatan penting lainnya seperti hakim agung, hakim konstitusi, dan utusan internasional. Kepala pemerintahan parlementer dipimpin oleh Perdana Menteri yang dipilih Dewan Perwakilan Rakyat. Hasil pemilu DPR coba dievaluasi melalui pemilu sela dengan wujud Pemilu Serentak Provinsi yang memilih Senat, Gubernur-Wakil Gubernur, dan Dewan Perwakilan Provinsi.

Revisi UU Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah (MD3) untuk mewujudkan cita DPD yang lebih berdaya memang akan selalu terbentur konstitusi. Agar tak jadi fatalis, revisi UU MD3 penting jadi momen pengoptimalan kampanye cita DPD yang lebih berdaya melalui amandemen UUD. Jika hierarki peraturan perundang-undangan ini terus menutup penambahan keberdayaan DPD, maka lebih baik kita setuju agar DPD dibubarkan saja. []

USEP HASAN SADIKIN

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Penerima Beasiswa Munir Said Thalib (2018-2022) Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.