August 8, 2024

Cita Kampanye Bersih dan Tak Diskriminatif

“WIN-HT? Bersih, Peduli, Tegas!”

Kalimat itu belakangan muncul berkala melalui program “Kuis Kebangsaan” di RCTI beserta calon legislator Partai Hanura yang status “caleg”-nya tak di-sebut/tulis-kan. Ini menambah maraknya popularisasi slogan, jargon, sosok, gambar, dan citra peserta pemilu di ruang publik. Selain di media, ruang kota pun dikotori alat peraga kampanye liar.

Pikiran jernih menyimpulkan, ada sikap tak bersih dan diskriminatif di situ. Di aspek peserta, pemilu berpihak terhadap pemilik uang banyak dan pemilik media. Selain Hary Tanoe bersama Hanura dengan grup MNC, ada Abu Rizal Bakrie bersama Partai Golkar dengan TV-One dan AN-TV, juga Surya Paloh bersama Partai Nasdem dengan Metro TV. Atau Prabowo bersama Partai Gerindra yang tak berstasiun TV, popularitasnya makin meningkat dibantu uang banyak.

Sistem proporsional daftar terbuka Pemilu 2009 memberikan pelajaran, pentingnya aturan kuat terhadap kampanye caleg dan partai. Tahap kampanye yang biasanya menjadi fase penguatan kesadaran warga akan adanya penyelenggaraan pemilu malah menjadi antiklimaks partisipasi. Dinamika ruang publik tak lagi dinilai wajar sebagai kemeriahan kontestasi peserta pemilu. Warga merasa disesaki iklan dan alat peraga kampanye sehingga tak acuh memilih.

Melalui angka partisipasi pemilih Pemilu 2009 (71%) kita secara cepat-cepat menyimpulkan, semakin banyak caleg dan partai berkampanye melalui iklan dan alat peraga, bukan berarti semakin mendorong banyak warga memilih. Angka terendah partisipasi pemilih sepanjang Indonesia berdiri justru ada di pemilu yang fase kampanyenya paling penuh iklan dan alat peraga.

Fakta itu sayangnya tak menyadarkan caleg dan partai lalu terdorong berkampanye melalui temu langsung warga atau aksi konkret penguatan masyarakat. Pasalnya hasil perolehan kursi menyimpulkan ada kecenderungan partai yang banyak mengeluarkan uang berkampanye berbanding lurus terhadap suara pemilih yang diperoleh. Data pengeluaran partai yang tercatat pada Pemilu 2009, Demokrat sebagai pemenang mengeluarkan Rp 235 miliar lebih. Partai non-parlemen yang didirikan 2008, Gerindra dengan Rp 300 miliar lebih bisa mendapatkan 26 kursi DPR RI. PKB dengan Rp 3,6 miliar hanya mendapatkan 27 kursi yang di Pemilu 2004 dengan Rp 7,2 miliar bisa mendapatkan 52 kursi DPR RI.

Pemerintahan hasil Pemilu 2009 harusnya bisa menyadarkan kita, ada kecenderungan banyaknya pengeluaran uang berkampanye pun berbanding lurus dengan potensi korupsi di pemerintahan terpilih. Ranking Partai Terkorup 2012 dari Indonesia Corruption Watch menempatkan Partai Demokrat (dengan jumlah biaya kampanye Rp 235 miliar) diurutan pertama, diikuti Partai Golkar (142 miliar) urutan kedua, lalu PDIP (7,2 miliar) diurutan ketiga. Harus ada ketegasan sikap semua pihak untuk ciptakan pemerintahan bersih melalui pemilu. Tak hanya penyelenggara, lembaga berkewenangan terhadap pers, caleg, dan partai, melainkan juga masyarakat sebagai pemilik utama kedaulatan demokrasi.

Cita kampanye Pemilu 2014

Sebetulnya UU No 08 /2012 berupaya mengatur kampanye Pemilu 2014 yang bersih dan tak diskriminatif. Media oleh Pasal 96 (1) dilarang menjual blocking segment dan/atau blocking time; (2) Dilarang menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan iklan kampanye pemilu; serta (3) Dilarang menjual spot iklan yang tak dimanfaatkan salah satu peserta pemilu kepada peserta pemilu lainnya.

Pasal 97 (1) membatasi maksimum pemasangan iklan Kampanye Pemilu di televisi untuk Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik perstasiun TV setiap hari selama masa Kampanye Pemilu; (3) Batas maksimum pemasangan iklan Kampanye Pemilu berlaku untuk semua jenis iklan.

KPU lalu menguatkan sanksi melalui PKPU No. 1/2013. Pasal 45 (2) KPI atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Penyiaran. (4) Dalam hal KPI atau Dewan Pers tak menjatuhkan dalam jangka waktu 7 hari sejak ditemukan bukti pelanggaran kampanye, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye.

Pasal 46 menyebutkan tingkat sanksi terhadap media yang melanggar berupa: a. teguran tertulis; b. penghentian sementara mata acara yang bermasalah; c. pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu; d. denda; e. pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu untuk waktu tertentu; atau f. pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak.

Mengenai alat peraga yang cenderung liar dipraktekan dan lebih banyak dinilai sebagai polusi, dibatasi oleh PKPU No. 15/2013 melalui zonasi kampanye. Kampanye di zona kampanye pun hanya diperuntukan bagi 15 partai (3 partai untuk pemilu nasional). Artinya zona kampanye tak diperuntukan para caleg. Peraturan ini diharapkan bisa mendorong caleg berkampanye temu langsung kepada calon pemilih.

Bias redaksi “Kampanye Pemilu” dan tindakan

Undang-Undang No. 8/2012 mengartikan “Kampanye Pemilu”  adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu. Pada Pasal 81 Ayat (1), materi kampanye meliputi visi, misi dan program partai. Redaksi ini sering disiasati pikiran kotor peserta pemilu secara kumulatif. Jika materi kampanye hanya ada satu, bukan dinilai sebagai “Kampanye Pemilu”. Atau, jika iklan tak ada visi, misi, dan/atau program Peserta Pemilu juga bukan dinilai sebagai kampanye pemilu padahal dalam iklan ada logo partai, nomor urut, atau sosok yang merepresantikan partai.

Kita bisa merujuk iklan Partai Golkar yang sering muncul di TV One dengan gambar partai dan nomor urut partai peserta Pemilu 2014. Pembuat iklan sangat mungkin berpikir kotor menyiasatinya. Tak usah ada visi-misi, dan tak usah ada program partai. Penilaian iklan tersebut melanggar tinggal dibantah dengan pengartian “Kampanye Pemilu” yang hanya merujuk visi-misi dan program partai.

Bias redaksi inilah yang menjadi sebab ruang publik, baik ruang kota maupun media, masih disesaki iklan peserta pemilu. Caleg atau tokoh partai bisa leluasa tampil dengan gambar, nomor urut, slogan, jargon, dan pencitraan apapun.

Jika KPU coba memperjelas maksud konkret redaksi itu melalui peraturan yang lebih rinci, peserta pemilu sulit membantah. Pemahaman dasarnya adalah, kampanye harus bersih dan setara. Perlu ada kesadaran dari peserta pemilu terhadap kepastian hukum pemilu. Partai dengan semangat kompetisi bersih secara bersama harusnya menyepakati satu makna konkret terhadap bentuk kampanye. Jika dari partai tak ada inisiatif itu KPU bisa mengundang ketua umum semua partai, lalu menyepakati bersama satu makna dan bentuk-bentuk kampanye yang lebih jelas. Cuma ada tiga partai yang mempunyai stasiun TV. Dan cuma beberapa yang mempunyai uang banyak. Upaya menciptakan kompetisi yang lebih setara seharusnya lebih memungkinkan.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun bisa menguatkan pemahaman bersama peserta pemilu mengenai makna dan bentuk kampanye. Ketegasan Bawaslu melalui bentuk penyelesaian konkret terhadap peserta yang melanggar sangat penting. Selain sebagia bentuk penegakan hukum, ketegasan Bawaslu akan menimbulkan efek jera berserta penguatan iklim pencegahan. Pengalaman Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam melaporkan dugaan pelanggaran Partai Golkar, Partai Gerindra, dan Partai Nas-Dem kepada Bawaslu menilai, belum ada upaya kuat dari Bawaslu menegakan pemilu yang bersih dan tak diskriminatif.

Bawaslu harus ingat UU No. 15/2011 menekankan penindakan beserta pencegahan sebagai tugas pengawasan (Pasal 73 [2]). Pelaksanaan kampanye termasuk di dalamnya. Pasal 74 lalu mewajibkan Bawaslu tak bersikap diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Komisi Penyiaran Indonesia pun harus bersama kuat terlibat. Dasar frekuensi televisi sebagai kepemilikan publik yang penggunaannya menyertai harapan tanggung jawab terhadap pendidikan publik hendaknya diwujudkan dalam peraturan yang lebih jelas dan tegas. Jika ketegasan hukum terhadap lembaga penyiaran diterapkan, peserta pemilu menjadi tak bisa seenak uangnya berkampanye di TV.

Prinsipnya kita perlu mengingat, pemilu berasas Jurdil dan Luber merupakan prosedur pemilihan demokrasi. Penyelenggaraannya berdasar hukum. Melalui standar legal formal, Kampanye Pemilu harus dipahami bersama semua pihak yang terkait.

Jika tak ada pemahaman bersama, pelanggaran akan terjadi dan cenderung didiamkan. Peserta menjadi pura-pura bodoh dalam berlaku kotor. Masyarakat menjadi pura-pura tak tahu sehingga mendiamkan pelanggaran. Maka tak heran jika semakin dekat tahap pemungutan suara ruang publik kita semakin terus disesaki iklan dan alat peraga peserta pemilu. Semakin kotor dan diskriminatif. []

USEP HASAN SADIKIN