92% peserta pilkada dibiayai oleh cukong, demikian statmen Menko Polhukam Mahfud MD di media yang terbit pertengahan bulan September 2020. Seorang tokoh publik yang memiliki disiplin keilmuan dan jabatan strategis tentu tak akan sembarangan melempar data ke tengah publik. Persentase sebanyak itu menandakan hampir seluruh peserta pilkada dibiayai oleh cukong politik dan hanya 8% dari peserta pilkada yang bersumber dari dana pribadinya.
Selanjutnya pertanyaan di benak kita, apakah cukong sepenuhnya menjadi dalang pemimpin hasil pilkada sehingga melupakan tanggungjawab pemerintah untuk menyejahterakan rakyat? Lalu, apakah cukong pilkada ini bisa dibawa ke ruang yang terang sehingga pengaruh dalangnya bisa diketahui bahkan dicegah?
Cukong politik atau disebut juga investor atau sponsor politik telah lama menjadi isu yang hadir dalam kontestasi politik skala lokal dan nasional. Pembagian kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sejak disahkannya UU 33/2004 tentang Otonomi Daerah melahirkan sebuah degradasi kekuasaan. Sasarannya kewenangan atas izin penguasaan sumber daya alam, pemenangan tender strategis, dan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan segelintir pihak.
Banyak cukong politik secara diam-diam mensponsori politikus dalam kontestasi pemilu atau pilkada. Tentu agenda rahasia ini patut dicurigai memiliki motif negatif, suport dana besar yang tidak akuntable dan tidak transparan sangat mungkin digunakan untuk modal politik transaksional. Politik transaksional yang dimaksud dapat berbentuk mahar politik, membiayai mesin partai, money politik, jual beli suara, suap bagi penyelenggara juga bagi penegak hukum.
Hadirnya suntikan dana yang bersal dari cukong tersebut bisa berbentuk uang, barang, atau jasa. Dana tersebut tentu bukan dana yang legal karena tidak dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum juga secara moral. PKPU 12 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas PKPU 5/2017 tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan, memuat aturan bagi pasangan calon dalam mengelola dan mempertanggung jawabkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye. Pada prakteknya peserta pilkada bisa saja membuat dua buku pertanggungjawaban dan yang dilaporkan hanya satu buku.
Dana pilkada yang amat membebani kontestan pemilihan disebabkan oleh demokrasi yang dari awal dikonsep pragmatis. Kontestan terlanjur mengajarkan masyarakat untuk melihat isi amplop sebagai tolak ukur memilih pemimpin. Problem moral ini menjadikan politik transaksional menjadi virus yang saling menulari di antara sesama peserta pilkada. Mentalitas kontestan tidak cukup percaya diri dalam kompetisi yang sehat sejalan dengan regulasi. Kepemimpinan yang awalnya idealis dan antipolitik uang malah ikut arus karena harus berhitung untuk kemenangan.
Sejak jauh hari para cukong ini berburu wayang politk yang akan didalanginya dalam hajat demokrasi, atau sebaliknya perburuan dilakukan oleh bakal calon kontestan pemilihan. Para kontestan berlomba-lomba memiliki dukungan donatur politik yang kuat karena menyadari suntikan dana ilegal dari cukong berpengaruh atas kemenangannya. Problem lainnya dikemudian hari politik balas budi akan dilakukan melalui kebijakan yang menguntungkan sang sponsor gelap.
Kalkulator politik dalam arus pragmatisme menjadikan sponsor politik tumbuh subur dalam pilkada era pandemi. Kenyataan ekonomi dunia lumpuh membuat para cukong menjadikan pilkada sebagai medan investasi. Para cukong berlomba dapat mngendalikan kebijakan politik, ekonomi dan hukum. Penulis menilai kebijakan pemulihan ekonomi pascapandemi yang membuat jumlah cukong berlipat ganda pada pilkada lanjutan tahun 2020.
Pada bulan Mei Perbahan atas UU Minerba disahkan, hal substansial yang diatur di antaranya mengenai fungsi kebijakan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan
yang dikembalikan ke pemerintahan pusat. Meski kewenangan pengelolaan pertambangan diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam perizinan bantuan skala kecil dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). UU Minerba yang disahkan di tengah pandemi ini diklaim dapat memotong mata rantai makelar dalam perhelatan pilkada. Namun ternyata sasaran makelar di daerah bukan hanya sebatas pada minerba saja melainkan sumber daya alam lainnya seperti pertambangan di luar minerba, hak atas tanah, dan tender-tender pembangunan di daerah juga menjadi target yang menggiurkan.
Cukong sebagai dalang demokrasi harus di bawa ke ruang yang terang. Strateginya dengan merekonstruksi regulasi agar dapat mengakses ruang gelap dalam pilkada. Pengaturan pelaporan dana harus diatur realistis sebagaimana apa yang perlu dicover di lapangan. Selanjutnya audit dana yang dilaporkan harus diawasi berdasarkan kenyataan dana yang dipakai di lapangan. Jika terjadi ketimpangan dana yang dilaporkan dan dana yang dipergunakan tentulah patut dicurigai ada aliran dana ilegal. Selanjutnya sanksi hukum harus tegas dan mampu memberikan efek jera, sanksi pidana harus dibarengi sanksi admistratif yaitu berupa diskualifikasi.
Selanjutnya pengawasan partisipatif dari berbagai pihak seperti peserta pemilihan, dan pemilih harus diaktifkan. Seluruh elemen harus dibangun kesadaran hukum pada frekuensi yang sama. Pihak-pihak yang aktif melaporkan pelanggaran pilkada guna mengawal kemurnian demokrasi perlu diberi apresiasi agar lebih konsisten dan gencar.
Cita-cita demokrasi sejatinya untuk membangun kesejahteraan rakyat melalui kebijakan pemimpin yang memiliki legitimasi melalui pilkada. Maka dari itu, keterlibatan cukong dalam kontestasi pilkada harus dibuka agar tak menjadi dalang pemimpin dan demokrasi agar kebijakan untuk menyejahterakan rakyat, bukan cukong. []
FIRMAWATI
Dewan Pembina Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Kabupaten Pangandaran.
Ketua Umum Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah Kab Pangandaran