Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) baru saja menyelesaikan persidangan dugaan pelanggaran administrasi pekan lalu (14/11). Sidang itu adalah sidang pertama kali yang menempatkan para anggota Bawaslu sebagai majelis hakim. Undang-undang No. 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) memberi kewenangan baru bagi Bawaslu dalam menegakkan hukum pemilu. Selain sebagai pengawas, Bawaslu kini berperan sebagai penindak dan pemutus pelanggaran administrasi.
Dua kewenangan ini menempatkan Bawaslu dalam posisi yang bertolak belakang. Di persoalan sengkarut Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) kemarin, misalnya, Bawaslu bersurat pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mempertimbangkan penggunaan Sipol sebagai syarat untuk jadi peserta pemilu. Sikap Bawaslu ini membuat publik gampang menerka posisi Bawaslu dalam memutus sidang pelanggaran administrasi yang diajukan partai-partai yang dokumen persyaratannya dinyatakan tidak lengkap oleh KPU.
Didik Supriyanto, Pengawas Pemilu (Panwas) 2004, mengaku risau atas fungsi ganda Bawaslu ini. Dalam acara Bincang Live Facebook Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dia merisaukan kegaduhan-kegaduhan serupa terjadi di tahapan-tahapan (menuju) Pemilu 2019 yang masih panjang. Berikut pokok-pokok obrolan bersama mantan ketua Perludem yang kini ingin disebut sebagai peminat ilmu pemilu dalam tajuk “Meneropong Bawaslu dengan Kewenangan Baru” yang dipandu oleh Titi Anggraini (17/11).
Bagaimana perkembangan lembaga pengawas dari pemilu ke pemilu?
Respon publik dan partai itu kesimpulannya tidak puas dengan lembaga pengawas. Panwas 2004, Bawaslu 2009, Bawaslu 2014 respon kesimpulannya sama. Respon pembuat undang-undang ada dua. Memperbesar organisasinya—dari panitia jadi permanen, sekarang ada sampai TPS untuk memperkuat dan memperlebar jangkauan.
Di sisi lain, mengubah kewenangan. Bawaslu selalu (bilang) ketika dikritik kinerjanya, itu lebih bukan karena ketidaksungguhan atau ketidakprofesionalan. Mereka bilang memang kewenangannya terbatas.
Bawaslu berkembang jadi permanen disebut karena prinsip kesetaraan. KPU kabupaten/kota saja permanen…
Sebetulnya permanen atau tidak bergantung dari beban pekerjaan. Saya sendiri beranggapan KPU kabupaten/kota tidak perlu permanen. Apalagi pemilu serentak sudah mulai berjalan. Kalau misal mulai jalan, mulai dipastikan KPU kabupaten/kota tidak perlu permanen. Tidak ada yang dikerjakan selama jeda antara pemilu. Kecuali ada yang dikerjakan seperti pendidikan politik dan pemutakhiran daftar pemilih. Kalau tidak ada pekerjaan itu, ngapain selama tiga tahun empat tahun? kan dibayar…
Cuma, logika yang mereka pakai selain kesetaraan, cara mengefektifkan kerja pengawas kan dengan memperkuat organisasi. Tapi terbukti dari pemilu ke pemilu itu salah. Bawaslu dipermanenkan di 2009 ternyata kan hasilnya mengecewakan. Demikian juga yang akan datang. Menurut saya posisi dan fungsi Bawaslu harus diperhatikan.
Organisasi Bawaslu, selain menjadi permanen, juga berkembang jangkauannya hingga TPS. Bagaimana Bapak melihat ini?
Pengalaman tahun ini kan ada Pilkada di DKI Jakarta. Saya jadi pengawas TPS. Saya tahu persis tidak ada gunanya pengawas TPS karena saksi sudah ada. Di Pilkada saksi lebih siap.
Pengawas TPS gak perlu karena problem (pemilu) kita bukan di TPS. Pungut hitung di TPS sejauh yang saya ikuti berjalan sesuai aturan. Yang jadi masalah itu adalah rekapitulasi di desa dan kecamatan. Kita tahu 2014 KPU punya solusi taktis pindaian C1 sehingga apa yang terjadi di TPS tidak bisa serta merta dimanipulasi di PPS dan PPK. Makanya saat itu ketika calon yang kalah merasa banyak dikerjai dan ditunjukkan faktanya oleh KPU, mereka diam. Mereka protes karena dapat laporan dari relawan timses yang kerja sembarangan. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa dan terbukti mereka gak ke MK. Ketika MK sendiri membuat (pernyataan) kalau ada calon yang dicuri suaranya silakan ke MK. Tapi mereka gak berani. Berdasarkan C1 itu sebagian besar benar. Memang saya tidak menutup mata ada kasus. Tapi kita kan berbicara soal kuantitas. Itu beres di TPS. Ngapain ada pengawas di TPS?
Bagaimana dengan perkembangan fungsi baru?
Kalau kita lihat sekarang kan fungsi diperkuat dengan menambah kewenangan memutus. Tapi penguatan fungsi ini kan menimbulkan kontroversi. Misal putusan yang terakhir, Bawaslu memutuskan KPU melakukan pelanggaran administrasi dalam proses pendaftaran partai politik peserta pemilu. Putusan melanggar itu karena KPU menggunakan Sipol untuk memastikan terpenuhi atau tidaknya kelengkapan syarat partai peserta pemilu.
Putusan itu kan langsung tidak langsung mengoreksi PKPU. Bawaslu jelas-jelas mengesampingkan penggunaan aplikasi Sipol itu yang ada di PKPU. Pertanyaannya, apa Bawaslu punya hak mengoreksi PKPU? Di pasal lain ada ketentuan, PKPU hanya bisa di-review melalui MA. Kalau Bawaslu merasa ada yang salah maka Bawaslu atau pihak lain yang akan menggugat ke MA. Tanpa gugatan MA, Bawaslu sudah membuat keputusan mengoreksi PKPU. Ini problem yang muncul karena kewenangan baru.
Pertanyaan substansinya adalah, siapa Bawaslu sekarang ini? Dia lembaga pengawas atau kuasi peradilan? Itu penting.
Apa tidak bisa digabungkan fungsi pengawasan dengan fungsi peradilan?
Tidak bisa. Karena ketika dia melakukan pengawasan dia punya preferensi si a atau si b melakukan pelanggaran. Pengawasan terhadap pelanggaran administrasi ini ketika ditangani sendiri tentu dia akan mempertahankan pendapatnya itu. Ini double fungsi ini tidak bisa. Sebagai pengawas dia harus banyak ngomong harus kritis, sebagai hakim gak boleh ngomong. Jadi double fungsi ini merisaukan. Masih ada banyak tahapan ke depan. Masih banyak PKPU ke depan yang akan dilaksanakan dan dalam pelaksanaannya akan di-review siapapun.
Dulu saya ingat Refly Harun bersikeras Bawaslu jadi lembaga peradilan. Kalau mau seperti itu ya tidak masalah. Tapi fungsi pengawasannya dilepas saja—diserahkan ke pihak lain atau tidak dijalankan—sehingga jelas. Sekarang ini Bawaslu jadi lembaga bagian pemilu tapi mengoreksi KPU. Kalau lihat konstitusi ya tinggian KPU dong daripada Bawaslu.
Perubahan kewenangan itu tanpa mempertimbangkan keberadaan lembaga lain yang sudah diposisikan dalam sistem tata hukum kita untuk mengoreksi putusan lembaga lain. Dulu saya selalu bilang kalau problemmnya di lembaga peradilan kita—katakanlah kita tidak percaya PTUN, MA—ya jangan dibikin lembaga baru, diperkuat saja di situ. Semakin banyak lembaga semakin ribet dan ruwet. Kita tahu pemilu kita semakin kompleks dan menyita banyak energi. Di saat yang sama semakin jauh dari substansi.
Persoalan apa yang berpotensi muncul dari kondisi double fungsi ini, misalnya dari putusan Bawaslu soal Sipol?
Ini akan memberikan peluang pada orang yang merasa dirugikan oleh keputusan KPU dan terus mempersoalkan. Misalnya KPU tetap menggunakan Sipol. Kalau misal Sipol itu tidak meloloskan lagi. “Kemarin ada putusan Bawaslu mengesampingkan kok kamu ngotot menggunakan Sipol?” Ini akan dipersoalkan terus menerus. Akan terjadi ketidakpastian hukum dan kegaduhan. Dan ini baru satu tahapan. Tahapan lain seperti kampanye hingga pemungutan dan penghitungan suara gimana?
Bawaslu di kabupaten/kota juga akan demikian aktifnya menjalankan misi organisasi. Masalahnya, (penyelenggaraan pemilu) yang baik-baik saja bisa saja demi kepentingan kompetisi eksistensi menyidangkan hal-hal yang gak perlu. Itu bisa terjadi.
Rekrutmennya juga tidak berdasar kompetensi (menjalankan fungsi peradilan) itu. Rekrutmen dasarnya undang-undang lama. Kalau misal ada seperti itu, paling gak, perlu dipikirkan orang-orang yang berpengalaman di lembaga peradilan, bukan orang-orang yang berpengalaman di pengawasan. Rekrutmen berdasar undang-undang lama tapi undang-undang baru beri fungsi baru. Masa transisi ini agak merepotkan.
Apa saran Bapak terhadap perkembangan Bawaslu ini?
Ini sikap saya sejak pasca-Pemilu 2004. Saya jadi pengawas selama 17 bulan. Dan kesimpulan saya sama Pak Topo (Santoso–anggota Panwas 2004) dan anggota lain moga-moga ini Panwas terakhir. Karena kami merasa KPU semakin baik, semakin menjalankan tugas dengan firm. Tugas pengawasan diserahkan pada partai dan masyarakat. Waktu itu kami merekomendasikan Panwas hanya 2009 saja. Sikap saya sama. Kita gak perlu lembaga pengawas pemilu.
Kalau ada persoalan ketidakpuasan terhadap putusan-putusan KPU, yang kita butuhkan peradilan pemilu yang sederhana dan efektif. Bisa saja bikin peradilan khusus, tapi jangan sampai menyita energi lagi.
Pilihan kedua, Bawaslu ditransformasi menjadi lembaga peradilan pemilu. Fungsi pengawasan di masyarakat, partai, dan calon. Problemnya adalah bagaimana mengatasi ketidakpuasan calon, peserta, pemilih terhadap putusan KPU. Satu-satunya jalan kalau peraturan ya digugat saja ke lembaga peradilan. Lembaga peradilannya seperti apa—apakah kuasi atau PTUN atau Bawaslu—itu yang perlu dibahas lebih matang.