Kurangnya tekanan publik disebut-sebut sebagai salah satu sebab disahkannya Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) oleh Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR). Gerakan mahasiswa, sebagai sebuah gerakan yang patut diperhitungkan, tak terdengar nyaring ketika RUU yang memuat mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD ini bergulir dibahas hingga disahkan DPR.
Dirga Ardiansa, peneliti Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI, berpendapat seharusnya gerakan mahasiswa turut mengawal. Pasalnya, dia lah yang pada Reformasi 1998 lalu mendorong pemilu langsung. Dosen Departemen Politik FISIP UI ini menilai pentingnya gerakan mahasiswa dan kampus secara institusi untuk menyatakan sikap gugat UU Pilkada. Berikut petikan wawancara rumahpemilu.org dengan Dirga Ardiansa di Tanah Abang, Jakarta (26/9) pasca-rapat strategi gerakan menggugat UU Pilkada Tak Langsung.
Bagaimana Anda melihat tekanan mahasiswa pada sidang pengesahan RUU Pilkada kemarin?
Kalau kita lihat kemarin, persidangan tidak ada pressure sampai jebol pagar seperti demo penaikkan harga BBM. Gerakan mahasiswa belum menunjukkan kontribusinya. Ini suatu hal yang harus direbut kembali oleh mereka yang mendorong pemilu langsung pada 1998. Pada akhirnya anggota dewan mempertontonkan argumen yang tak didukung akal sehat. Tidak ada empati saat mengeluarkan argumen. Mereka menganggap mereka lebih tahu dan benar.
Kelemahan terbesar ketika aksi di hari Kamis (25/9) kemarin adalah kita tidak bisa membuka ruang dengan pendekatan bahwa itu tidak logis. Kejadian post-factum terjadi. Sebelum ada keputusan, adem-ayem saja sosial media yang melibatkan mahasiswa dan bahkan kelas menegah. Begitu ini terjadi,awareness dan willingness untuk terlibat terus membesar.
Seberapa penting gerakan mahasiswa untuk menggugat UU Pilkada ini?
Penting melibatkan mahasiswa bagaimana pun caranya. Dia punya bahan bakar yang stabil. Dia bergulir satu saja bisa menyebar ke beberapa daerah. Penting juga untuk bisa memulai dari daerah karena daerah yang paling merasakan dampaknya. Akses terhadap partisipasi politik di daerah itu lebih berlapis, baik di provinsi maupun kabupaten kota. Kita, yang ada di level ibu kota, tidak punya pilkada bupati atau walikota.
Bagaimana pendekatan agar gerakan mahasiswa tergugah?
Kalau mahasiswa pendekatannya harus beda. Pendekatannya tidak bisa organisasional tapi partikular Tidak bisa kita menyerukan kepada setiap elemen. BEM UI, misalnya, tidak punya masa yang terlalu besar. Harus didekati ke tiap fakultas. Ini yang saya ingin tekankan. Coba kita, saya sendiri sebagai dosen berharap, bikin sebuah rangkaian acara serial untuk konferensi pers yang melibatkan mahasiswa.
Bagaimana dengan akademisi atau institusi kampus?
Akademisi harus didorong untuk secara institusional membuat pernyataan. Proses partisipasi rakyat yang memunculkan benih kerelawanan telah mulai mendewasakan masyarakat untuk terlibat bukan hanya memilih, tapi menyumbangkan ide program. Pendidikan politik yang sudah berjalan adalah investasi tak terkira ketika masyarakat berdaya, partisipasi dan voluntarisme meningkat. Ini progres besar. Proses demokrasi sudah membaik. Ini sudah diperjuangkan sejak lama, sedang berjalan, dan hak yang sangat krusial ini kini sedang dirampas.
Kampus harus menyatakan sikap. Kita harus dekati kampus yang punya concern atas isu ini. Model gerakan mahasiswa sekarang tidak bisa bottom up. Dia harus daiajak dan dipaksa juga dari atas—institusi dan dosen.
Gerakan mahasiswa perlu momentum. Momentum apa yang bisa dimanfaatkan gerakan mahasiswa?
Momentumnya ke judicial review di MK. Ini bisa jadi momentum karena kejadiannya sudah ada. Tekanan itu penting. Menjaga kemarahan baik itu mempublikasikan maupun lewat gerakan-gerakan di dalam kampus saya pikir perlu dilakukan.