August 8, 2024

Dirga Ardiansa: Quick Count Juga Survei Sehingga Sifatnya Prediksi

Hasil quick count (hitung cepat) perolehan suara yang berbeda dari sejumlah lembaga survei menambah potensi konflik dari polarisasi massa kedua pasangan calon. Pasalnya, di Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 ini, masyarakat tak punya pemenuh kebutuhan mengetahui hasil pemilu secara cepat dan terpercaya. Komisi Pemilihan Umum baru akan mengumumkan hasil perolehan suara nasional pada 22 Juli, atau dua minggu setelah pemungutan suara (9 Juli).

Peneliti dan Manajer Pusat Data dari Pusat Kajian Ilmu Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Dirga Ardiansa menjelaskan keadaan itu dengan mengurai makna, kebutuhan, dan kedudukan quick count. Berikut penjelasan Dirga dari kultwit-nya di akun @diskursus (12/7) yang diolah rumahpemilu.org menjadi format wawancara:

Sebetulnya, apa itu hitung cepat (quick count)?

Survei prapemilihan, exit poll, dan quick count, ketiganya merupakan survei. Survei prapemilihan contohnya elektabilitas dan popularitas. Masyarakat sudah akrab dengan istilah quick count atau yang sederhana diterjemahkan sebagai hitung cepat. Sesunguhnya tak ada sinergi antara penggunaan konsep quick count atau sebutan hitung cepat dengan praktek dan cara kerjanya. Ketidaktepatan penyebutan quick count bukan teknis semata. Ada konteks politik di balik kesalahan sebut yang terus direproduksi.

Pengertian survei secara mendasar, mengambil sebagian dari populasi secara acak. Survei prapemilihan, exit poll, dan quick count, memiliki kesamaan metode. Hakikatnya, ketiganya disebut survei. Ketiganya dibedakan dalam dua hal penting, yaitu unit sampel dan fase waktunya.

Apa hal mendasar yang membedakan quick count dengan survei lainnya?

Dari segi unit sampel survei prapemilihan dan exit poll memiliki kesamaan dalam unit sampel. Keduanya berunit sampel individu manusia.

Dari fase waktunya, sesuai namanya, survei prapemilihan dilakukan sebelum tahap pemungutan suara dilakukan sehingga, survei menyasar calon pemilih yang diduga akan ikut memilih. Sementara exit poll dilakukan setelah pemunguta suara sehingga menyasar pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya begitu keluar TPS.

Quick count dari sisi fase waktu, dilakukan setelah pemungutan suara selesai. Di sini ada hasil penghitungan di rekapitulasi per-TPS.

Lalu, quick count dari unit sampelnya, bukan individu/pemilih tetapi TPS. Lebih tepatnya, hasil perolehan suara TPS.

Jadi, survei prapemilihan, exit poll, dan quick count, ketiganya merupakan survei dari hasil mengukur sampel atau sebagian dari populasi. Hasilnya merupakan statistik yang bersifat dugaan/perkiraan.

Penyebutan atau penggunaan istilah bagi survei (polling) prapemilihan dan exit poll secara konsep sudah seuai. Yang tak sesuai adalah quick count. Lebih sesuai atau tepat dengan sebutan “survei hasil pemilu”.

Kenapa quick count tak disebut saja “survei hasil pemilu”?

Ini bukan hanya soal keren atau tak keren. Ada diskursus di dalamnya pengistilahannya.Diskursus pembedaan penggunaan konsep tersebut bisa dijelaskan dengan melihat dua hal. Pertama, tujuan ilmiah. Kedua, kepentingan politik.

Dari tujuan ilmiahnya, survei prapemilihan hasilnya bertujuan selain prediksi hasil untuk dasar informasi. Dibandingkan kebutuhan pemilih, informasi ini lebih dibutuhkan dalam merumuskan strategi kandidat.

Tujuan ilmiah exit poll yang utama bukan pada kemampuan prediksinya tapi sebagai dasar untuk menjawab pertanyaan kenapa? Survei ini untuk menjelaskan perilaku pemilih.

Quick count tujuan ilmiahnya hanya satu, melakukan prediksi hasil. Selain itu, tak ada tujuan lain. Data quick count tak punya kemampuan analisis perilaku pemilih.

Dalam konteks kepentingan politik, survei prapemilihan dipublikasikan untuk tujuan membentuk opini publik dan mengarahkan preferensi masyrakat untuk kepentingan politik. Pada kepentingan politik ini lah quick count dianggap seolah bukan survei. Pada hari pemungutan suara atau beberapa saat setelahnya, seolah harus dibuat sesuatu yang berbeda dengan survei prapemilihan. Padahal sesungguhnya survei prapemilihan dan quick count menggunakan metode yang sama-sama disebut sebagai survei. Dilakukannya pun di lembaga yang sama.

Apa keunggulan quick count dibanding survei lain?

Keunggulan quick count dibanding survei prapemilihan dan exit poll adalah pada akurasi prediksinya. Ini berkaitan dengan sampelnya yang berupa hasil di TPS, bukan hasil wawancara pemilih.

Saat ini keadaannya lembaga survei mengeluarkan ragam hasil quick count. Di lain pihak, KPU lama mengeluarkan hasil nasional. Sebaiknya bagaimana penyikapannya?

Quick count harus didorong pada konsep dan makna sejatinya. Ia harus dilakukan penyelenggara pemilu, bukan lembaga-lembaga survei. Karena quick count sebaiknya menyandarkan pada pengumpulan data populasi bukan sampel. Jadikan Quick count kewenangan KPU ketika melakukan tabulasi data seluruh TPS dalam waktu cepat.

Lebih teknisnya bagaimana?

Dilakukan dengan bantuan sistem komputasi terhadap hasil akhir seluruh TPS melalui format SMS yang dikirim kepada server KPU dalam waktu kurang dari 24 jam. SMS dikirim oleh KPPS yang berisi hasil hitung TPS dan rekapnya. Karena data paling murni dan jujur ada di TPS. Data suara inilah yang harus langsung dikirim ke pusat.

Coba bayangkan kalau dalam ajang final kontes bakat, penyelenggara bisa menampung 1 juta SMS masuk, dan menentukan siapa pemenangnya. KPU saya yakin sanggup menerima sms masuk sebanyak jumlah TPS yang kira2 cuma 500 ribu. Total suara nasional akan segera dihasilkan. Paling tak lebih dari 3 hari.

Kalau KPU bilang tidak siap dengan infrastruktur teknologi informasi (IT) karena ini mendadak dan tak disiapkan, gunakanlah SMS. Urutan kerjanya: pertama, sediakan form isian untuk seluruh TPS; kedua, siapkan beberapa handset dengan nomor berbeda sebanyak 497, setara jumlah kabupaten/kota; ketiga, instruksikan seluruh KPPS yang ada dalam tiap kabupaten/kota untuk mengirim SMS ke handset dengan nomer tujuan kabupaten/kotanya; keempat, rekap hasil dari tiap handset secara manual lalu pindahkan ke dalam form isian yang sudah disiapkan sebelumnya.

Kenapa empat langkah itu perlu dilakukan, agar KPU pusat punya data pembanding untuk pembanding hasil rekap berjenjang. Jangan sampai KPU pusat menyerah pada situasi saat ini. Menjadi pihak yang paling belakangan tahu hasil nasional di alur rentan dibohongi.

Yang terjadi sekarang di pihak penyelenggara, keadaannya seperti apa?

Sekarang ini rekapitulasinya bertahap berjenjang. Dari kelurahan/desa naik ke pusat. Semakin banyak tahapan rekap suara, justru di situlah rentan terjadi kecurangan dan manipulasi yang merusak kemurnian hasil TPS. Kepastian itu sangat penting untuk seluruh pihak. Masyarakat, kandidat, pelaku ekonomi, dan lain-lain. Sekarang, siapa bisa menjawab pertanyaan siapa yang menang?

KPU harus punya rencana penopang terhadap situasi saat ini. KPU bisa mengkordinasikan seluruh KPPS untuk mengirimkan sms hasil TPS segera ke KPU pusat. Ini sangat berguna sebagai data pembanding KPU pusat. Hasil ini bisa mengantisipasi manipulasi suara di PPS, KPU kabupaten/kota, atau KPU provinsi.

Tentu saja, secara independen, lembaga survei bisa melakukan survei “hasil pemilu” (yang biasa disebut quick count). Tapi lebih tepatnya sebagai pembanding hasil hitung penyelenggara pemilu. Karena sejatinya, hasil lembaga survei di luar penyelenggara atau pemerintah berfungsi sebagai kontrol dan pembanding. Ini baik sekali bagi demokrasi kita. []