August 8, 2024

Djayadi Hanan: Sistem Presidensialisme Punya Tiga Masalah

Pakar politik Universitas Paramadina, Djayadi Hanan, menerangkan soal sistem presidensialisme dan mengapa negara yang menganut sistem presidensialisme dengan banyak partai perlu menerapkan pemilu serentak. Simak selengkapnya dalam bentuk wawancara.

Pak Djayadi, apa sebetulnya sistem presidensialisme itu?

Ya, ada dua sistem pemerintahan di dunia ini. Pertama, sistem presidensial. Kedua, sistem parlementer. Sebetulnya ada dua lagi, yaitu semi presidensil dan semi parlementer. Nah, di sistem presidensil, ada keterpisahan antara eksekutif dan legislatif. Keduanya tidak saling bergantung. Dan, ada masa jabatan yang fiks untuk jabatan eksekutif. Kalau di parlementer kan tergantung parlemen.

Masa jabatan presiden juga bervariasi. Umumnya empat dan enam tahun. Di Amerika Serikat, empat tahun. Filipina, enam tahun. Korea Selatan, Indonesia, lima tahun.

Nah, kedua lembaga ini, di sistem presidensil, terbentuk dan berakhir oleh rakyat. Mandatnya langsung dari rakyat. Biasanya, dalam negara demokrasi, mereka dipilih melalui pemilu. Ada dua jalur pemberi mandat. Rakyat memilih legislatif dan juga eksekutif. Jadi, ada dua jalur yang diberikan secara langsung.

Sementara di sistem parlementer, eksekutif dipilih oleh parlemen. Jadi, di dalam sistem parlementer, hanya ada satu jalur pemberian mandat rakyat, yaitu rakyat memilih parlemen. Nanti parlemen memilih eksekutif, dan eksekutif bertanggungjawab pada parlemen.

Karena sama-sama mendapatkan mandate dari rakyat, maka di sistem presidensil, presiden yang buruk tidak bisa dijatuhkan oleh legislatif?

Betul. Legislative tidak bisa jatuhkan presiden. Tunggu sampai masa jabatannya berakhir. Kecuali, si presiden melakukan tindakan kriminal atau pengkhianatan, bisa di-impeach. Itu pun sulit.

Baik. Jadi, karena sistem presidensil ada dua jalur, maka perlu pemilu serentak? Sebab, di sistem parlementer hanya ada satu pemilu, yaitu pemilu legislatif.

Ya, itu betul juga. Tapi, di sistem presidensil, kenapa pemilihan legislatif dan eksekutif harus diserentakkan, karena di sistem presidensil ada problem.

Pertama, karena kedua cabang kekuasaan ini dipilih langsung oleh rakyat dan mereka tidak bergantung satu sama lain, ada problem legitimasi ganda. Masing-masing cabang kekuasaan bisa saling mengklaim sebagai yang paling mewakili rakyat. Akibatnya, muncul rigidity. Sistem presidensil rigid, memungkinkan terjadinya deadlock, dan akibatnya pemerintahan tidak berjalan.

Kedua, meski mereka terpisah satu sama lain, tetapi di dalam menjalankan tugas kenegaraan, keduanya harus kerjasama. Di dalam sistem dua partai seperti di Amerika Serikat, sering terjadi divided government. Presiden dari partai A, legislatif dari partai B yang mayoritas. Itu kan tidak mudah untuk kerjasama. Problem-nya akan deadlock. Yang baik eksekutif dari partai A, legislatif juga mayorits partai A. Jadi, jalan pemerintahan.

Jika eksekutif dan legislatif sama-sama dari partai A, bukankah pemerintah justru kemudian berpotensi menjadi otoriter?

Betul, memang ada problem kecenderungan majoritarianisme. Presiden cenderung mendominasi. Karena posisinya cendeurng lebih kuat, dia mendominasi segala hal, kadang-kadang memaksakan. Akhirnya bisa terjadi otoritarianisme.

Tapi dalam perkembangannya, belakangan, sejak 1990an, sistem presidensil berjalan cukup baik. Meskipun sistem ini banyak masalah, tapi di dunia ini, kencenderungan negara-negara demokrasi itu, jumlah negara dengan sistem presidensil meningkat. Dia sistem yang populer, terutama di negara-negara demokrasi baru.

Bagaimana dengan sistem presidensil di Indonesia? Apa juga mengalami dua masalah tadi?

Nah! Ini masalah yang ketiga. Secara teori, sistem presidensil itu, bila dilaksanakan di negara yang memiliki multi partai, artinya lebih dari tiga atau empat partai, ada kecenderungan presiden terpilih tidak dari partai mayoritas. Misal, tahun 2009, Pak SBY (Soesilo Bambang Yoedhoyono) menang 60 persen. Partainya juga menang pemilu, tapi menangnya itu di 25 persen. 25 persen itu belum mayoritas di parlemen. Tidak cukup mendukung Pak SBY secara sendiri. Oleh karena itu, biasanya presiden harus bentuk koalisi.

Problem-nya, dalam koalisi kan harus ada baran-barang koalisi. Artinya, bisa dibagikan kursi kabinet agar partai lain mau koalisi. Masalahnya, dalam sistem presidensil, yang membentuk kabinet adalah presiden sendiri. Jadi, kalau presiden harus bagi-bagi kursi cabinet, insentif untuk presiden dalam pembentukan kabinet kurang. Presiden akan cenderung membentuk kabinet dari orang-orang di luar partai.

Umunya, presiden mau berkoalisi?

Ya. Karena kalau gak mau koalisi, bisa deadlock. Kalau koalisi, kemungkinan gak deadlock. Di Indoensia kayaknya belum pernah deh terjadi deadlock antara presiden sama DPR, baik dalam membentuk undang-undang, maupun dalam meloloskan anggran dan sebagainya.

Nah, meski begitu, tapi kan tetap saja sistem presidensil di Indonesia dianggap punya kelemahan. Presiden kurang mendapatkan dukungan dari legislatif. Makanya, solusinya adalah mengurangi jumlah partai di parlemen. Mengurangi kan gak boleh dipaksa. Kalua dulu Pak Harto memaksa. Pemilu 1977, dipaksa oleh negara sehingga hanya ada tiga partai yang ikut pemilu dan masuk parlemen.

Bagaimana mengurangi jumlah partai di dalam sistem demokrasi?

Melalui sistem pemilu. Salah satu yang banyak dikaji oleh para ahli adalah sistem pemilihan presiden dan legislatif dijalankan serentak. Kalau Indonesia, dulu, sebelum 2019 kan pemilihan legislatif dulu, di negara lain banyak juga yang begitu. Tapi untuk negara multipartai, sebaiknya digabungkan.

Itulah yang disebut MK (Mahkamah Konstitusi) sebagai pemilu serentak yang bisa memperkuat sistem presidensil. Karena, pemilu serentak diharapkan partai-partai pendukung presiden mendapatkan berkah coattail effect.  Harapannya terjadi pembelahan koalisi. Itu yang akan terjadi pada saat membentuk pemerintahan. Diharapkan partai pendukungnya akan mendukung lagi. Jadi, presiden tidak direpotkan dengan cari koalisi lagi pada saat terpilih dan membentuk pemerintahan.

Nah, coba lihat Pemilu 2019. Koalisi sejak awal sudah tersedia. Beda dengan 2014. Jokowi menang pemilu, tapi partainya tidak mayoritas.