November 15, 2024

DPR dan Pemerintah Harus Merevisi UU Pemilu Sebagai Respon Putusan MK

Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah telah resmi mencabut Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu dari daftar undang-undang prioritas 2021. Sikap para pembentuk undang-undang ini menjauh dari keharusan merespon Putusan MK mengenai tafsir pemilu serentak dan revisi UU Pemilu.

“Ketentuan baru menghapus ketentuan yang lama. Putusan MK (55/2019) keluar tahun 2020. Undang-undang pemilu tahun 2017. MK sudah memberikan tafsir pemilu serentak,” ujar akademisi Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Charles Simabura dalam diskusi media online (14/3).

Menurut Charles, karena MK bukan pembentuk undang-undang, MK memberikan tafsir pemilu serentak dengan enam model. Dari enam model pemilu serentak ini, MK menyerahkan pilihan model pemilu serentak kepada DPR atau Pemerintah.

Berdasar Pasal 10 Ayat 1 huruf d UU 12/11, materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunya berisi tentang tindak lanjut atas putusan MK. Selanjutnya dinyatakan, tindak lanjut putusan MK tersebut dilakukan oleh DPR atau Presiden.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil mengingatkan dalam Putusan 55/2019 ada amanah yang ditujukan bagi pembentuk undang-undang. Jika kita membaca putusan mengenai pemilu serentak ini secara holistik, maka jelas MK menginginkan adanya evaluasi sistem penyelenggaraan pemilu serentak.

“MK sudah memberikan enam model pemilu serentak. Apapun pilihan model oleh pembentuk undang-undang, MK mensyaratkan prakondisi,” tegas Fadli.

Prakondisi itu, pertama, pilihan model pemilu serentak oleh DPR atau Presiden harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan secara luas. Kedua, harus ada kajian yang komprehensif dalam memilih model keserentakan pemilu. Ketiga, semua hal ini dilakukan dalam proses legislasi dengan waktu yang cukup sebelum diselenggarakannya pemilu.

“Berdasar Putusan MK ini, situasi harus kembali ke titik nol,” Fadli menekankan.

Fadli menanyakan proses dan hasil kajian komprehensi pembentuk undang-undang yang tetap mempertahankan pemilu serentak 5 kotak. Fadli pun menanyakan sudah sejauh mana DPR dan Pemerintah melakukan pelibatan para pemangku kepentingan dalam mencabut RUU Pemilu dalam daftar undang-undang prioritas 2021.

Banyak masalah

Peneliti Konstitusi Demokrasi Inisiatif, Violla Reininda juga menyayangkan sikap DPR dan Pemerintah terhadap UU Pemilu. DPR dan Pemerintah seperti tidak mempertimbangkan banyaknya masalah dari penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 yang dasar hukumnya adalah UU 7/2017 yang dipertahankan DPR dan Pemerintah.

“Open legal policy ini harus dimaknai DPR dan Pemerintah untuk mengevaluasi dan mengatasi masalah pemilu serentak melalui proses legislasi,” kata Violla.

DPR dan Pemerintah mengatakan, alasan tidak diubahnya UU Pemilu karena tidak ingin undang-undang pemilu diubah setiap pemilu. Padahal, undang-undang pemilu selalu diubah selama ini karena lebih banyak berkutat pada variabel sistem pemilu yang berkaitan langsung dengan perolehan kursi kekuasaan.

Masih banyak masalah krusial lainnya yang membuat UU Pemilu harus direvisi. Di antaranya adalah masalah peradilan pemilu, manajemen penyelenggaraan pemilu, pemenuhan hak-hak konstitusional pemilih dan peserta pemilu.

Direvisi atau tidaknya UU Pemilu pada tahun ini, tidak kemudian menghilangkan kewajiban DPR dan Pemerintah dalam mengevaluasi pemilu, baik Pemilu 2019 maupun Pilkada 2020. Evaluasi penting dilakukan karena ada kebutuhan mengatasi masalah yang diharapkan tidak muncul lagi dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. []

USEP HASAN SADIKIN