Persyaratan keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dinilai perlu diubah. Syarat usia yang dinaikkan menjadi 45 tahun untuk anggota KPU dan Bawaslu pusat perlu diganti menjadi 40 tahun. Hal ini dilakukan agar anggota memiliki kapabilitas yang baik dalam mengemban tugas.
“KPU dan Bawaslu pusat itu kan tugasnya berat. Perlu orang yang energik untuk bisa menyelenggarakan pemilu se-Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, di Senayan, Jakarta Selatan (22/11).
Syarat lainnya yang perlu diubah adalah pendidikan minimal. Anggota KPU/Bawaslu pusat wajib memiliki latar belakang pendidikan minimal Strata Satu, bukan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) seperti yang tertuang dalam Pasal 14 Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu.
“Kami tidak setuju syarat minimal SLTA. Penyelenggara pemilu pusat harus S1. Mereka kan harus menerjemahkan UU Pemilu ke dalam Peraturan KPU. Kita mau pemilu semakin berkualitas,” tukas Titi.
Titi kemudian menambahkan bahwa syarat berhenti dari keanggotaan partai tanpa adanya keharusan jeda waktu merupakan hal yang inkonstitusional. Hal tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.81/PUU-IX/2011 yang mengatur bahwa seseorang yang ingin mendaftar sebagai anggota KPU/Bawaslu, harus telah mundur selama minimal lima tahun dari partai.
“DPR perlu sangat mencermati setiap butir pasal di RUU Pemilu. Banyak pasal yang inkonstitusional, seperti yang telah dikaji oleh Kode (Konstitusi dan Demokrasi) Inisiatif. Perhatikan apakah suatu peraturan dalam RUU bertentangan dengan putusan MK,” tutup Titi.