August 8, 2024

Dua Masalah Sistem Pemilu Indonesia

Indonesia merupakan negara Asia Tenggara yang paling dinamis dalam mengubah sistem pemilu. Sejak Pemilu 1999, sebagai pemilu pertama setelah era otoriter, hingga Pemilu 2019, Indonesia setidaknya sudah tiga kali mengubah sistem pemilu. Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional tertutup. Pemilu 2004 dengan sistem proporsional semi terbuka. Pemilu 2009 hingga 2019 dengan sistem proporsional terbuka.

Tiga perubahan itu baru sebatas variabel sistem metode pemberian suara. Lainnya, pemilu Indonesia juga mengubah variabel sistem seperti ambang batas parlemen, besaran daerah pemilihan, dan metode konversi suara.

Dinamika tersebut tidak terjadi di negara-negara Asia Tenggara lain. Umumnya semua negara masih menerapkan sistem pemilu yang ditinggalkan negara yang melakukan kolonialisasi sebelumnya. Malaysia misalnya, terus menggunakan sistem pluralitas hingga sekarang yang diwariskan Inggris. Filipina, tetap menggunakan “sistem campuran” karena lama menjadi koloni Spanyol. Timor Leste yang lepas dari Indonesia, menggunakan sistem proporsional.

Isu perubahan sistem pemilu Indonesia menghadapi konteks baru pada tahapan Pemilu 2024. Salah satu anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengajukan uji materi undang-undang pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Pasal yang diuji seputar sistem pemilu proporsional terbuka untuk diubah menjadi proporsional tertutup. Jika MK mengabulkan ini, maka prilaku memilih pada surat suara dengan metode mencoblos nama calon legislator akan berubah menjadi mencoblos gambar/nama partai politik. Dengan kalimat lain, cara memilih sejak Pemilu 2009 sampai 2019 akan berubah menjadi cara Pemilu 1999.

Mahkamah Konstitusi semoga tidak mengeluarkan putusan hitam putih. Karena pada dasarnya, permasalahan sistem pemilu Indonesia bukan soal mempertahankan proporsional terbuka atau kembali ke proporsional tertutup. Selain itu, setiap sistem pemilu ada keburukannya yang perlu menyertakan solusi dari konsekuensinya. Penting bagi MK dan pembentuk undang-undang menyertakan pertimbangan menyeluruh dan sistemik sehingga ketentuan yang dibuat, bukan hanya soal buka/tutup.

Indonesia punya permasalahan sistem pemilu yang mendasar. Pertama, pemilu menghasilkan parlemen multipartai ekstrem. Kedua, partai politik berkualitas buruk dan belum dipercaya oleh masyarakat. Dua masalah mendasar ini lestari karena tahun 2022 tidak dijadikan momen perbaikan kerangka hukum kepemiluan dan partai politik. Padahal, Pemilu 2019 jadi pemilu yang amat buruk secara sistemik sehingga kompleksitasnya memakan ratusan korban jiwa.

Multipartai ekstrem

Menghindari multipartai ekstrem terbentuk di parlemen memang tidak menjamin suatu negara bisa lebih baik dalam demokrasi. Tapi, tidak ada negara yang baik berdemokrasi mempunyai sistem kepartaian multipartai ekstrem. Jika kita merujuk pada sejumlah indeks negara-negara dalam demokrasi/kebebasan (Freedom House) dan bersih dari korupsi (Transparency International), kita bisa berkesimpulan bahwa peringkat negara-negara antar indeks relatif mirip. Bila kita kaitkan dengan sistem politik, didapat temuan, tidak ada negara-negara baik ini yang sistem kepartaiannya multipartai esktrim.

Sistem kepartaian DPR Indonesia, sejak hasil Pemilu 1999 hingga Pemilu 2019, trennya adalah naik sebagai multipartai ekstrem. Pengertian multipartai ekstrem di sini adalah, terdapat lebih dari 5 partai relevan yang bisa mempengaruhi pemerintah dan pembentukan undang-undang. Hitungan ini berdasarkan rumus effective number of parliamentary parties (ENPP). Nilai ENPP 3 sampai 5, fragmentasi partai parlemen bersifat moderat. Nilai ENPP lebih dari 5, bersifat ekstrem. Sejak Indonesia menerapkan sistem pemilu proporsional semi terbuka pada Pemilu DPR 2004 dengan besaran daerah pemilihan 3-12 kursi, dihasilkan DPR bersistem kepartaian multipartai ekstrem (7.1). Padahal Pemilu 1999, sistem proporsional tertutup mengkonversi suara 48 partai politik peserta pemilu menjadi multipartai moderat (4.7). Lalu pada Pemilu DPR 2009, 2014, dan 2019 dengan sistem proporsional terbuka dan daerah pemilihan 3-10 kursi, tetap menghasilkan multipartai ekstrem (6.1, 8.2, dan 7.5).

Itu jadi bagian sebab, hilangnya oposisi dalam DPR. Kecairan ideologi partai di DPR, karena banyak partai yang persentase kursinya relatif imbang, sehingga bekerja berdasar tujuan mendapat jatah kekuasaan dan proyek pembangunan sebagai konsekuensi legislasi. Penyimpangan kebijakan dan undang-undang pada bidang kepemiluan, terjadi juga di bidang lainnya. Kita bisa lihat bagaimana legislasi inisiatif Pemerintah seperti Omnibuslaw Cipta Kerja, Revisi Undang-Undang Minerba, dan Undang-Undang Ibu Kota Negara yang punya banyak catatan formil dan materil, bisa cepat sah tanpa penyertaan berarti dari fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran DPR.

Kita sudah memetakan bahwa multipartai ekstrem membuat buruk pemerintahaan di semua negara. Mengubah sistem kepartaian dari multipartai ekstrem menjadi moderat, bisa dilakukan alamiah dan demokratis. Di antaranya dengan mengurangi besaran dapil dari 3-10/3-12. Jika sistem proporsional terbuka yang dipilih, maksimal kursi menjadi 3. Jika sistem proporsional tertutup yang dipilih, maksimal kursi menjadi 5. Kursi yang terlalu banyak tiap dapil merupakan faktor penyebab terbentuknya multipartai ekstrem di DPR/DPRD. Jika jumlah kursi di tiap dapil terlalu banyak, maka akan banyak partai politik mengesampingkan ideologi demi mendapat banyak kursi sisa. Terlalu banyaknya caleg dalam sistem proporsional terbuka lebih berpeluang menghasilkan perolehan suara partai politik yang relatif imbang sehingga menghasilkan sistem multipartai ekstrem di DPR.

Selama ini dapil besar telah mendorong partai politik hanya meraih suara dengan berbagai cara. Secara sistemik, ongkos politik menjadi amat mahal. Setelah mendapat kursi di DPR, partai-partai mengesampingkan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Berkuasa di DPR berarti membayar ongkos politik yang dikeluarkan pada pemilu sebelumnya lalu mengumpulkannya untuk pemilu berikutnya. Politik parlemen bukan hanya amat mahal tapi juga koruptif.

Partai politik yang buruk

Selain sistem multipartai ekstrem, buruknya kualitas parlemen Indonesia karena kualitas partai politik yang buruk. Hasil survei CSIS yang menempatkan DPR sebagai lembaga negara yang paling tidak dipercaya masyarakat, terhubung hasil survei Indikator Politik dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menempatkan partai politik sebagai lembaga demokrasi yang paling tidak dipercaya. Hasil survei pada pertengahan 2022 ini terbilang konsisten dengan banyak hasil survei sejenis pada tahun-tahun sebelumnya.

Penilaian buruk masyarakat terhadap partai politik tersebut sesuai dengan tingkat pengakaran partai politik. Berdasarkan hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Indikator Politik, nilai party identification (Party-ID) di Indonesia terus turun secara signifikan dari Pemilu 1999 hingga Pemilu 2019. Saat pemilu awal pasca-Reformasi, sekitar 86% responden mengaku dirinya terafiliasi dengan satu partai politik tertentu. Persentase ini turun sekitar setengahnya pada pemilu berikutnya. Pemilu 2004 di angka 55%. Pemilu 2009 di angka 21%. Pemilu 2014 di angka 11. Hingga pada Pemilu 2019, hanya di angka 7%.

Sebab paling sistemik menjauhnya partai politik dari massa adalah kerangka hukum. Sejak Reformasi, undang-undang partai politik sudah direvisi empat kali. Kita bisa bandingkan perubahannya dari UU 2/1999, UU 31/2002, UU 2/2008, dan UU 2/2011. Dari awal direvisi pada 2002 hingga 2011, syarat pembentukan partai politik semakin berat. UU No.2/2011 punya syarat paling berat karena partai politik harus memiliki kepengurusan dan kantor tetap di 100% provinsi, 75% kabupaten/kota, dan 50% kecamatan. Syarat 100:75:50 ini lalu diterapkan menjadi bagian dari syarat partai politik menjadi peserta pemilu, termasuk UU 7/2017 yang digunakan dalam Pemilu 2024. Syarat 100:75:50 berkonsekuensi pada kebutuhan modal finansial yang amat mahal.

Reformasi partai politik harus menekankan pada dua hal. Pertama, ketentuan hukum apa yang harus diubah dalam undang-undang partai politik dan pemilu. Kedua, melalui kewenangan lembaga negara mana perubahan ini harus dilakukan.

Setidaknya ada dua ketentuan yang harus diubah dalam undang-undang partai politik dan pemilu. Pertama, memudahkan pembentukan partai politik, sebagai contoh mengembalikan syarat pada 1999. Kedua, mengubah verifikasi partai politik peserta pemilu yang amat berat, kompleks, dan diskrimniatif menjadi hanya satu syarat yaitu laporan keuangan partai politik yang transparan dan akuntabel.

Sedangkan perubahan semua ketentuan tersebut diupayakan dalam tiga bentuk advokasi. Pertama, terus menerus melakukan pendidikan dan keberdayaan politik bagi warga dengan bekerjasama kepada banyak pihak seperti NGO, kampus, dan partai politik tertentu. Kedua, saat komposisi Hakim MK relatif sudah bisa menahan intervensi DPR/Presiden, melakukan lagi judicial review ketentuan undang-undang partai politik dan pemilu dengan meringankan syarat pembentukan partai politik dan kepesertaan partai politik di pemilu. Ketiga, ketentuan reformasi partai politik ini terus disampaikan kepada presiden sekarang atau berikutnya untuk ditindaklanjuti menjadi peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) dengan pemaknaan kegentingan ihwal yang memaksa bahwa dua masalah sistem pemilu yang sekarang telah menghasilkan darurat politik bernegara yang makin koruptif dan makin tidak demokratis. []

USEP HASAN SADIKIN