The International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) memilih dua orang Indonesia, salah satunya Titi Anggraini, untuk menyampaikan kepada dunia tentang darurat demokrasi pada masa pandemi. Pelibatan lembaga standar kepemiluan ini menyambung kepercayaan terhadap Titi sebelumnya sebagai Democracy Ambassador International IDEA 2017. Di tengah wabah Covid-19, Titi bersama tokoh dan lembaga demokrasi dunia berkampanye untuk tetap memegang prinsip demokrasi dalam bernegara. Hak dasar dan kedaulatan rakyat yang dikesampingkan oleh banyak pemerintah negara demokrasi atas nama stabilitas di tengah wabah merupakan tren keliru yang harus dilawan.
Sebelumnya, Titi Anggraini jadi satu nama orang Indonesia yang menjadi Duta Demokrasi The International IDEA. Perempuan kelahiran Palembang 12 Oktober 1979 ini dipercaya menjalankan misi pengamatan dan sosialisasi mengenai kualitas demokrasi bersama Kofi Annan (Mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa), Jan Kenneth Eliasson (Mantan Deputi PBB dan Menteri Luar Negeri Swedia), dan lainnya. Latar belakang Titi sebagai pegiat Perludem menjadi penanda bahwa “tak ada demokrasi tanpa pemilu”. Transisi pemilihan umum berkala dengan kesetaraan warga sebagai pemilih adalah pembeda yang prinsipil antara demokrasi dengan sistem kekuasaan lainnya.
Pelibatan The International IDEA tersebut seperti gayung bersambut dari pengakuan dunia lainnya. Sebelumnya, sebagai Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demorkasi (Perludem), mendapat penghargaan internasional atas pencapaian kerja-kerja kepemiluan Indonesia. Rumahpemilu.org sebagai media yang diampu Perludem menjadi satu-satunya wakil Indonesia untuk kategori inisiatif masyarakat sipil dalam “The Bobs-Best of Online Activism” 2016 (Deutsche Welle, Jerman). Di tahun yang sama, Perludem diapresiasi Silver Open Government Award oleh Open Government Partnership (OGP) dalam The Open Government Awards 2016 di Paris, Perancis karena berhasil mengkonversi data manual pemilu menjadi open data set sehingga melahirkan partisipasi masyarakat sipil yang lebih luas dalam bentuk ragam aplikasi pemilu.
Apa yang dicapai Titi merupakan buah dari proses panjang keyakinannya di bidang pemilu. Untuk kesekian kalinya, Mahasiswa Berprestasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menjawab tantangan para pendiri Perludem seperti Didik Supriyanto, Topo Santoso, Komarudin Hidayat, dan Siti Noordjanah Djohantini dengan pertanyaan, “Ti, kamu ingin jadi orang yang biasa-biasa saja atau jadi apa-apa?”
Anak hukum UI ber-IPK tinggi dan pintar bicara, biasa mencari jubah besar kantor hukum atau konsultan hukum perusahaan ternama. Titi salah satu dari anomali. Bagi si hebat, persimpangan hidup bukan hanya soal kesejahteraan, karir, pendidikan, dan keluarga, tapi juga apakah ia berdampak besar dan bermanfaat? Eksistensi Titi, lebih dari cukup memberi arti. Tinggi kualitasnya signifikan mempengaruhi advokasi, penyusunan regulasi, pengelolaan jejaring masyarakat sipil dalam perbaikan pemilu Indonesia.
Capain itu semua selalu disikapi rendah hati oleh Titi. Kerja tim dan kelembagaan serta dukungan banyak pemangku kepentingan biasa disertakan saat menjelaskan capaiannya. “If you want to go fast, go alone. But if you want to go far, go together,” pernah Titi mengutip. “Perludem yang membesarkan saya, bukan saya yang membesarkan Perludem,” suatu waktu ia menutup omongan.
Pengalaman panjang dan pengetahuan luasnya mengenai pemilu tak membuatnya melupakan para mitra, kolega, rekan, sahabat, dan keluarga. Banyak orang mendapat respek darinya, bukan mengangkat dagu. Kerendahan hati Titi meujudkan kesetaraan di tengah kita, khususnya bagi kita yang “bukan siapa-siapa” di mata publik. Kepada yang menjadikannya mentor, Titi pernah bilang, coba lihatlah kelebihan orang-orang dalam isu kepemiluan. “Dari mereka juga lah saya belajar pemilu. Like/dislike jangan sampai menutup kita bertambah ilmu,” tutur Titi.
Sifat respek itu pun luwes dilakukan Titi kepada semua pemangku kepentingan dalam pemilu. Perempuan berzodiak Libra ini begitu seimbang memposisikan dirinya dalam mengambil peran mengkritik, mengadvokasi, dan bekerjasama dengan banyak orang di pemerintahan. Politisi seperti tak bisa marah ketika dikritik Titi. Mulut vulgar Arteria Dahlan menjadi “berkanda dinda” jika berdebat dengan Titi. Pimpinan dewan pun tampak sulit menolak ajakan Titi bertemu soal perubahan undang-undang, bahkan ketika sedang berbeda pendapat.
“Udah aktif di pemilu sewaktu kalian masih nyebut pemilu, ‘pemiyu’,” ujar Didik kepada anak-anak Perludem, menggambarkan masa bergulat giat Titi yang seiring usia Reformasi.
Ya, Titi melibatkan diri aktif langsung di pemilu sejak pesta demokrasi pertama Reformasi sebagai panitia pengawas pemilu mewakili Universitas Indonesia. Ia terus menjaga silaturahmi dan rasa hormat terhadap orang-orang yang terlibat di pemilu meski pada Pemilu 2004 Titi aktif di isu lingkungan dan pemulihan pascabencana. Lulusan S2 Hukum UI ini lalu dipercaya menjadi staf ahli Bawaslu pada Pemilu 2009, program pemilu pada International Foundation for Electoral System (IFES Indonesia), International Republican Institute (IRI), Democratic Reform Support Program (DRSP) RTI-USAID, Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan, dan Elections Program UNDP. Setelah itu, pilkada berserak sampai serentak, Pemilu 2014 dan Pemilu Serentak 2019, merupakan pesta demokasi yang merekam eksistensi Titi Anggraini.
Beberapa dari kita bisa merinding saat melihat Titi yang cepat belajar hal baru. Ia serap semuanya, ia klarifikasi dengan keilmuwannya, lalu ia bahasakan menyerta konteks sehingga yang dijelaskan bisa menemukan terang.
“Memang orang hukum nggak bisa ngomong sistem pemilu? Emang cuma orang politik aja?” protes Titi kepada para teknokrat pemilu.
“Saya feminis bukan?” tanya Titi di tengah peserta magang dari dalam dan luar negeri saat membahas keterwakilan perempuan. Tanpa ada yang menjawab langsung, kita tak meragukan komitmennya dalam afirmasi kesetaraan untuk keadilan. Titi paling tepat berorasi tentang pemilu di Women’s March.
Pemahaman itu semua ia gambarkan melalui tulisan yang berserak di media massa dan kumpulan tulisan yang dipublikasikan lembaga pemangku kepentingan pemilu. Media massa bisa meminta cepat-cepat artikel opini Titi di momen penting seperti Hari H Pemungutan Suara. Semuanya menambah buah pikir Ibu dari Faris Naufal Mashudi ini. Sebelumnya ada “Menata Kembali Pengaturan Pemilukada” (2012); “Jalan Panjang Menuju Keadilan Pemilu: Catatan atas UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD” (2012); “Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Langsung dalam Kerangka Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” (2005) tesis melalui bimbingan Jimly Asshiddiqie; dan lainnya.
Kita tak ragu pada penguasaan Titi saat ia begitu menggebu-gebu menjelaskan pemilu. Sebagian wartawan online yang biasa langsung mengetik ucapan narsum, harus memilih menu rekaman ponselnya karena ucapan Titi begitu cepat dan terlalu banyak hal penting untuk dikutip. Salah satu lulusan terbaik PhD Melbourne University, Australia langsung ingin mengontak Titi untuk menjelaskan pemilu Indonesia di lingkungan kerjanya. “Kalau menonton Titi di TV, semua undang-undang dan teknis pemilu, hapal dia,” komentarnya takjub.
Antusiasme pemilu Titi seiring dengan optimismenya terhadap politik Indonesia. Latar belakang studi hukum membuatnya berkeyakinan bahwa politik Indonesia bisa akseleratif melalui reformasi hukum kepemiluan. Identitas Titi yang perempuan, jilbab, serta kepemiluan menggambarkan prospek harmoni isu gender, Islam, dan demokrasi. Melakukan transisi kepemimpinan Perludem dan kuliah doktoral menggambarkan diri Titi yang berintegritas dan saintifik terhadap demokrasi. Kita pun meyakini, kecintaannya terhadap pemilu tetap menjadikannya sebagai duta demokrasi abadi. []
USEP HASAN SADIKIN
Buku “Dari, oleh, dan untuk Kita tentang Titi Anggraini”:
Wawancara TITI ANGGRAINI, “Seandainnya Saya Jadi Anggota KPU…”