November 15, 2024

Empat Persoalan Pengaturan Sengketa dalam RUU Pemilu

Ada empat persoalan dalam pengaturan sengketa non hasil pemilu di dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu. Pertama, terminologi laporan dengan sengketa campur aduk. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 444 ayat (1). Terminologi laporan dalam UU kepemiluan bukan dimaksudkan untuk sengketa, tetapi penanganan pelanggaran, baik administrasi, pidana, maupun kode etik penyelenggara pemilu.

“Istilah-istilah seperti ini, kalau digunakan secara tidak tepat, justru akan menimbulkan kompleksitas yang baru dan kesulitan dalam memahami maksud UU. Jadi, sebaiknya diperbaiki,” kata peneliti pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, pada acara diskusi “Penegakkan Hukum di RUU Pemilu”, di Menteng, Jakarta Pusat (6/11).

Kedua, sengketa dapat diajukan kepada Panitia Pengawas Lapangan (PPL) dan Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam). Ketentuan ini dapat dilihat pada Pasal 441 dan 446 ayat (2). Ketentuan ini dinilai berbahaya karena PPL dan Panwascam berada di pusaran sengketa itu sendiri, sehingga proses penyelesaian sengketa berpotensi tidak fair dan rawan intervensi dari para pihak yang bersengketa. Selain itu, PPL dan Panwascam bukan pihak yang didesain untuk menyelesaikan sengketa.

“Ini bahaya, bisa menimbulkan persoalan baru. Mereka (PPL dan Panwascam) itu tidak disiapkan untuk menyelesaikan sengketa. Artinya mereka tidak punya kapasitas dan kemampuan untuk menyelesaikan sengketa. Kami khawatir mereka bukannya berhasil menyelesaikan sengketa, tapi justru menimbulkan kericuhan baru,” jelas Fadli.

Ketiga, pengaju sengketa tidak diwajibkan untuk menyampaikan alasan hukum terkait pengajuan sanksi. Ketentuan yang tertuang dalam Pasal 445 ayat (3) tersebut hanya mensyaratkan nama, alamat, dan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dijadikan objek sengketa.

“Ini rancu. Padahal yang paling penting untuk mengajukan sengketa hukum adalah alasan hukum kenapa sengketa itu diajukan. Nanti bisa saja orang yang tidak puas dengan keputusan KPU, tanpa alasan yang jelas, mengajukan sengketa kepada pengawas,” kata Fadli.

Terakhir, mekanisme musyawarah mufakat dalam proses penyelesaian sengketa administrasi pemilu dilegalkan sebagaimana tertuang di Pasal 446 ayat (5). Menurut Fadli, pengaturan ini tidak perlu dimasukkan.

“Yang namanya orang bersengketa, tidak mungkin lagi ada musyawarah mufakat, karena mereka merasa dirugikan. Jadi jalankan saja proses penyelesaian sengketanya.”