Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mencabut Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pemberhentian Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum 2017-2022, Evi Novida Ginting. Berarti, kewenangan presiden tanpa pengupayaan banding ke Mahkamah Agung ini menjadi penutup proses hukum yang panjang dari pemberhentian tetap Evi sebagai anggota KPU pusat oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta sebagai tempat pengupayaan hukum bagi Evi, berarti telah mengeluarkan putusan berkekuatan hukum tetap yang membatalkan Keppres pemberhentian tidak hormat terhadap Evi.
Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia Nomor B-210/Kemensetneg/D-3/AN.0100/08/2020 bersurat kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 13 Agustus 2020. Plt. Deputi Bidang Administrasi Aparatur, Setya Utama yang mewakili Kemensekneg berharap kepada KPU untuk dapat menyampaikan kepada yang bersangkutan (Evi Novida Ginting).
Berikut wawancara rumahpemilu.org kepada Evi Novida Ginting pada 13 Agustus 2020 melalui telepon:
Ada komentar mengenai Keppres Pencabutan Pemberhentian Tidak Hormat ini?
Saya mengucapkan syukur Alhamdulillah atas pencabutan Pemberhentian saya oleh Bapak Presiden.
Ada komentar lebih?
Pada dasarnya saya tidak mau berkomentar jika membawa polemik. Selama ini saya lebih banyak menahan. Biarlah semua penjelasan adalah yang disampaikan dalam persidangan.
Dengan Keppres ini, berarti tak ada lagi persidangan. Ada yang mau disampaikan di luar persidangan?
Saya ini kan pada dasarnya bertugas. Ketika saya menerima Putusan DKPP hingga kini, yang sedang berlangsung adalah penyelenggaraan pilkada. Sekitar lima bulan ini, saya menjadi tidak bisa bertugas dalam menjalankan fungsi dan kewenangan KPU pusat untuk mendukung KPU di daerah dalam menyelenggarakan pilkada.
Bagi saya Keputusan Presiden ini puncak dari semua perjuangan saya bersama tim penasehat hukum dan ahli. Mudah-mudahan ini punya makna besar bagi perbaikan terhadap penegakan keadilan pemilu. Begitu juga terhadap kelembagaan penyelenggara pemilu. Saya berharap ini bisa menjadi pembelajaran yang mungkin bisa diambil bagi penyelenggara pemilu. Agar kejadian-kejadian ini tidak terulang kembali.
Harapan bagi keanggotaan KPU kedepannya dalam mengeluarkan keputusan?
Pengambilan keputusan KPU bersifat bersama, collective collegial. Saya berharap, ini diperkuat dan disadari oleh semua anggota KPU. Ketika satu keputusan sudah dikeluarkan, maka perbedaan harusnya sudah tidak ada lagi. Sudah harus diikuti oleh semua anggota, dan sama. Menurut saya, kami sudah menjalankannya seperti ini.
Dari kasus ini, tentu perlu ada evaluasi bersama bagaimana sifat collective collegial ini bisa lebih baik. Sebelumnya, KPU Kalimantan Barat meminta petunjuk kepada KPU Pusat pascaputusan Bawaslu. Setelah KPU Pusat memberikan surat untuk tidak melaksanakan putusan Bawaslu, KPU Kalimantan Barat tetap melaksanakan putusan Bawaslu. Seharusnya collective collegial pun berlaku dalam hierarki kelembagaan KPU, dalam hal ini saat KPU Provinsi meminta petunjuk kepada KPU Pusat, lalu KPU memberikannya.
Ketika kami mau mengambil keputusan, kami boleh berbeda pendapat. Tapi ketika keputusan sudah diambil, tidak boleh lagi ada perbedaan pendapat. Dalam menjalankan tugas kelembagaan semua harus menyadari, semua tanggung jawab anggota KPU adalah sama. Walaupun ada perbedaan divisi, korwil, dan sebagainya.
Dari kasus ini, apa pandangan mengenai KPU yang dalam menjalankan kewenangannya berhubungan dengan Bawaslu dan DKPP?
Bagi saya sebenarnya semua kelembagaan pemilu, baik KPU, Bawaslu, dan DKPP sudah mempunyai batasan wewenang. Termasuk juga Mahkamah Konstitusi.
Jika batasan-batasan sudah digariskan seperti berdasar fungsi dan kewenangannya, mestinya kita tak boleh melampaui atau melewatinya. Misal, perselisihan hasil adalah wewenang MK. Lalu yang melaksanakan putusan MK adalah KPU, maka tentu tafsir KPU yang diikuti. Hal-hal mengenai administrasi dan etik tentunya masing-masing pihak harus menjaga kewenangan dan batasan yang diatur undang-undang.
Kepatuhan kita adalah kepatuhan terhadap undang-undang. Bagaimana menjalani undang-undang, merupakan hal yang paling penting.
Formasi keanggotaan DKPP ada exoficio dari KPU dan Bawaslu. Ada harapan apa dalam formasi ini?
Tentu, exoficio KPU berbicara atas nama KPU. Bukan atas nama pribadi. Karena itu penting menguatkan sifat collective collegial dalam mengeluarkan keputusan KPU. Jika keputusan KPU sudah ditandatangani Ketua KPU, maka menjadi keputusan bersama anggota KPU. Pandangan ini yang disampaikan bagi anggota DKPP yang merupakan exoficio KPU. []