August 8, 2024

Fadli Ramadhanil: Penegakan Hukum Mahar Politik Mesti Diperkuat

Tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di 270 daerah tengah berlangsung. Tahap penyerahan syarat dukungan bagi bakal calon perseorangan di Pemilihan Gubernur telah berakhir pada 20 Februari. Namun, bagi bakal calon perseorangan di Pemilihan Wali Kota/Bupati, tahap penyerahan masih dibuka hingga 23 Februari. Adapun pendaftaran calon kepala daerah dari partai politik akan dilaksanakan pada 16 hingga 18 Juni 2020.

Sehubungan dengan tahap pencalonan, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) melakukan Bincang Perludem (20/2) bertemakan mahar politik. Mahar politik di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah imbalan dari bakal calon kepala daerah kepada partai politik untuk dicalonkan sebagai kepala daerah. Simak penjelasan peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, dalam bentuk wawancara.

Pemberian imbalan dalam proses pencalonan merupakan suap atau bentuk candidacy buying. Kenapa disebut mahar dalam dunia perpolitikan Indonesia?
Ya, ini ironi. Mahar kan sebetulnya adalah pranata yang suci, sesuatu yang diberikan pada saat pernikahan. Tapi dia dipakai untuk candidacy buying dalam pencalonan. Orang memberikan imbalan kepada partai politik agar bisa maju atau dapat tiket pencalonan. Seingat saya, istilah mahar politik sudah ada sejak 2008, saat awal-awal Pilkada langsung.

Candidacy buying dilarang di Undang-Undang Pilkada?

Dilarang, dan larangannya cukup clear. Di UU Pilkada disebutkan bahwa bakal calon kepala daerah dilarang memberikan materi atau imbalan kepada partai. Partai juga dilarang menerima imbalan. Tapi memang, kita berhadapan dengan fenomena bagaimana sulitnya mengungkap praktik pemberian uang atau barang antara bakal calon dengan partai  politik. Praktik ini selalu saja terjadi di ruang-ruang yang sulit diakses pengawas pemilu, penegak hukum, atau aktor-aktor yang punya peran mengungkap ini.

Sulit terungkap, berarti hingga saat ini belum ada kasus penegakan hukum atas praktik candidacy buying yang berhasil diselesaikan?

Betul, belum ada yang berhasil diselesaikan. Di media, kasus candidacy buying ter-blow up ketika ada yang mengadu dia dimintai uang oleh partai. Nah, ini kan ada yang mengadu, jadi sebetulnya bisa diproses oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).

Ada dua pintu masuk dugaan pelanggaran, yaitu lewat hasil pengawasan mereka atau temuan, dan laporan. Misal beredar informasi di masyarakat atau di publik terkait dugaan pemberian uang kepada partai, itu bisa jadi temuan mereka, tidak perlu harus menunggu laporan. Tapi kalau ada laporan, lebih baik lagi. Nah, Bawaslu perdalam kasus itu, panggil para pihak, lakukan klarifiksi, lakukan pendalaman agar peristiwa ini jadi terang, meskipun tidak terselesaikan dengan hukum.

Karena, kalau lihat UU Pilkada, sulit menyelesaikan. Harus dibuktikan dulu sanksi pidananya atau praktik mahar poitik itu, baru bisa diputuskan diskualifikaisnya atau tidak boleh mencalonkan di pilkada selanjutnya. Ini memang membingungkan, tapi bagi publik, proses candidacy buying harus dibuat terang. Proses kejadiannya seperti apa, agar masyarakat tahu, seperti ini loh proses pencalonan, dan orang gagal nyalon karena ada masalah uang ini.

Jika bakal calon ingin memberikan uang kepada partai politik untuk kampanyenya nanti, dan uang ini diberikan pada tahap pencalonan, apakah termasuk candidacy buying?

Dalam ketentuan normatif, bisa dibenarkan pemberian uang dari bakal calon kepala daerah kepada partai, tapi pemberian itu sifatnya sumbangan dari orang ketiga kepada partai. Itu perbuatan yang sah menurut UU Partai Politik. Tapi, ada ketentuannya. Misal, harus ikuti batasan sumbangan yang diperbolehkan. Kedua, harus dicatatakan dan dilaporkan oleh partai. Jadi, partai memang perlu sumbangan dari pihak ketiga untuk kegiatan operasional partai dan kegiatan kampanye, tapi dicatat dan ditransparansi. Nah, selama ini tidak dicatat. Itu terjadi di ruang gelap.

Apa dampak dari candidacy buying?

Candidacy buying menimbulkan politik berbiaya tinggi di Pilkada. Bayangkan, seorang bakal calon harus bayar sekian miliar. Ini baru jadi calon, belum jadi kepala daerah. Syukur-syukur kalau itu uang pribadi, sehingga bebannya di dia pribadi. Tapi kalau itu dari pihak ketiga, ketika dia terpilih, ini akan jadi beban politik bagi dia. Dia harus membalas atau harus terlibat dalam konflik kepentingan antara orang yang dulu sudah kelur uang banyak untuk biayai proses pencalonan dia sebagai cakada.

Efek ikutannya banyak sekali. Misal, suap dalam proses perizinan, suap dalam proses pengadaan. Dampaknya pada pengadaan publik dan proses penyelenggaraan pemerintahan yang tidak lagi berdasarkan good goverment karena sudah ada kepentinga-kepentingan yang menyelimuti si kepala daerah.

Jadi, itu semua terjadi karena tidak transparan. Kalau transparan dicatat, gak ada masalah juga. Di praktiknya, beberapa orang sudah menunjukkan itu. Parahnya lagi, itu akan berimbas pada praktik korupsi yang jadi beban daerah.

Apa yang perlu diperbaiki dari proses pencalonan kepala daerah oleh partai politik?

Ya, kita sebetulnya ingin agar partai politik lebih kuat secara institusi, juga lebih terbuka dan baik. Makanya, proses kandidasi di Pilkada harus diperbaiki. Salah satunya, mesti ada alasan yang bisa dijelaskan oleh partai kepada publik, kenapa partai milih A atau B atau C. Bagaimana mekanisme rekrutmennya? Kenapa si A, dan tidak si B? Kan kader partai banyak. Itu bisa jadi tolak ukur awal untuk menilai seberapa demokratisnya partai.