Tahapan Pemilu 2019 telah dimulai saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi membuka pendaftaran partai politik calon peserta pemilu pada Selasa (3/10) lalu. Dalam menjalankan tahapan pertama ini, KPU bertumpu pada Peraturan KPU No. 11 Tahun 2017 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Peserta Pemilu. KPU menggunakan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) untuk mendukung kerja partai dan penyelenggara pemilu dalam melakukan pendaftaran, penelitian administrasi, dan verifikasi faktual terhadap pemenuhan persyaratan partai menjadi peserta pemilu.
Penggunaan Sipol jadi perdebatan karena penggunaannya diwajibkan. Mengisi data pada sipol adalah syarat wajib bagi partai untuk mendaftar. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) keberatan terhadap syarat wajib ini. Menurut Bawaslu, harus ada jalan lain untuk kondisi tertentu seandainya partai tidak bisa mengisi Sipol.
Rumah Pemilu berbincang dengan Fadli Ramadhanil, peneliti hukum pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), soal legalitas Sipol dan potensi persoalan yang timbul. Berikut petikan wawancara Rumah Pemilu dengan Fadli Ramadhanil di kantornya di bilangan Tebet, Jakarta Selatan (6/10).
Bagaimana Anda memandang penggunaan Sipol oleh KPU?
Sipol itu kan sebetulnya bagian dari inovasi KPU untuk memastikan penataan keanggotaan partai yang lebih baik dan lebih mudah diverifikasi.
Tapi KPU mewajibkan. Tidak ada cantolannya di undang-undang…
Dibilang wajib tidak apa-apa. KPU berwenang membuat aturan penyelenggaraan pemilu. Sepanjang itu tidak bertentangan ya tidak masalah untuk kebermanfaatan tahapan pemilu.
Bawaslu bilang harus ada jalan lain untuk kondisi tertentu seandainya partai tidak bisa mengisi Sipol. Menurut Anda?
Ya, protokolnya tidak detail. Misalnya kalau ada kendala jaringan, apa yang bisa dilakukan; kalau kemudian orangnya terlambat mengisi, bisa tidak diberikan data manual kepada KPU kabupaten/kota saja. Kemudian data itu yang dikirim dan diinput lagi. Hal itu harus diatur detail.
Apa konsekuensi dari tidak detailnya aturan itu?
Kalau tidak diatur detail, protokolnya itu, bisa jadi persoalan di belakang. Justru ketidakadaan di undang-undang itu akan dipersoalkan.
Bawaslu mengeluh tak diberi akses. Tapi kemudian KPU bilang akan beri akses per Kamis (5/10) kemarin…
Tidak mungkin dikasih gitu aja. Bersurat harusnya.
Perlu dasar legal untuk memberi akses?
Harusnya iya, tapi disurati saja Bawaslu bahwa sekarang sedang berlangsung proses meng-input Sipol dan kepada Bawaslu, untuk menjalankan fungsi pengawasan pencegahan, berikut akses untuk mengawasi Sipol. Itu saja. Harusnya hubungannya kelembagaan.
Jika benar Bawaslu telah dapat Akses, untuk mengawasi tahapan itu kan perlu Perbawaslu. Apa bisa Bawaslu mengawasi tanpa Perbawaslu?
Itu bisa dilakukan langsung dengan cantolan undang-undang.