Maret 29, 2024
iden

HAMDAN ZOELVA | Gerbang Konstitusi Pemilu Serentak

Kepemimpinan Hamdan Zoelva di Mahkamah Konstitusi hadir di saat yang tepat. Ia menjaga kepercayaan publik terhadap MK pasca-korupsi Ketua MK, Akil Mochtar. Posisi MK sebagai pengadil perselisihan hasil pilkada dan pemilu dijalankan dengan baik oleh Hamdan. Di jelang akhir periode jabatannya, Hamdan memimpin MK mengeluarkan putusan yang sangat penting dalam bidang kepemiluan: membuka gerbang konstitusi penggabungan pemilu eksekutif dan legislatif yang dimulai 2019.

Di era Reformasi 1998-1999, Hamdan bersama pegiat pergerakan Forum Ukuwah Islamiyah (FUI) mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB). Sebagai Wakil Sekretaris Jendral PBB, Sarjana Hukum penjurusan Hukum Internasional Universitas Hasanuddin ini menjadi calon anggota DPR di Pemilihan Umum 1999 dan terpilih mewakili daerah pemilihan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dalam periode menjabat sebagai dewan, Hamdan menjadi Sekretaris Fraksi PBB di DPR lalu duduk di Badan Musyawarah DPR, sekaligus menjadi Wakil Ketua Komisi II DPR bidang Hukum dan Politik.

Kuat terlibat di DPR, Hamdan merupakan bagian dari perumusan berbagai kebijakan strategis. Terutama pemilihan presiden dan wakil presiden, sekaligus selanjutnya pemakzulan Presiden “Gus Dur” Abdurrahman Wahid. Selain itu, di rentang 1999-2002, Hamdan menjadi satu-satunya wakil Fraksi PBB di Panitia Ad Hoc (PAH) I MPR yang membidani perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

Sebagai anggota Panitia Khusus Penyusun Rancangan Undang-Undang MK, Hamdan berkontribusi melahirkan MK lewat perannya. Ia langsung terlibat merumuskan MK secara organisasi maupun hukum beracara.Posisinya sebagai anggota DPR, menjadikan ia sebagai salah satu wakil rakyat yang terlibat dalam uji kelayakan dan kepatutan calon Hakim Konstitusi periode pertama dari unsur DPR.

Karir Hamdan sebagai hakim Mahkamah Kostitusi dimulai 2010. Lelaki kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat pada 21 Juni 1962 ini menjadi hakim MK melalui satu dari tiga pilihan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Peraih Master dan Doktor bidang Hukum dari Universitas Padjajaran ini diangkat menjadi ketua MK periode 2013-2016 menggantikan Akil melalui pemungutan suara dua putaran oleh 8 hakim MK.

Pada saat memimpin MK, Hamdan mengeluarkan putusan penting dalam cita perbaikan presidensialisme Indonesia. MK melalui Putusan No.14/PUU-XI/2013 menitah penyelenggaraan pemilu serentak pada 2019. Mulai pemilu kelima pasca-Reformasi, pemilu ekskutif digabung penyelenggaraannya dengan pemilu legislatif.

Konstitusionalitas pemilu serentak menurut Hamdan adalah Pasal 22E UUD 1945. Jika pasal itu dibaca sekaligus, keserentakan pemilu dan regulasi kepemiluan merupakan kepastian. Sehingga, harus dibuat undang-undang baru untuk pemilu serentak yang menyatukan undang-undang kepemiluan yang berserak.

Tersesat di gerbang yang benar

Berkah pemilu serentak buah Putusan MK yang dipimpin Hamdan pun mengandung masalah. Berkah karena pemilu serentak yang menggabungkan pemilu presiden dengan pemilu DPR merupakan bentuk sesuai pemilu serentak nasional. Membawa masalah karena pilkada kuat dimaknai bukan bagian dari rezim pemilu.

“Saya sejak awal menempatkan pemilihan kepala daerah adalah pilkada bukan pemilukada. Pilkada bukanlah rezim pemilu,” kata Hamdan sebagai pembicara kunci dalam Seminar Nasional Kodifikasi UU Pemilu.

Ada dua konsekuensi buruk dari pemahaman Hamdan terhadap pilkada yang bukan rezim pemilu. Pertama, jika pilkada bukan rezim pemilu, pilkada keluar dari desain pemilu serentak nasional dan lokal. Jelas ini kehilangan setengah nyawa cita perbaikan presidensialisme Indonesia.

Artinya, pilkada serentak tanpa pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang juga serentak menghilangkan kebutuhan evaluasi tengah periode jabatan presiden-wakil presiden terpilih hasil pemilu serentak nasional. Dalam ketatanegaraan kita ketahui bahwa, pemilu presiden langsung merupakan jawaban dari pemerintahan parlementer yang labil berganti pemerintahan. Tapi, kekurangan sistem presidensial adalah terkuncinya periode menjabat presiden-wakil presiden.

Pemilu serentak lokal sebagai bagian dari desain pemilu serentak. Jika pilkada diserentakan dengan pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota lalu diselenggarakan di tengah periode menjabat presiden-wakil presiden, maka rakyat sebagai pemilih punya kedaulatan yang evaluatif. Jika kepemimpinan nasional dinilai baik, maka dilanjutkan dan diperluas di pemerintahan lokal. Sebaliknya, jika kepemimpinan nasional dinilai buruk, maka dihukum dengan memilih kekuatan politik oposisi di pemilu lokal untuk mengisi pemimpin dan parlemen daerah.

Antiklimaks

Masalah kedua pemahaman Hamdan soal pilkada bukan rezim pemilu adalah menghilangkan kewenangan MK menangani sengket pilkada. Pemahaman ini terkonfirmasi sebelum putusan pemilu serentak.

Putusan No.9/PUU-XI/2013 yang diketok Hamdan pada 19 Maret 2013, menghapus kewenangan MK sebagai lembaga yang menangani sengket pilkada.  MK membatalkan dua Pasal 236 Huruf c UU No 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 Ayat (1) Huruf e  UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menjadi dasar kewenangan MK mengadili sengketa pilkada.

Putusan ini menjadi antiklimaks Hamdan sebagai sosok yang ikut membangun penguatan poros yudikatif demokrasi melalui kelembagaan MK. Pertama, MK melalui kewenangan putusannya telah menghapus kewenangannya sendiri. Kedua, putusan MK itu berarti menyerahkan kewenangan pengadil hasil pilkada kepada pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung (MA) yang sulit diakses keterbukaannya.

Hamdan Zoelva merangkum dinamika politik Indonesia yang tak pendek. Sosoknya mengingatkan, perbaikan tatanan negara tak bisa dilepas dari partai politik dan baiknya sumber daya manusia politik. Semoga upaya perbaikan pemilu dan demokrasi Indonesia yang terus menurus ini tak ikut mutlak menjadi antiklimaks. []

USEP HASAN SADIKIN