Maret 28, 2024
iden

Heroik Pratama: Desain Sistem Pemilu Serentak Yang Paling Efektif dan Efisien

Pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.55/2019 mengenai desain pemilu serentak yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), pembahasan mengenai desain pemilu serentak yang sanggup menciptakan efektivitas sistem presidensial dan efisiensi penyelenggaraan pemilu patut segera dimulai. Sebagaimana diamanahkan oleh MK bahwa untuk penetapan sistem pemilu serentak, penetapannya mestilah dilakukan sedari awal agar tersedia waktu untuk simulasi. Simak penjelasan peneliti Perludem, Heroik M. Pratama, mengenai desain sistem pemilu serentak yang konstitusional sekaligus efektif memperkuat sistem presidensial dan efisien.

Kenapa mengajukan uji materi?

Kami melakukan uji materi atas Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang (UU) No.7/2017, Pasal 3 ayat (1) UU No.8/2015, serta Pasal 207 ayat (7) dan (9) UU No.10/2016. Jadi, ada tiga undang-undang yang kami uji konstitusionalitasnya.

Ini sebetulnya evaluasi kami terhadap Pemilu Serentak 2019. Bahwa pemilu serentak lima kotak membawa dampak pemilu yang sangat kompleks. Dari segi efisiensi juga, misal soal kemudahan kemudahan bagi penyelenggara pemilu dan pemilih, bisa dibilang tidak memudahkan. Di Pemilu Serentak 2019, ada surat suara tidak sah dengan jumlah signifikan. Di Pemilihan Anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) saja, ada lebih dari 17 juta suara tidak sah. Ini menunjukkan  pemilih kesulitan. Banyak pula terjadi surat suara tertukar dan penyelenggara pemilu banyak yang meninggal.

Atas evaluasi itu, kami minta MK untuk menafsirkan kembali desain dan waktu pemilu serentak. Jika pemilu serentak dimaksudkan agar tercipta efektivitas sistem pemerintahan presidensial dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, termasuk di dalamnya kemudahan bagi pemilih, maka apakah desain keserentakkan itu bisa diubah menjadi pemilu serentak nasional yang menyatukan pemilihan presiden, DPR, dna DPD (Dewan Perwakilan Daerah) sekaligus, dan dua setengah tahun kemudian pemilu serentak lokal untuk pemilihan gubernur, bupati atau wali kota dan pemilihan anggota DPRD (DPR Daerah) provinsi dan kabupaten/kota dalam satu hari yang sama.

Perludem meminta agar pemilihan presiden, DPR dan DPD tetap disatukan. Sementara, beberapa partai politik berencana untuk memisahkan kembali pemilihan presiden dengan pemilihan legislatif. Apa alasannya?

Di UUD (UU Dasar) 1945 disebutkan, setiap keputusan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tetap membutuhkan persetujuan DPR. Hal ini mengakibatkan setiap kebijakan presiden, seperti anggaran, mesti mendapatkan banyak dukungan di DPR. Tata kelola pemerintahan seperti ini menghendaki agar presiden dapat membentuk koalisi mayoritas di parlemen agar agenda pemerintahan dapat terus berjalan.

Hal tersebut yang tidak terjadi sejak 2004 dengan desain pemilihan presiden langsung yang dipisahkan dengan pemilihan legislatif. Pada periode pertama SBY (Soesilo Bambang Yoedhoyono) di 2004, SBY hanya diusung oleh tiga partai, yaitu Demokrat, PBB (Partai Bulan Bintang), dan PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia). Itu minoritas. Nah, karena minoritas ini, usulan kebijakan presiden bisa saja ditolak. Di 2009 dan 2014, untuk menyiasati hal itu, kemudian koalisi pasca pemerintahan terpilih dibentuk. Kan koalisi terjadi di dua arena, yaitu di pemilu dan pasca pemilu. Di pasca pemilu, itulah koalisi yang perlu terjadi untuk efektivitas pemerintahan.

Masalah yang terjadi di Indonesia dialami pula oleh negara dengan sistem presidensil multipartai. Dan yang kami minta soal pemilu serentak ini, sebetulnya bukan hal baru. Kalau kita baca naskah permohonan Effendi Ghazali, yang diusulkan itu bukan pemilu serentak lima kotak, tapi pemilu serentak legislatif dan eksekutif.

Pemilu 2019 telah pemilu serentak, bahkan hingga level DPRD kabupaten/kota. Apakah kini sistem presidensial Indonesia telah efektif?

Nah, kan sebetulnya pemilihan presiden dan pemilihan legislative yang dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan semestinya menimbulkan coattail effect atau efek ekor jas, dimana pemilih akan memilih partai pendukung calon presiden yang dipilihnya. Di Pemilu 2019, coattal effect tidak terlalu berpengaruh. PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) sebagai partai pemenang Pemilu 2019, vote share-nya tidak terlalu sigifikan. Hanya naik 1,5 persen dari Pemilu 2014. Meski memang, dari coalition effect,  ada dampak yang signifikan. Parta-partai pendukung Joko Widodo mendapatkan banyak kursi, yang kalau ditotal, mayoritas di parlemen.

Kami menduga, kenapa coattail effect tidak terlalu berdampak karena pemilu serentak kita menggabungkan pemilihan DPRD. Akibatnya, pemilih menjadi bingung dan tidak fokus ke pemilu DPR. Problem-nya juga soal DPRD ini, coattail effect di daerah itu bervariasi. Memang tidak mengherankan, sebab tata kelola pemerintahan daerah itu kan tidak jauh berbeda dengan di level nasional. Setiap angaran yang diusulkan oleh Pemda (Pemerintah Daerah) juga harus disetujui oleh DPRD. Nah, ketika pemilihan legislatif di daerah tidak dibarengkan dengan pemilihan eksekutif di daerah, tidak terjadi coattail effect. Desain sistem pemilu serentak di 2019 itu tidak punya insentif untuk mengefektifkan pemerintahan daerah.

Bagaimana soal penyederhanaan partai yang digadang-gadang menjadi salah satu dampak dari pemilu serentak, guna membantu efektivitas sistem presidensial?

Betul, pemilu serentak salah satu tujuannya adalah penyederhanaan sistem kepartaian. Hanya saja, begini, kita sering menyangka menyederhanakan partai adalah dengan menyedikitkan jumlah partai. ENPP (effective number of parliamentary parties) kita sejak 2014 tidak berubah signifikan. Di 2014, meski ada sepuluh partai di parlemen, tapisistem kepartaian kita hanya ada delapan partai yang punya pengaruh signifikan di level legislatif. Di 2019, nilai ENPP 7,4. Jadi, pemilu serentak tidak punya pengaruh sigifikan pada penyederhanan sistem kepartaian untuk mengefektifkan sistem presidensialisme.

Di negara dengan sistem presidensial multipartai, pemilu serentak juga tidak menyederhanakan sistem kepartaian?

Nah! Kami di Perludem tidak berhenti pada desain keserentakkan saja. Karena, waktu penyelenggaraan pemilu itu hanya satu dari banyak variabel pemilu. Yang lain ada variabel metode pemberian suara, apakah proporsional daftar terbuka atau tertutup, dan penetapan calon terpilih, apakah pada suara terbanyak atau nomor urut. Ada juga variabel besaran daerah pemilihan (dapil).

Di beberapa negara dengan sistem presidensial multipartai, mereka tidak hanya berhenti pada keserentakkan. Mereka mengecilkan besaran dapil. Di Honduras, meski sistem pemilu sama dengan di Indonesia, open list, tapi besaran dapil rata-rata 7 kursi. Ini berdampak pada penyederhaan sistem partai mereka. ENPP mereka di angka 3,58. Lalu Argentina, close list, besaran dapil rata-rata 5, ENPP-nya 3,12. Terakhir di Chili, open list, rata2-rata besaran dapil kecil, juga berdampak pada penyederhanan partai.

Nah, di Indonesia, sekarang sedang ada momentum revisi UU Pemilu dan sensus penduduk. Ini bisa jadi ruang untuk kembali menata dapil kita.

Kembali ke desain keserentakkan pemilu. Jika misal dapil telah diperkecil menjadi paling besar 7 atau 5 kursi, mana desain pemilu serentak yang menurut Perludem paling sanggup menciptakan efektivitas sistem presidensial dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia?

MK memberikan enam desain pemilu serentak yang konstitusional. Yang keenam lain-lain, namun telah dikunci oleh MK dengan catatan tidak memisahkan pemilihan presiden dengan pemilihan anggota DPR dan DPD.

Yang pertama, pemilu serentak memilih presiden,  DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. In sepeti kemarin Pemilu 2019. Jadinya seperti yang telah saya jelaskan. Tidak efektif dan tidak efisien.

Kedua, pemilu DPRD dipisahkan dengan pemilu DPR, DPD, dan presiden. Mungkin akan terlihat coattail effect, tapi coattail effect di tingkat daerah tidak akan bekerja karena pemilihan DPRD dipisahkan dengan pemilhan kepala daerah. Padahal, tata kelola pemeirntahan di daerah sama seperti di tingkat pusat.

Ketiga, ini yang akan terjadi kalau UU No.7/2017 dan UU No.10/2016 tidak dirvisi. Ini yang akan kita hadapi di 2024. DPRD dan pemilihan eksekutif di level daerah digabungkan, juga DPR, DPD, dan presiden. Mungkin akan efektif. Tapi apakah akan efisien? Apakah pemilih akan mudah memberikan suaranya? Padahal kemarin, lima surat suara saja, pemilih kebingungan. Apalagi jika ada tujuh surat suara.

Model keempat, pemilu serentak nasional untuk memilih presiden,anggota DPR, dan DPD, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, bupati, dan wali kota. Ini desain yang kami usulkan. Menurut kami, efektif dapat, dan efisiensi juga dapat. Pemilih akan mudah menentukan pilihannya. Penyelenggara pemilu juga akan lebih mudah menyelengarakan. Harapannya, tidak ada banyak surat suara tertukar, persoalan rekapitulasi tidak terlalu lama, juga, coattail effect akan terjadi di level nasional dan daerah.

Kelima, keserentakkan dibagi di tiga level, nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Dari efektivitas coattail, mungkin iya akan terjaidi, tapi divided government dari atas sampai bawah juga sangat mungkin terjadi. Mungkin saja di level nasional yang menang pemilu adalah partai A, di level provinsi partai B, dan di level kabupaten/kota partai C. Dari segi efisiensi pun, selama lima tahun, artinya kita akan selalu dihadapkan pada pemilu. Ini bisa berdampak terhadap kurang efisiennya tata kelola pemilu di Indonesia.

Baik. RUU Pemilu masuk prioritas legislatif. Apa pesan Perludem untuk DPR?

Harapan kami, DPR tidka hanya berhenti pada desain keserentakkan pemilu, tetapi juga mempertimbangkan variabel lain dalam sistem pemilu, agar betul-betul terbangun sistem pemilu yang efektif dan efisien. Pemilu 2024 masih cukup lama, masih ada cukup waktu untuk menyusun kebijakan dan simulasi.