August 8, 2024
Foto diambil dalam https://zonasultra.com/.

Hidayatullah: KPU RI Tak Konsisten Soal Pemberhentian Tetap oleh DKPP

Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tenggara (Sultra), Hidayatullah menceritakan pengalamannya terkait kasus serupa yang dialami oleh Evi Novida Ginting. Namun, meski serupa, tak sama pulang jabatan. Meski Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) meminta KPU Sultra untuk mengembalikan jabatan ketua dan anggota KPU Sultra atas nama Hermansyah Pagala dan Asran Lasahari, KPU RI pada 2015 memerintahkan agar KPU Sultra tetap menaati putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memberhentikan tetap keduanya. Simak selengkapnya penuturan Hidayatullah.

Bisa diceritakan kasus yang dialami oleh KPU Sultra pada 2014?

Historisnya, saya pernah menjadi Ketua KPU Sulawesi Tenggara 2013-2018. Saya mengalami kejadian yang sama seperti apa yang terjadi terhadap Putusan DKPP Evi Novida, yaitu pemberhentian tetap. Kemudian Putusan DKPP ini digugat. Bahkan, ada prosesnya yang sampai ke Mahkamah Agung (MA).

Kasus terjadi pada akhir Desember 2014. Ketua KPU Kabupaten Konawe serta salah satu anggotanya diputuskan berhenti tetap oleh DKPP karena terkait pelanggaran kode etik atas aduan salah seorang caleg parpol. Nah, setelah ada Putusan DKPP, maka perintah dari DKPP agar kita melaksanakan putusan. Kita laksanakanlah putusan itu. Karena Pasal 112 UU No.15/2011 mengatakan putusan DKPP final dan mengikat. Meski ada Putusan MK No.31 yang isinya memutuskan kalau putusan DKPP tidak final dan mengikat pada presiden.

Waktu itu, kita plenokan untuk menindaklanjuti putusan DKPP. Sepakat, tidak ada lagi mengoreksi putusan DKPP. Jadi, kita terbitkan surat keputusan pemberhentian dan kita persiapkan juga PAW (pejabat antar waktu). Kemudian PAW itu kita proses terhadap dua orang yang diberhentikan dengan keputusan KPU provinsi.

Keputusan kami itu digugat di PTUN Kendari. Lalu dimenangkan oleh penggugat. Hermansyah Pagala dan Asran Lasahari. PTUN Kendari meminta agar Keputusan KPU Sultra dibatalkan, meminta PAW dicabut, dan merehabilitasi harkat kedudukan dan jabatan yang bersangkutan.

Atas putusan itu, kami banding ke PTUN Makassar. Kami kalah lagi. Setelah itu, kita kasasi. Karena tetap kita melakukan pencarian keadilan juga dengan berbagai alasan. Pertama, kami hanya melaksanakan Putusan DKPP. Kami tidak punya kewenangan untuk mengoreksi putusan DKPP.

Kedua, kami merasa keputusan TUN tidak mewujudkan kepastian hukum bagi penyelenggara. Kami tidak bisa lagi mengembalikan harkat dan jabatan dia ke semula sebagai ketua dan anggota KPU Kabupaten Konawe.

Ketiga, Putusan TUN justru melahirkan kebingungan politis kepada publik, berkaitan dengan salah satu tugas kewajiban penyelenggara, yaitu menjalankan undang-undang. Kami justru diajarkan untuk menyimpang.

Di MA,  KPU Sultra kalah juga?

Ya. MA mengatakan tidak diterima lagi dan dibenarkan Putusan PTUN. Jadi, putusan PTUN itu inkracht juga.

Dihadapkan pada dua putusan yang inkracht, apa yang KPU Sultra lakukan?

Setelah kami dapat Putusan MA, kami konsultasi ke KPU RI. KPU RI pada saat itu, masih Pak Husni Kamil, mengeluarkan surat bahwa Putusan PTUN tidak dapat ditindaklanjuti karena objek gugatannya bukan putusan DKPP. Kembali ke Pasal 112, bahwa kita wajib menindaklanjuti putusan DKPP. Putusan DKPP final dan mengikat.

Setelah dapat petunjuk KPU RI, datanglah pihak pengadilan untuk mengkonfirmasi. Mereka membahas bagaimana tindaklanjut putusan MA. Kami bilang kami tidak bisa tindaklanjuti. Kami tidak bisa mencabut surat keputusan kami karena kami telah meminta petunjuk ke KPU RI, dan kami diwajibkan untuk menindaklanjuti putusan KDPP, sesuai ketentuan undang-undang.

Pernah berpikir untuk berbeda pandang dengan KPU RI saat itu karena rekan KPU kabupaten di bawah koordinasi wilayah Bapak dinyatakan tidak bersalah oleh PTUN?

Tidak. Kami tidak dapat melakukan itu karena secara teknis, administrasi, tidak dapat mencabut. Kami pula akan dilaporkan ke DKPP. Ketika kami dilaporkan secara etik, kami bisa diberhentikan. Karena, kalau kami mengabaikan putusan DKPP, sementara itu adalah kewajiban, kami yakni DKPP pun akan memberhentikan kami. Dan benar ketika kami berkonsultasi ke DKPP, waktu itu Prof Jimly, dia mengatakan kalau ada yang mengabaikan putusan DKPP, walaupun ada putusan TUN, bersiaplah saudara untuk diberhentikan juga.

Itu kami sampaikan ke TUN. Ini seperti si A sudah dibunuh, bagaimana mungkin dihidupkan kembali. Lalu ketua pengadilan bilang, kami akan dilaporkan ke KPU RI, ke presiden. Tapi ya kami ada di posisi sulit. Memang putusan TUN inkracht, tapi putusan DKPP juga inkracht.

Ada jawaban dari Presiden?

Nah, sebulan kemudian, keluarlah surat jawaban dari Presiden. Dalam bentuk tertulis melalui Mensesneg (Menteri Sekretaris Negara). Dalam surat itu disampaikan, untuk menindaklanjuti sepanjang ada aspek kehati-hatian dan memperhatikan nilai-nilai kebenaran. Surat ini kemudian KPU RI sampaikan ke kami. Kami nyatakan bahwa berdasarkan aspek kebenaran, kami tidak dapat menindaklanjuti lagi.

Sebulan kemudian, tergugat tidak puas. Melaporkan ke Ombudsman RI, bahwa kami tidak patuh pada putusan hukum dan ada maladministrasi. Ombudsman menurunkan tim. Kami lakukan pertemuan pada saat itu. Kami sampaikan kendala-kendala itu. Ada dua putusan inkracht. Maka, kami kembalikan solusinya ke Ombudsman. Ombudsman lalu pulang dan tidak ada hasil juga.

Lalu mereka ke Komnasham (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), lalu ke Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan keabsahan Pilkada 2017. Dianggap itu tidak sah. Mereka membawa bukti-bukti materil dari sidang di MA. Bahwa PAW yang diangkat itu ilegal sehingga Pilkadanya tidak sah.

Dalam sidang di MK itu, diputuskan dismiss, karena sudah ada yurisprudensinya, Putusan 31. Bahwa kata final dan mengikat itu tidak final bagi presiden, hanya untuk KPU dan Bawaslu.

Sekarang ada kasus Evi Novida Ginting yang dikabulkan oleh PTUN, dan yang bersangkutan menjadi anggota KPU RI kembali. Bagaimana tanggapan Bapak?

Bagi kami sebenarnya, putusan ini tidak adil dengan masa lalu. Ada yurisprudensi kita. Di PTUN kasus Evi itu tidak memerintahkan membuat keputusan baru. Beda dengan kami. Justru kami diperintahkan. Setelah diminta dibatalkan, kami diminta untuk membuat keputusan baru lagi, dan membatalkan pula keputusan PAW. Kalau kasus Evi tidak. Dibatalkan, tapi tidak ada untuk membuat keputusan baru dan merehabilitasi.

Maka kita sesali kalau Bu Evi kembali kerja sebagai komisioner. Atas dasar apa bisa kembali bekerja? Masa atas dasar pencabutan? Kalau pencabutan, memang dalam diktum pencabutan itu ada (perintah yang) menyatakan dia direhabilitasi atau yang bersangkutan dikembalikan kedudukannya? Enggak juga. Dicabut saja keputusannya.

Makanya, terganggu semua orang yang pernah mengalami atas keadaan ini. Akhirnya kelihatan tidak sinergis lagi antara DKPP dan KPU. Dan kenapa KPU tidak konsultasi dulu ke DKPP? Pantaslah DKPP mengatakan tidak mengakui. Makanya, posisi kami melihat ada kekeliruan di KPU RI. Apa bisa kalaupun dicabut, orang bisa duduk kembali?

Harusnya, dibuat keputusan baru lagi untuk mengangkat kembali Evi Novida. Kok ini yang aktifkan KPU RI? Apa kewenangan KPU RI mengangkat dan mengaktifkan kembali anggota KPU RI?

KPU tidak konsisten sekarang dengan dulu. Apa beda KPU yang dulu dengan sekarang? Dulu kita diminta konsisten dengan putusan DKPP. Sekarang KPU RI malah tidak.

Apa yang Bapak harapkan atas terjadinya polemik ini?

Perlu ada pembaruan hukum kembali. Diperlukan peradilan sendiri. Bawaslu dan DKPP disatukan saja di peradilan pemilu. Nanti ada kamar. Kamar etik, kamar lain. Kalau putusan DKPP tidak menjadi bagian dari peradilan pemilu, maka dia tetap tidak bersifat final dan mengikat. Ini akan melahirkan kepastian hukum dalam persoalan etik dan administrasi.

Jadi, DKPP itu menjadi bagian dari kamar peradilan, supaya dilegitimasi menjadi sebuah peradilan. Jadi, putusannya bisa memaksa. Kalau sekarang kan ada ruang yang bisa dimainkan, ruang administrasi oleh pengadilan. Tetapi kalau DKPP itu peradilan, pasti akan ada final mengikat yang memaksa semua pihak. Bukan saja internal penyelenggara pemilu, tapi juga lembaga-lembaga lain termasuk peradilan dan presiden. Sehingga peradilan TUN tidak bisa mengoreksi peradilan etik.

Kedua, diperlukan koordinasi yang intensif antara KPU, Bawaslu, dan DKPP. Di daerah, masing-masing lembaga ini ada semangat korsa. Saya salah satu anggota TPD (Tim Pemeriksa Daerah) dari unsur masyarakat jika ada pelanggaran etik. Saya melihat memang, kamar etik itu, kadang TPD dari unsur KPU dan Bawaslu masih saja semangat korsa itu menghilangkan objektivitas kita. KPU punya unsur bela terhadap bawahan. Bawaslu juga. Ini yang harus diperbaiki. Jadi, agar diangkat dari hakim-hakim yang kompeten untuk menyelesaikan masalah etik. []