August 8, 2024

ICW: Perlu Ada Regulasi Pelaporan Dana Kampanye yang Jamin Akuntabilitas

Masing-masing peserta pemilu wajib menyerahkan tiga laporan pertanggungjawaban dana kampanye kepada kanton akuntan publik (KAP) melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU). Satu, Laporan Awal Dana Kampanye (LADK). Dua, Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK). Tiga, Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Dua laporan telah diserahkan pada tahapan sebelumnya, LPPDK mesti diserahkan paling lambat 15 hari sejak pemungutan suara.

Koordinator bidang Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz mengimbau peserta pemilu untuk transparan melaporkan dana kampanye. LPPDK tak semestinya dipandang layaknya Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) sebagai administratif semata. LPPDK memiliki fungsi substansial untuk memotret biaya politik dan mencegah terjadinya korupsi politik dan konflik kepentingan.

“Saya harap, instrumen ini tidak menjadi administratif semata seperti LHKPN. Konpers KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) kemarin bersama KPU, itu kan menyebutkan 63 persen anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang sudah melaporkan LHKPN. Kalau mau dirinci instrumennya, itu kan baru ketaaan secara administratif, belum biacra soal kebenaran laporan,” terang Donal pada konferensi pers di Media Centre Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Gondangdia, Jakarta Pusat (10/4).

Selanjutnya, Donal menceritakan bahwa berdasarkan buku Dana Politik dalam Pemilu yang diluncurkan oleh Bawaslu, manipulasi dana kampanye selalu dilakukan oleh peserta pemilu. Hal tersebut dinilai Donal tak mengejutkan, sebab regulasi yang ada tak cukup untuk memastikan akuntabilitas dana kampanye peserta pemilu, terutama di pemilihan legislatif (pileg). Donal menganggap aneh partai politik yang mesti melaporkan dana kampanye ke KAP, sementara calon anggota legislatiflah yang mengeluarkan pengeluaran dana kampanye dengan nomor rekening pribadinya.

“Di pileg, regulasi tidak asimetris. Yang melaporkan dana kampanye adalah partai, sementara yang spending adalah kandidat. Kandidat kan menggunakan rekening pribadi dan uang sendiri untuk berkampanye, tapi yang dilaporkan adalah rekening partai,” ujar Donal.

Donal mempertanyakan transparansi identitas para penyumbang dana kampanye. Kasus Perkumpulan Golfer TRG dan TBIG di dalam LPSDK pasangan calon Joko Widodo-Ma’ruf Amien yang memberikan sumbangan 37,9 miliar rupiah tak terjawab sampai hari ini.

“Sandiaga bilang sudah ngeluarin uang 1,5 triliun untuk belanja kampanyenya. Nah, apakah akan dilaporkan di LPPDK nantinya? Lalu Jokowi, dana kamapanye di LPSDK, dari Perkumpulan Golfer itu 34 miliar (yang benar adalah 37,9 miliar rupiah), gak terjawab sampai sekarang siapa saja isi Perkumpulan Golfer itu. Apakah orang, badan hukum, masih samar-samar,” tandas Donal.

Untuk menjamin transparansi dan akuntabiltas laporan dana kampanye, Donal berpendapat diperlukan adanya regulasi yang menghubungkan wewenang KPU, Bawaslu, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Audit kepatuhan tak cukup untuk memberikan kontribusi pada pencegahan korupsi politik dan politik transaksional pada pemerintahan terpilih.

“Interkoneksi antar kelembagaan belum solid karena memang regulasi yang ada belum menjembatani keterhubungan antar lembaga untuk bisa membedah apakah laporan dana kampanye yang disampaikan sesuai dengan fatanya atau tidak. Ini disayangkan. Padahal kita punya PPATK untuk melihat transaksi keuangan masing-masing kandidat. Walaupun memang mereka curang juga pakai uang cash. Kasus 400 ribu amplop itu kan uang cash,” tutup Donal.