November 15, 2024

Ijtihad Meneguhkan Kemandirian Penyelenggara Pemilu

Kewajiban konsultasi yang mengikat dalam pembuatan peraturan menarik Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke jerat kepentingan politik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah. KPU siap judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Segera setelah hasil revisi kedua Undang-Undang Pilkada Nomor 1 Tahun 2015 resmi diundangkan pemerintah, KPU dengan tegas mengatakan akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal yang digugat menyangkut tugas dan kewenangan KPU di Pasal 9 huruf (a).

Tugas dan kewenangan KPU, sebagaimana terdapat di Pasal 9 huruf (a) itu, adalah menyusun dan menetapkan peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.

Intervensi

Sifat konsultasi yang mengikat dinilai menjadi celah intervensi dalam penyusunan PKPU. KPU yang juga diberi predikat sebagai independent and regulator bodies mestinya bebas intervensi dalam menyusun aturan main pilkada sebagai turunan dari UU 1 Tahun 2015.

Ida Budhiati, Anggota KPU, menjelaskan, adanya kata “mengikat” akan meruntuhkan kemandirian KPU. Mendengarkan pendapat dari banyak pihak adalah suatu kewajaran. Akan tetapi, pengambilan keputusan merupakan ranah internal KPU yang tidak boleh diintervensi oleh kepentingan seseorang dan kelompok tertentu.

“Apa yang dimaksud KPU mandiri dalam mengambil keputusan? KPU itu tidak boleh dalam pengaruh tekanan, di bawah tekanan, dan tidak boleh diintervensi,” kata Ida.

Kemandirian KPU dijamin dalam konstitusi. Ida menerangkan, secara eksplisit UUD menyebut KPU sebagai lembaga nasional, tetap, dan mandiri. Lembaga-lembaga negara lainnya yang setara dengan KPU bahkan tidak disyaratkan untuk berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam menyusun peraturan.

Selain itu, dalam sistem hukum dan sistem pemerintahan presidensial Indonesia, KPU diberikan otoritas untuk menyusun peraturan di bawah undang-undang. Jika aturan KPU dipandang tidak sesuai dengan undang-undang, juga tersedia mekanisme hukum menguji PKPU melalui judicial review ke Mahkamah Agung.

“Kalau KPU masih ngotot dan DPR menganggap tak sesuai undang-undang, ada mekanisme judicial review ke MA,” tegas Fadli Ramadhanil, peneliti pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) saat dihubungi (7/6).

Ijtihad mempertahankan kemandirian 

Untuk menghindari celah intervensi ini, menurut Ida, tidak ada jalan lain bagi KPU selain mengajukan judicial review ke MK agar ketentuan mengikat dihapus. Sebab, norma dalam pasal tersebut juga berpotensi membuat KPU diganjar sanksi pelanggaran kode etik oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu jika KPU tidak mengikuti hasil konsultasi bersama DPR dan pemerintah.

“Ini ijtihad kita meneguhkan kemandirian penyelenggara pemilu,” kata Ida.

Didik Supriyanto, pakar pemilu, dalam buku Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu menjelaskan latar belakang lahirnya KPU yang mandiri dan independen. Pasca runtuhnya Orde Baru, reformasi institusi dilakukan dan dibentuk lembaga baru yang independen.

Dalam sistem masyarakat modern, juga dikenal teori politik atau hukum tata negara the auxiliary state agency. Teori ini menjelaskan adanya lembaga tambahan dalam pemerintah. Sistem pembagian kekuasan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak memadai lagi sehingga diperlukan lembaga-lembaga negara tambahan.

“Lembaga-lembaga baru ini juga bertujuan menjaga proses demokratisasi yang tengah dikembangkan oleh negara-negara yang sedang dalam masa transisi,” kata Didik.

Dilihat dari tujuan pembentukan lembaga independen, Didik mengatakan, KPU dibentuk sebagai lembaga yang mengambil alih sebagian peran dan fungsi pemerintah agar pelaksanaan peran dan fungsi tersebut tidak diselewengkan untuk kepentingan kekuatan politik yang sedang memerintah.

Kemandirian dan independensi penyelenggara pemilu juga ditegaskan secara universal. International Institute for Democracy and Electoral (IDEA) mengenalkan standar dalam pemilu agar penyelenggaraan pemilu dikatakan demokratis. Penyelenggara dituntut independen dan tidak berpihak. Lembaga penyelenggara pemilu tidak boleh tunduk pada arahan dari pihak lain manapun, baik pihak berwenang atau pihak partai politik.

Lembaga penyelenggara harus bekerja tanpa pemihakan atau praduga politik. Lembaga ini harus mampu menjalankan kegiatan yang bebas dari campur tangan. Alasannya, setiap dugaan manipulasi, persepsi bias, atau dugaan campur tangan, akan memiliki dampak langsung. Tidak hanya terhadap kredibilitas lembaga penyelenggara, tetapi juga terhadap keseluruhan proses dan hasil pemilu.

Khusus tentang lembaga penyelenggara pemilu, standar internasional pemilu demokratis menegaskan perlu adanya jaminan hukum, bahwa lembaga tersebut bisa bekerja independen. Independensi penyelenggara pemilu merupakan persoalan penting, karena mesin-mesin penyelenggara pemilu membuat dan melaksanakan keputusan yang dapat mempengaruhi hasil pemilu.

Didik menilai, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E ayat (5) menyatakan bahwa, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri,” agaknya akan selalu terjadi penafsiran baru atas pengertian ketentuan tersebut, sesuai dengan konteks sosial dan dinamika politik yang tengah berkembang.

Jika saat ini DPR dan pemerintah mengatakan mandiri bukan berarti independen, lalu kemana arah dinamika politik kita tengah berkembang?

DEBORA BLANDINA