November 15, 2024

Ikhsan Darmawan: Perlu Riset untuk Menyimpulkan E-Voting tak Diperlukan

Dimasukannya Kabupaten Jembrana dalam gelombang pertama penyelenggaraan pilkada serentak 2015 hadirkan pertanyaannya, mungkinkah e-voting diterapkan? Pemilihan kepala dusun (pilkadus) di Jembrana yang menggunakan e-voting dinilai sebagai percontohan untuk bisa diterapkan di pilkada bahkan pemilu nasional. Untuk bisa memastikan itu rumahpemilu.org meminta peneliti FISIP Universitas Indonesia, Ikhsan Darmawan. Dosen “Sistem Politik Indonesia” serta “Pemerintahan dan Desa” ini telah melakukan riset mengenai e-voting di Jembrana dan perbandingan di negara-negara lain yang dibukukan dengan judul “Memahami E-Voting”.  Berikut penjelasan Ikhsan mengenai e-voting setelah peluncuran dan diskusi buku di FISIP UI (12/3).

Kabupaten Jembrana termasuk daerah pilkada serentak gelombang pertama yang pemungutan suaranya pada Desember 2015. Memungkinkah pilkada di Jembrana menerapkan e-voting?

Relevansi penyelenggaraan e-voting untuk Pilkada Jembrana tergantung pemerintah dan masyarakat Jembrana dalam mempersiapkan e-voting di Jembrana. Memang satuan desa tak cukup untuk diterapkan pada tingkat kabupaten. Tapi bisa saja diupayakan di beberapa TPS di Jembrana.

E-voting pilkadus di Jembrana memiliki catatan kekurangan. Jika kekurangan bisa diantisipasi, e-voting di Kabupaten Jembrana bisa dilakukan.

Apa saja kekurangan yang terdapat pada pemilihan melalui e-voting di Jembrana?

E-voting di Jembrana mewajibkan pemilih menggunakan KTP SIAK. Ini dinilai mengurangi kemungkinan pemilih menggunakan hak pilih, terutama pemilih di DPT yang belum memiliki KTP SIAK.

Satu TPS dalam e-voting pilkadus di Jembrana diisi 1200 pemilih. Perlu dipikirkan bagaimana jika daerahnya luas. Saat di terapkan di pilkada untuk kabupaten/kota saja, daerahnya jauh lebih luas dari dusun. Jika dipaksakan satu TPS harus diisi 1200 pemilih, akan menyulitkan akses pemilih ke TPS. Partisipasi tinggi yang ingin dicapai dalam e-voting bisa tak terwujud.

Bagi pemilih berusia lanjut dan disabilitas, metode e-voting ini lebih menyulitkan. Praktek di Jembrana masih mengharuskan pemilih datang ke TPS. Dibandingkan tingginya akses, e-voting masih memberikan hambatan bagi yang tak bisa hadir ke TPS, orang sakit, dan kaum disabilitas.

Soal efisiensi, perlu diperjelas mengenai modal awal pembangunan sistem dan alat e-voting. Bagaimana dengan aspek perawatannya serta yang lainnya? Belum lagi soal SDM. Di pilkadus di Jembrana masih menggunakan SDM Pemkab.

Sebetulnya apa permasalahan pemilu yang bisa dijawab e-voting?

Di konteks Jembrana, e-voting lebih efisien dari segi total waktu pelaksanaan ataupun waktu bagi setiap pemilih dalam menggunakan hak pilihnya. Penghitungan suara hanya memakan waktu 5 menit. Waktu pemilih menggunakan hak pilih di bilik, kurang dari 2,5 menit.

Lebih efisien juga dari segi biaya. Biaya yang dikeluarkan dalam pilkadus di Jembrana berkisar pada biaya rapat, konsumsi saat hari H, tenda, dan biaya honor panitia. Total yang dikeluarkan hanya 2,5 juta rupiah. Sedangkan jika pilkadus melalui contreng atau coblos, biayanya sekitar dua kali lipatnya, menjadi 5 juta rupiah.

Lebih mudah juga dalam hak pilih. Pemilih hanya cukup memilih pada layar sentuh. Mencoblos atau mencontreng lebih tidak memudahkan.

Sebetulnya wacana e-voting hadir di Indonesia lebih karena kesadaran permasalahan pemilu atau obsesi digitalisasi?

Di konteks Jembrana, buku Panduan E-Voting yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Jembrana menjelaskan latar belakang penerapan e-voting. Pertama, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Kedua, cara konvensional dinilai banyak terjadi penyimpangan yang berdampak konflik. Ketiga, cara konvensional dinilai banyak menghabiskan dana.

Berdasarkan wawancara dengan Bupati Jembrana, I Gede Winasa, diterapkannya e-voting dalam pemilihan kepala dusun (pilkadus) bermula dari berjalannya program Kantin Debit di sekolah-sekolah Jembrana. Artinya, ide awalnya bukan bermula dari pengetahuan keberhasilan e-voting di sejumlah negara.

Saya berpendapat, e-voting harus menyertakan kesadaran permasalah pemilu sehingga e-voting bisa menjadi solusinya. Berdasarkan pengamatan saya, e-voting penghitungannya sangat cepat. Teknisnya kalau manual semua harus dibuka dan ditunjukkan. Kita menginginkan penyelenggaraan pemilu jauh laih baik. E-voting ditujukan ke arah itu.

Sebagian pakar pemilu menekankan, penerapan teknologi dalam pemilu lebih pada rekapitulasi atau e-rekap dibandingkan e-voting. Tanggapannya?

Jika dinilai permasalahan dalam tahap pemilihan tak sebanyak permasalahan penghitungan, itu perlu dibuktikan. Perlu riset untuk menilai dan menyimpulkan kebutuhan yang lebih besar adalah e-rekap. Perlu riset untuk menyimpulkan e-voting tak diperlukan Indonesia.

Saya tak anti dengan pendapat yang menilai e-voting itu bermasalah. Tapi perlu untuk memperkaya pendapat dengan riset serta studi banding pengalaman negara atau daerah yang sudah menerapkan e-voting untuk bisa menyimpulkan e-voting harus ditolak. []