Di tengah tahapan verifikasi partai, di hari HAM sedunia, dosen politik Universitas Indonesia Irwansyah bersama komunitas politik kampus menayangkan secara terbuka film “Jagal†(versi Indonesia dari “The Act of Killingâ€) di UI (11/12). Ada keinginan dari sebagian pelaku kejahatan masa lalu, khususnya ’65, untuk diadakannya keterbukaan sejarah. Tapi tak begitu bagi pemerintah, yang sebagian “dekat†dengan kejahatan itu, menutupnya dalam hiruk pikuk penyelenggaraan pemilu dan kehidupan politik.
Berikut wawancara kepada Irwansyah oleh Usep Hasan Sadikin dari rumahpemilu.org mengenai komitmen penegakan HAM dalam pemilu.
Tahapan pemilu sudah berlangsung tapi tak ada penekanan penegakan HAM dalam demokratisasi penyelenggaraan pemilu, bahkan di hari HAM sedunia. Kenapa?
Selama 15 tahun ini, jika kita teliti periksa, tak ada departemen atau divisi HAM dalam struktur partai. Jadi, jika anggota partai tak memahami HAM itu sesuatu yang wajar. Dan partai-partai tak memiliki kepentingan menegakan HAM karena yang utama bagi partai adalah kepentingan penarikan rente. Penarikan rente sudah jelas sejalan dengan pelanggaran HAM seperti privatisasi, diskriminasi perempuan, pembiaran kejahatan masa lalu, pembiaran hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Tak ada yang aneh kalau partai di pemilu ini tak berpihak pada HAM.
Cuma itu penyebabnya?
Selain itu, ini disebabkan tak ada tekanan juga dari masyarakat. Jika kita bandingkan dengan permasalahan perempuan, sudah ada kerangka tekanannya. Setidak-tidaknya semenjak 2004 ada afirmasi action. Sedangkan HAM tak menjadi penekanan dari masyarakat.
Dampaknya, persoalan HAM di pemilu menjadi mitos dalam 15 tahun ini. HAM diucapkan dan diketahui di mana-mana, tapi tak menjadi hal yang operasional. Misalnya, seperti apa sih dampak dari mereka yang melanggar HAM di masa lalu? Selama itu tak pernah diterapkan, selamanya tak akan menjadi hal yang nyata.
Atau yang baru-baru ini. Seperti apa sih dampak dari kelakuan bupati garut? Tak ada yang menarik itu sebagai permasalahan perempuan yang terkait dengan pemerintahan dan partai sebagai pendukungnya.
HAM dalam demokrasi seperti Pancasila. Ia hanya penting sebagai norma simbolis tapi tak diusahakan sebagai hal yang operasional.
Saya mendukung HAM bisa menjadi sesuatu yang diterapkan dalam pemilihan pemerintahan. Kita tak bisa bergatung pada partai atau pihak yang tak mendukung terhadap penegakan HAM. Jika kita masih percaya dengan gerakan masyarakat, kita perlu berefleksi terhadap usaha penegakan selama 15 tahun pascareformasi. Tanpa ini, penegakan HAM hanya berupa tangisan dan keluhan korban.
Bagaimana penegakan HAM pada transisi demokrasi di negara lain?
Argentina sudah melakukan penegakan HAM. Karena politik pemerintahannya dipaksa menyatu dengan gerakan masyarakat dalam penegakan HAM. Di Indonesia, tak ada. Kita masih mencari keberpihakan partai terhadap HAM, yang sayangnya sudah jelas anti-HAM. Selama ini gerakan HAM masyarakat di Indonesia masih memisahkan dengan usaha perubahan politik pemerintahan.
Jika HAM dijadikan dasar kita menyikapi pemilu, apa hal ideal yang bisa kita lakukan?
Ekstrimnya kita tak memilih siapa-siapa. Tapi jika pilih strategi moderat harus ada konsolidasi dari kelompok dan individu yang setuju dengan penegakan HAM. Respon apa yang dilakukan di pemilu. Tanpa konsolidasi, HAM tak akan menjadi isu di pemilu.
Jika secara lembaga kita tak bisa berharap banyak pada partai, bagaimana dengan lembaga penyelenggara pemilu yang juga berfungsi melakukan pendidikan demokrasi dalam pemilu?
Intinya harus diupayakan tekanan HAM terhadap mereka. Keharusan bagi mereka untuk menerapkan HAM dalam penyelenggaraan pemilu. Jadi jika kita berhadap pada KPU dan Bawaslu, masyarakat harus menekan syarat-syarat berdasar HAM dalam penyelenggaraan pemilu.
Misalnya?
Misalnya, adanya kesempatan dari KPU dan Bawaslu untuk mendiskusikan penegakan HAM secara terbuka. Kita paksa pandangan dan komitmen politisi terhadap penegakan HAM. Kita bisa bahas isu HAM yang praktis. Misalnya, bagaimana sikap politisi terhadap kebijakan outsourcing atau keadilan hubungan kerja? Bagaimana sikap politisi terhadap perdagangan manusia, khususnya perempuan? Bagaimana sikap politisi terhadap tragedi Semangi, Trisakti dan ‘65?
Jika itu tak ditekankan dalam penyelenggaraan Pemilu 2014, yang ada HAM semakin tak dimengerti dan dilupakan publik secara luas. Bahkan HAM dimainkan politisi. HAM dimaknai sebagai stabilitas. Tak mengganggu dalam keteraturan agar kita dapat bersatu dan sebagainya.
Mestinya ini menjadi isu prinsipil. Adakah usaha penghukuman kejahatan masa lalu?
Dari pengalaman pemilu sebelumnya, adakah konsolidasi penegakan HAM masyarakat?
Hanya di ’99. Semenjak itu, tak ada lagi. Secara luas masyarakat mengidap penyakit serius bernama antipolitik. Kita sekedar memperjuangkan hak masyarakat untuk hal-hal normatif seperti kebebasan politik, tapi alergi terhadap politik. Kita tak menyadari pemahaman seperti ini, yang sebetulnya adalah sebuah penyakit, merupakan pemahaman yang diciptakan Orde Baru.
Pemerintahan Soeharto-lah yang membuat suatu kesadaran, politik itu kotor. Politik harus dijauhkan dari masyarakat dan organisasi masyarakat. Orde Baru dikenal dengan kebijakan politik ‘masa mengambang’. Di mana politik hanya terjadi menjelang pemilu. Orang-orang tak berpolitik dalam keseharian. Bahkan 15 tahun setelah reformasi, masyarakat kita tak biasa berorganisasi.
Individu-individu di masyarakat hanya sebagai objek politik untuk kepentingan politik kuasa. Padahal seharusnya sebagai subjek politik yang bisa menentukan pemerintahan. [Usep]