October 7, 2024

Julia Ikasarana: Timsel Harus Komitmen Penuhi 30% Perempuan di Penyelenggara Pemilu

Jumlah perempuan pendaftar calon penyelenggara pemilu masih saja timpang. Seleksi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) periode 2017–2022 hanya diikuti oleh 28,01 persen perempuan pendaftar. Angka ini melanjutkan tren timpangnya jumlah perempuan pendaftar calon penyelenggara pemilu jika dibandingkan dengan laki-laki.

Pusat Kajian Politik FISIP UI menyebut empat faktor penghambat yang khas dihadapi oleh perempuan untuk bisa maju dalam kompetisi seleksi penyelenggara pemilu. Empat hambatan tersebut adalah hambatan kultural, hambatan geografis, hambatan pengetahuan kepemiluan, dan hambatan regulasi.

Usai Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI meluncurkan video kampanye “Saatnya Perempuan Memimpin” (15/11), Rumah Pemilu mewawancara Julia Ikasarana, peneliti pada Puskapol FISIP UI, soal hambatan yang dihadapi perempuan dan upaya menanggulanginya.

Jumlah perempuan pendaftar calon anggota penyelenggara pemilu masih timpang. Apa sebabnya?

Ada empat faktor penghambat yang sangat khas dihadapi oleh perempuan: hambatan kultural, hambatan geografis, hambatan pengetahuan kepemiluan, dan hambatan regulasi. Kondisi kultural masih jadi akar masalah. Tuntutan peran di ranah domestik jadi kendala yang menyebabkan posisi perempuan tak mencapai kemandirian di ranah politik.

Akses informasi mengalir deras ke lelaki yang cenderung lebih leluasa bergerak di publik. Akibat ketidaksetaraan akses ini, pengetahuan kepemiluan yang didapat perempuan tak lebih baik dari laki-laki.

Soal hambatan regulasi, cukupkah afirmasi ditampung dengan frasa memperhatikan sekurang-kurangnya 30 persen dalam undang-undang?

UU 15/2011 memang mengamanatkan 30 persen keterwakilan perempuan di penyelenggara, tapi peraturan pelaksana–khususnya dalam proses seleksi–belum cukup memadai untuk memenuhi amanat itu.

Sebagai contoh, peraturan soal seleksi yang terpusat di Jakarta sangat mungkin menyulitkan perempuan, terutama di daerah. Dengan kendala kultural–tuntutan peran di ranah domestik–dan kendala geografis yang berkonsekuensi pada kemampuan mobilitas saja akan menghambat perempuan untuk terus bertahan mengikuti tahapan seleksi.

Afirmasi di undang-undang saja tak bisa jadi dalih bahwa akses terhadap perempuan sudah dibuka secara setara. Peraturan mestinya mampu menanggulangi kendala-kendala di lapangan yang kami temukan.

Regulasi teknis soal seleksi diusulkan memuat ketentuan agar Tim Seleksi (Timsel) menghasilkan calon penyelenggara pemilu yang memperhatikan 30 persen keterwakilan perempuan untuk diajukan ke DPR. Setuju dengan usul tersebut?

Setuju. Karena memang undang-undang sudah menyebutkan secara jelas. Objektivitas Timsel dalam menilai kemampuan seluruh peserta sangat diperlukan, tapi Timsel juga perlu mempertimbangkan dan memiliki sensitivitas bahwa ada tantangan yang dihadapi perempuan untuk bisa setara dalam berkompetisi.

Terpenuhinya keterwakilan perempuan 30 persen di lembaga penyelenggara pemilu, apalagi di tingkat nasional, menjadi penting untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang lebih adil bagi perempuan. Dengan demikian, Timsel memang harus menunjukkan komitmen itu dengan memperhatikan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan hasil seleksi calon penyelenggara pemilu nantinya.

Sehingga, saat proses politik di DPR, anggota DPR dapat memilih perempuan yang paling baik dari hasil terbaik yang dipilih oleh Timsel.

Selain peraturan teknis yang lebih berpihak bagi perempuan, apa yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi ketimpangan jumlah perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu?

Peraturan saja memang tidak cukup tanpa diimbangi upaya dari pemerintah untuk mengatasi ketimpangan tersebut. Sebagai pihak yang memiliki otoritas dalam mengelola lembaga negara, pemerintah dapat “menjemput bola” dengan cara mendistibusikan secara lebih aktif informasi untuk menigkatkan kesadaran mengenai pentingnya keterlibatan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu, juga memberikan pelatihan tentang kepemiluan pada kelompok-kelompok perempuan potensial dari desa sampai level provinsi.

Selain merekomendasikan peraturan, apa upaya Puskapol dalam menanggulangi kendala-kendala ini?

Kami menggagas program bertajuk “Perempuan Memimpin” untuk mempertemukan signifikansi kuantitas dan kualitas. Perempuan potensial di tiga kota yang mewakili zona wilayah–Surabaya mewakili wilayah tengah, Medan mewakili wilayah barat, dan Makassar mewakili wilayah timur–kami ajak untuk berdiskusi intens soal teknis kepemiluan. Ini upaya mengakselerasi kemampuan teknis kepemiluan yang timpang akibat tak setaranya akses informasi. Selain itu, pelatihan ini juga melatih softskill untuk mempersiapkan mental peserta dalam menghadapi seleksi, seperti simulasi wawancara dengan Timsel dan tes tertulis yang umumnya jarang diberikan kepada mereka.

Kami berharap program ini mampu merekatkan sisterhood dan jejaring antarperempuan. 77 dari 96 perempuan peserta program maju bersama untuk mencapai 30 persen keterwakilan perempuan di penyelenggara pemilu.