November 15, 2024

Keadilan Munir sebagai Indikator Demokrasi

Pengabaian keadilan kasus pembunuhan Munir Said Thalib selama 17 tahun menyertakan kualitas demokrasi yang makin menurun. Kekuasaan pada konteks tewasnya Munir diduga masih jadi bagian kekuasaan hingga sekarang. Kasus Munir merupakan simbol dan kelindan terhadap kasus-kasus HAM lainnya yang menjadi indikator demokrasi Indonesia.

“Indonesia kalau melihat indikatornya, lagi buruk. Kasus Munir ada dalam keadaan buruk ini,” kata aktivis hak asasi manusia (HAM), Haris Azhar dalam Diskusi Publik tentang Munir Said Thalib yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera (8/9).

Haris menjelaskan, peradilan dan pengungkapan Kasus Munir secara legal formal merupakan kewenangan negara. Menurut pegiat lembaga HAM Lokataro ini, kewenangan negara tersebut sekarang berindikator buruk. Justru, pengawalan Kasus Munir menyertakan edukasi dan sosialisasinya lebih banyak dilakukan oleh masyarakat sipil dengan ragam profesi dalam satu perasaan, logika, dan gerakan keadilan.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati mengatakan bahwa kasus seperti yang dialami Munir merupakan ujian bagi sejarah manusia bernegara. Indonesia dengan sistem pemerintahan presidensial menempatkan kewenangan yang amat besar kepada presiden. Upaya pengungkapan pembunuhan Munir akan menggambarkan kualitas presiden sebagai kepala pemerintahan.

“Ini lagi-lagi kita semakin jelas, pemerintahannya tidak mengungkap kasus Munir, kata Asfin.

Sebelumnya dalam forum “100 Tokoh Mendesak Presiden dan DPR Mengusut Aktor Utama Pembunuhan Munir” (6/9), direktur eksekutif Amnesty International, Usman Hamid menjelaskan bahwa, pembunuhan Munir merupakan pembunuhan politik. Sikap politik Munir hingga tewas ada pada posisi yang berseberangan dengan kekuasaan. Menurut Usman, ada dua gambaran dari konteks kematian Munir pada jelang pemungutan suara pemilu presiden secara langsung pada 2004 saat itu. Pertama, demokrasi elektoral Indonesia yang begitu kotor. Kedua, jaminan keamanan maupun perlindungan hukum yang minim terhadap warga negara.

“Kualitas buruk negara demokrasi itu dipertahankan pemerintahan hasil pemilu dengan mengabaikan keadilan Kasus Munir. Pemerintahan saat itu merupakan patron dari pemerintahan saat ini yang sedang berkuasa,” kata Usman.

Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti berpendapat bahwa pembunuhan Munir merupakan kasus yang melampaui dirinya yang mengalami pelanggaran HAM berat kejahatan kemanusiaan. Bagi salah satu anggota Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) ini, Kasus Munir juga merupakan ancaman demokrasi dan negara hukum.

Bivitri menjelaskan, orang berkuasa yang dipilih langsung/tidak langsung melalui pemilu biasa mengatasnamakan supremeasi hukum pada kasus-kasus penghinaan tapi tidak untuk Kasus Munir. Hilangnya dokumen hasil temuan Tim Pencari Fakta Munir pada era Susilo Bambang Yudhoyono lalu belum ada pengungkapannya pada era Joko Widodo menggambarkan kuatnya kekebalan hukum (impunitas) bagi pejabat negara yang melanggar HAM dalam sistem pemerintahan presidensial ini.

“Yang dialami Munir juga dialami yang lain. Ada kasus Salim Kancil atau Novel Baswedan yang semuanya dianggap sebagai kriminal biasa,” tutur Bivitri.

Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati  menghubungkan buruknya Indonesia dalam Kasus Munir dengan peringkat Indonesia di sejumlah indeks demokrasi. Dalam indeks Freedom House dan The Economist, demokrasi Indonesia sedikit demi sedikit menurun. Jika diakumulasi dari 2004 saat Munir tewas hingga sekarang, nilai demokrasi Indonesia turun secara signifikan.

“Dalam Indeks The Internatonal IDEA, banyak variabel-variabel terkait HAM yang sebelumnya hijau menjadi kuning dan yang tadinya kuning menjadi merah,” ujar Nissa.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontra-S), Fatia Maulidiyanti mengatakan, semangat Munir yang tetap ada dan berlipat ganda punya tantangan dalam keadaan demokrasi saat ini. Menurutnya, kekuatan oligarki jauh lebih banyak dan cepat berlipat ganda. Bahkan, kesewenang-wenangan Soeharto muncul lagi pada pemerintahan Reformasi.

“Lima tahun terakhir jadi fase yang paling banyak adanya kekerasan oleh negara, bukan membaik,” kata Fatia.

Anggota Dewan Pembina Public Virtue Institute, Anita Ashvini Wahid mengatakan, dalam mengingat 17 tahun pembunuhan Munir kita disadarkan tentang keping puzzle indikator demokrasi. Keping Kasus Munir serupa dengan keping kasus lain yang menggambarkan komitmen buruk negara dalam berdemokrasi.

“Pembunuhan warga negara lain oleh pejabat negara, undang-undang yang buruk seperti UU ITE, UU Cipta Kerja, dan UU Minerba merupakan keping-keping puzzle lainnya yang menunjukan upaya negara yang melemahkan demokrasi,” jelas Anita.

Salah satu indikator demokrasi Indonesia adalah munculnya Komisi HAM sebagai lembaga mandiri. Pasal 76 dan 89 UU 39/1999 tentang HAM, Komnas HAM memiliki fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi yang berkaitan dengan HAM. Pembunuhan Munir yang berlangsung pada 2004 berarti, Kasus Munir sebagai kejahatan biasa berarti punya daluwarsa sampai 2022 (18 tahun). KASUM menyertakan opini hukum, mendesak Komnas HAM untuk menetapkan Kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat agar tidak punya daluwarsa kasus.

Dalam diskusi publik yang diselenggarakan KASUM dan Jakartanicus (6/9), Anggota Komnas HAM, Sandrayati Moniaga menanggapi desakan tersebut. Menurut Sandra, pada akhir Maret 2021, berlangsung pembahasan Kasus Munir dalam Rapat Paripurna DPR. Setidaknya ada tiga hal pembahasan. Pertama, tentang tindak pidana. Kedua, tentang daluwarsa. Ketiga, tentang pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat.

“Tentang kejahatan kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat, DPR masih meminta waktu pertimbangan. Para anggota Komnas HAM pun berusaha mencapai suara yang bulat dan menghindari voting,” ujar Sandra. []

USEP HASAN SADIKIN