November 15, 2024

Perempuan di Pilkada 2017 dan Politik Afirmasi UU Pemilu

Sebagian besar perempuan calon di Pilkada 2017 berlatar belakang dewan/kader partai politik. Ini gambaran nyata aktualisasi politik perempuan di pemilu legislatif diapresiasi partai di pemilu eksekutif daerah. Untuk meningkatkan tren positif ini, dibutuhkan peningkatan afirmasi perempuan dalam Rancangan Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang berdampak pada perbaikan partai politik dan perempuan sekaligus.

“Yang saya senang dari data dan temuan Perludem ini, ada keterhubungan ruang politik perempuan di pemilu legislatif dengan pilkada. Perempuan yang telah lama mencalonkan di pemilu legislatif dan terpilih sudah mempunyai modal sosial yang diperhitungkan partai sehingga dijadikan calon kepala daerah,”  kata salah satu Anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu, Hetifah Sjaifudian pada diskusi “Perempuan di Pilkada 2017 dan Politik Afirmasi UU Pemilu” di Gandaria, Jakarta Selatan (28/11).

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menginfokan berdasar infopilkada.kpu.go.id (27/11), dari 101 daerah penyelenggara Pilkada 2017, ada 44 perempuan bertarung di 41 daerah yang tersebar di 28 kabupaten, 9 kota, dan 4 provinsi. Nama-nama perempuan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah ini dikaitkan dengan latar belakang lalu ditemukan relevansinya dalam pembahasan RUU Pemilu.

Peneliti Perludem, Maharddhika merinci, profil politik 44 perempuan calon kepala daerah didominasi oleh tiga latar belakang: eks legislator, kader partai, dan jaringan kekerabatan. Untuk calon kepala daerah, ada 69,57% yang berlatar belakang eks anggota dewan, 60.87% kader partai, dan 39,13% dengan jaringan kekerabatan. Untuk calon wakil kepala daerah, ada 33,33% yang berlatar belakang eks anggota dewan, 23,81% kader partai, dan juga 23,81% dengan jaringan kekerabatan.

new-picture-1

“Banyak berlatarbelakang legislator. Perempuan seperti ini telah mengumpulkan kekuatan politik. Ketika mecalonkan sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, mereka punya elektabilitas yang tinggi,” kata Titi.Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini menjelaskan, penyebab utama dari pencalonan perempuan tak lepas dari partai yang berorientasi pada aspek elektabilitas. Menurutnya, ada sisi positif dari keadaan yang baik dijaga dan terus ditingkatkan.

Politik afirmasi UU Pemilu

RUU Pemilu kembali memuat ketentuan partai politik peserta pemilu menyertakan 30 persen keterwakilan di kepengurusan partai. Menyadari kecenderungan positif aktualisasi politik perempuan di pilkada itu, ketentuan afirmasi perempuan dalam RUU Pemilu perlu disikapi positif secepat mungkin bagi perempuan masuk dan aktif di partai. Partai membutuhkan calon perempuan karena diwajibkan dan para perempuan butuh terlibat berpolitik.

“Gerakan perempuan sudah lama bersepakat, keterlibatan perempuan di partai politik merupakan bagian dari penguatan politik perempuan untuk menghasilkan kebijakan yang adil gender,” kata aktivis Koalisi Perempuan Indonesia, Dewi Komalasari.

Menurut Dewi, konsolidasi politik perempuan harus dilakukan segala ranah. Konsolidasi tak hanya diupayakan di internal gerakan perempuan tapi juga di dalam satu partai dan lintas partai.

Hetifah menguatkan, relasi mutual partai dan gerakan perempuan itu. Ia menyayangkan jika tuntutan keterwakilan perempuan dalam pencalonan dilakukan tak menyeluruh. Di pihak partai hanya sekedar menggugurkan persyaratan. Di pihak para perempuan yang sekedar mencalonkan untuk kemudian terpilih tanpa punya keterhubungan kepada partai secara organisasi.

“Jadi perempuan yang dicalonkan partai, memang perempuan yang sudah terlibat dalam pendidikan politik dan aktivitas internal partai. Bukan perempuan yang satu dua hari atau minggu langsung menjadi caleg,” tegas Hetifah.

Insentif dan disinsentif

RUU Pemilu mengakomodasi kebutuhan dari UU 8/2012 Pasal 8 ayat (2) huruf e. Sayangnya, kebutuhan yang tertera pada Pasal 143 ayat 2 RUU Pemilu ini masih menempatkan partisipasi dan representasi perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Afirmasi perempuan dalam pencalonan tingkat DPRD provinsi dan kabupaten/kota belum disertakan.

Selain kebutuhan keterlibatan perempuan di tingkat daerah yang diwajibkan dalam UU Pemilu, regulasi mengenai pendanaan politik juga bisa memperkuat ketentuan 30 persen keterwakilan perempuan di struktur kepengurusan partai. Subsidi partai terhadap partisipasi perempuan yang sudah lazim diterapkan di sejumlah negara ini berpengaruh juga pada penguatan partai politik.

Maharddhika menyebutkan Perancis sebagai contoh. Pemerintah akan mengurangi jumlah dana subsidi kepada partai-partai yang tidak memenuhi persyaratan kesetaraan gender. Kebijakan yang menjadi bagian “the parity rule” tercantum dalam UU Pemilu Perancis.

“Ancaman legal” itu terbukti efektif meningkatkan partisipasi kandidat perempuan dalam pemilu. Semenjak regulasi tersebut diterapkan pada tahun 2000, jumlah anggota parlemen perempuan naik hingga dua kali lipat. Regulasi semacam ini kemudian diadopsi juga oleh Portugal, Albania, dan Irlandia.

Pemerintah Indonesia bisa meniru regulasi-regulasi semacam itu untuk meningkatkan partisipasi dan keterwakilan perempuan. Pemerintah bisa memberikan insentif bantuan keuangan bagi partai yang memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan di kepengurusan partai politik di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten.

Titi menambahkan, regulasi dan sikap perempuan harus saling menyambut. Jangan lagi ada keadaan partai kesulitan mencalonkan perempuan. Di luar partai pun merasa para perempuan kesulitan untuk menjadi calon melalui partai.

“Politik afirmasi perempuan harus ditinggkatkan dalam RUU Pemilu. Kualitas perempuan bisa ditingkatkan dengan upaya mendorong perempuan hadir dalam struktur pengurus harian dan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan internal partai,” tegas Titi. []

USEP HASAN SADIKIN, MAHARDDHIKA, dan AMALIA SALABI