Kode Etik Kampanye di Media Sosial untuk Pemilu 2024

Riset Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) berjudul “Gangguan terhadap Hak Memilih di Pemilu 2019 dan Pilkada 2020: Fenomena dan Upaya Penanggulangan” (2020) mengidentifikasi tiga bentuk voter suppression dalam pemilu Indonesia. Pertama, diskriminasi dalam regulasi, seperti kewajiban kepemilikan KTP elektornik untuk mengakses hak pilih yang berpotensi menghilangkan hak pilih masyarakat adat dan pengungsi, dan keterbatasan metode pemungutan suara. Kedua, intimidasi dan pengusikan hak memilih. Riset Perludem menemukan banyak ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas dan rentan, pengusikan hak pilih disabilitas mental, dan intimidasi kepada pekerja tambang dan pekerja di area perkebunan sawit. Ketiga, pengacauan informasi atau  banyak dipahami sebagai disinformasi.

Memperbarui hasil temuan riset tersebut, saya menemukan banyak serangan psikososial, disinformasi dan diskriminasi di ruang digital telah bermunculan jelang Pemilu 2024. Lagi-lagi, kelompok rentan dan marginal menjadi targetnya.

Pola diskriminatif, misoginis, dan pengusikan hak pilih jelang Pemilu 2024

Ada tiga kelompok rentan yang menjadi fokus saya di dalam tulisan ini, yaitu perempuan, lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), dan disabilitas mental. Mengulas yang pertama, saya menemukan dua konten misoginis dan mengandung kekerasan yang menarget dua perempuan politisi, yaitu Grace Natalie dari Partai Solidaritas Indoensia (PSI) dan Noviana Kurniati, bakal calon legislatif (bacaleg) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Dari dua kasus tersebut, ada pola narasi yang bisa disimpulkan. Narasi dikemas untuk merusak reputasi perempuan calon atau perempuan politisi dengan mempertanyakan agama,  merendahkan pendapat, dan mengaitkan target dengan kelompok-kelompok yang kurang disukai oleh sebagian masyarakat, seperti gerwani dan LGBT. Bahkan pada kasus Novi, data pribadi berupa alamat lengkap dan nomor ponsel yang bersangkutan diumbar di media sosial.

Dampaknya tak main-main. Narasi kebencian yang dipupuk, juga adanya ancaman terhadap Novi, menyebabkan terjadinya persekusi oleh sekelompok orang terhadap Novi.

Ada beberapa kata kunci yang saya gunakan untuk menemukan konten serangan dan diskriminasi daring terhadap perempuan, di antaranya “perempuan caleg” dan “perempuan pemilu”. Dari dua kata kunci ini, muncul kata kunci “gerwani” dan “lonte demokrasi”.

Kelompok rentan kedua yang menjadi target serangan daring ialah LGBT. Lagi-lagi, saya menemukan adanya narasi diskriminasi di dalam konten iklan berbayar yang ditargetkan di Facebook. Iklan tersebut telah dilihat oleh 20 hingga 25 ribu orang. Jadi, meskipun Meta mengatakan bahwa panduan komunitasnya tidak memaklumi perilaku yang mendiskriminasi kelompok tertentu, namun faktanya, narasi diskriminasi terhadap LGBT lolos dalam review iklan politik yang diizinkan oleh Meta.

Sebagaimana serangan terhadap perempuan, ada pola narasi yang bisa diidentifikasi dari kasus serangan terhadap LGBT. Pertama, narasi dari aktor politik (kepala daerah, anggota legislatif, dan caleg) yang mengumumkan anti LGBT, LGBT sebagai perilaku tidak bermoral, dan ajakan untuk mendiskriminasi LGBT. Kedua, narasi dari pemilih yang mendorong agar partai politik dan calon mendiskriminasi, mengusir, dan menghukum LGBT.

Tidak sulit menemukan konten yang menyerang kelompok ini. Masukkan kata kunci “LGBT”, “LGBT pemilu”, “moral LGBT”, “anti LGBT”, “usir LGBT”, “caleg LGBT”, dan “(nama partai) LGBT”, Anda bisa menemukan banyak konten yang saya maksud.

Kelompok rentan ketiga yang mengalami diskriminasi daring ialah disabilitas mental. Pola yang saya temukan, disabilitas mental mengalami stigmatisasi sebagai kelompok yang tidak mampu memilih di pemilu. Pola yang jamka ditemukan juga ialah penggiringan opini bahwa KPU menggunakan suara “orang gila” untuk memenangkan partai dan pasangan calon presiden-wakil presiden tertentu.

Padahal, ada Putusan Mahkamah Konstitusi No.135/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa disabilitas mental memiliki hak pilih selama tidak ada surat keterangan dokter ahli kesehatan jiwa yang mengatakan bahwa seseorang tidak mampu memilih karena mengalami gangguan mental permanen.

Kata kunci yang saya gunakan untuk menemukan konten serangan dan diskriminasi daring terhadap disabilitas mental ialah “gila pemilu”, “orang gila pemilu”, dan “gila TPS”.

Yang tidak mengejutkan, serangan-serangan tersebut berkelindan dengan disinformasi. Satu contoh hoaks yang viral di Pemilu 2019 ialah hoaks disabilitas mental yang diangkut paksa untuk memilih ke TPS. Framing dari hoaks tersebut ialah betapa KPU berupaya memenangkan salah satu calon presiden dengan memobilisasi suara disabilitas mental. Faktanya, persitiwa di balik foto yang viral beredar adalah disabilitas mental yang diangkut oleh aparat keamanan karena terlibat suatu kasus kriminal.

Ujaran kebencian, diskriminasi, disinformasi, trolling dan doxing hanya sebagian dari beragam jenis serangan daring lainnya selama pemilu. Targetnya tak hanya kelompok rentan, namun juga penyelenggara pemilu, aktivis hak asasi manusia (HAM), jurnalis, dan peserta pemilu. Tantangan mengamankan media sosial semakin bertambah besar dengan hadirnya kecerdasan buatan. Diperlukan komitmen bersama atau multipihak untuk membangun narasi kontrusktif nan inklusif dalam kampanye Pemilu 2024.

Bagaimana kita mengatur kampanye di media sosial?

Undang-Undang (UU) Pemilu telah mengatur norma mengenai larangan menggunakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam kampanye pemilu, berikut dengan ancaman pidananya. Namun, tak ada norma spesifik mengenai disinformasi pemilu. Pun, Pasal 280 hanya menarget pelaksana kampanye, peserta pemilu, dan tim kampanye.

Sayangnya, tak ada pula upaya bermakna untuk mengisi kekosongan hukum kampanye di media sosial di dalam Peraturan KPU (PKPU) Kampanye. Hanya ada empat perubahan di dalam PKPU Kampanye Pemilu. Dua diantaranya yaitu, batasan akun peserta pemilu di setiap platform media sosial maksimal 20 akun, dan formulir pendaftaran akun media sosial harus pula disampaikan kepada Komenterian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Di tengah ketidakcukupan regulasi mengenai kampanye online, atau lebih spesifik di media sosial, diperlukan adanya kode etik kampanye di media sosial yang mengikat peserta pemilu dan platform media sosial. Platform menjadi pihak yang juga harus diatur, karena platform lah yang dapat melakukan moderasi konten, dan kenyataan bahwa berbagai serangan daring terjadi di platform media sosial. Uni Eropa misalnya, sepakat bahwa harus ada peningkatan derajat tanggungjawab, akuntabilitas dan transparansi dari platform media sosial.

Kode etik kampanye di media sosial pernah diterapkan di Indonesia pada Pilkada 2020. Perludem menjadi salah satu inisiatornya. Kode etik ini kemudian dikembangkan oleh beberapa negara, termasuk Thailand untuk Pemilu 2023.

Ada dua isu utama yang penting untuk disepakati di dalam kode etik oleh peserta pemilu. Pertama, berkampanye secara konstruktif, mengutamakan inklusivitas, dan tanpa kekerasan. Kedua, menghindari penyebaran konten yang menyesatkan, ujaran kebencian, dan pesan-pesan yang menghasut kekerasan.

Sementara untuk platform media sosial, tiga poin utama yang perlu menjadi komitmen yakni, pertama, menerapkan mekanisme pelaporan dan respons yang mudah digunakan untuk moderasi konten terkait Pemilu 2024. Kedua, menyediakan mekanisme moderasi konten yang melibatkan masyarakat sipil. Ketiga, menerbitkan laporan akuntabilitas moderasi konten selama tahapan Pemilu 2024.

Saya merekomendasikan juga agar baik partai politik maupun platform media sosial menyepakati tiga poin tambahan. Pertama, terbuka dalam transparansi iklan politik di platform media sosia untuk menjaga integritas dan akuntabilitas dana kampanye di Pemilu 2024. Kedua, menghormati prinsip-prinsip pelindungan data pribadi, baik untuk tujuan kampanye offline maupun penargetan mikro dalam iklan politik di media sosial. Dan ketiga, mendeklarasikan bentuk-bentuk penggunaan kecerdasan buatan dalam kampanye pemilu.

Belajar dari inisiatif di Pemilu Thailand 2023, kepatuhan terhadap kode etik kampanye diawasi secara berkala. Karena Thailand tak memiliki Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), koalisi masyarakat sipil membentuk tim adhoc untuk melakukan monitoring. Konteks Indonesia, Bawaslu yang memiliki pengawas hingga level daerah dapat melakukan pengawasan, dengan berkolaborasi dengan koalisi masyarakat sipil, platform media sosial, dan Kominfo. Laporan berkala dapat diterbitkan untuk mengetahui setidaknya peserta pemilu mana yang paling banyak menggunakan narasi diskriminatif dan disinformasi sebagai taktik kampanye, dan platform media sosial mana yang paling responsif dalam memoderasi konten ilegal dan berbahaya.

Kode etik kampanye di media sosial dapat menjadi komitmen bersama yang didorong oleh Bawaslu RI. Semoga belum terlambat untuk berkolaborasi, mendorong kampanye pemilu yang lebih konstruktif nan inklusif. []

AMALIA SALABI