Pilih Kartini Saja

“Peduli apa aku dengan segala tata cara itu, segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu.”

(Surat kepada Stella, 18 Agustus 1899)

Dari penggalan surat Kartini itu, kita diyakinkan bahwa kebebasan dan kesetaraan begitu penting bagi manusia untuk tumbuh. Tanpa keduanya, Kartini seperti halnya perempuan pada umumnya kala itu. Dan, tanpa kebebasan dan kesetaraan Kartini, perempuan Jawa dan Indonesia, mungkin akan tertunda mencapai keberdayaan.

Pramoedya Ananta Toer menyampaikan cerita tentang Kartini yang merasa bosan dengan sistem patriarki feodal. Kartini dengan tegas menantang norma dengan meminta untuk dipanggil “Kartini” saja, tanpa menggunakan gelar “Raden Ajeng”. Penggunaan gelar ningrat sebenarnya juga membatasi kehadiran perempuan di ruang publik, mirip dengan keterbatasan yang dialami oleh kelas jelata. Bagi perempuan, domestikasi dianggap sebagai takdir alamiah yang menghambat kehadiran mereka di ranah publik.

Pada masa di mana Indonesia masih di bawah penjajahan Belanda, cita-cita kesetaraan dan keadilan di ranah domestik maupun publik sudah diperjuangkan dengan gigih. Kartini bahkan harus menikah muda dan dipoligami agar mendapat kesempatan untuk berkontribusi di ruang publik. Namun, tragedi datang saat Kartini meninggal muda akibat komplikasi saat melahirkan.

Sekarang, ratusan tahun telah berlalu, namun ketika upaya afirmasi perempuan, seperti kuota minimal 30 persen, dikritik, penting untuk melihat kembali pengalaman dan perjuangan Kartini. Identitas Kartini sebagai perempuan membuatnya terpinggirkan, dilarang menempuh pendidikan tinggi, dibatasi dalam tindakan dan perkataannya, diperlakukan seperti barang dagang, dipoligami, dan bahkan meninggal karena ketidakpahaman medis terhadap tubuhnya.

Pengalaman Kartini harus menjadi cermin bagi kaum perempuan masa kini. Ternyata, masih banyak perempuan yang menghadapi situasi serupa dengan Kartini. Perjuangan untuk mengatasi ketidaksetaraan masih jauh dari selesai.

Kritisme feminis

Kartini, yang lahir pada tanggal 21 April 1879, gemar membaca dan tertarik pada gerakan feminis di Eropa. Bahkan, pada usia 12 tahun, ia mulai berkomunikasi dengan feminis di Belanda melalui majalah “Hollandsche Lelie”. Kartini mengekspresikan ketidaksetujuannya terhadap norma-norma yang membatasi perempuan, merasa bahwa semua aturan dan tata cara hanya menyiksa dirinya sendiri.

Pada abad ke-19, feminisme mulai terlibat dalam pemilihan umum, memperjuangkan hak pilih perempuan. Kartini sendiri berjuang agar tubuh perempuan hadir di ruang publik, memperjuangkan pendidikan bagi perempuan agar mereka bisa memahami kebutuhan tubuh dan peran sosial mereka.

Namun, permasalahan kaum perempuan masih menghadapi berbagai tantangan, seperti tingginya angka kematian bayi dan ibu saat melahirkan, kekerasan terhadap perempuan, suplai gizi yang kurang, dan kurangnya jaminan pendidikan bagi perempuan.

Meskipun ada peningkatan jumlah perempuan dalam parlemen, masih banyak persoalan yang harus diatasi, seperti kekerasan dalam rumah tangga, tingginya angka kematian ibu dan anak, dan perdagangan manusia. Dampak dari sistem patriarki masih terasa kuat di masyarakat, bahkan di dalam parlemen.

Kartini sangat berjuang agar perempuan dapat hadir di ruang publik. Dia keras dalam permintaannya kepada keluarganya agar diberi kesempatan untuk berpendidikan, karena menurutnya, perempuan adalah yang paling memahami kebutuhan tubuh dan peran sosial mereka.

Gelap Hilang, Setara Terbilang

Permasalahan yang masih dialami oleh kaum perempuan disebabkan oleh kebijakan yang belum memihak pada mereka, serta minimnya partisipasi mereka dalam proses kebijakan. Tingkat kematian bayi dan ibu saat melahirkan masih tinggi. Kekerasan, termasuk pelecehan, terhadap perempuan tetap menjadi masalah yang signifikan. Pasokan gizi dan layanan kesehatan masih kurang, sementara jaminan pendidikan bagi perempuan belum sebanding dengan yang diberikan kepada laki-laki.

Di Indonesia, kebijakan yang mendukung kesetaraan gender telah dihasilkan oleh anggota parlemen perempuan yang memiliki pandangan feminis. Parlemen pada periode 2004-2009 membuktikan efektivitas sistem pemilihan umum yang semi terbuka dengan memberikan prioritas pada calon legislator perempuan yang berkualitas, yang kemudian menghasilkan berbagai undang-undang seperti tentang kekerasan dalam rumah tangga, anti-traficking, perlindungan bagi buruh migran, serta perlindungan bagi saksi/korban dan status kewarganegaraan perempuan dan anak.

Namun, pada periode 2009-2014 setelah pemilu 2009, peningkatan jumlah legislator perempuan cenderung menjadi sorotan utama, namun masih banyak tantangan yang dihadapi. Masih tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga, kematian ibu dan anak, perdagangan manusia terutama perempuan dan anak, serta tingginya jumlah perempuan yang buta huruf tetap menjadi masalah yang harus menjadi dasar perjuangan politik perempuan.

Pengalaman dalam proses pemerintahan menunjukkan bahwa penciptaan aturan dan alokasi anggaran yang sensitif terhadap isu gender dapat dicapai dengan meningkatkan kuota perempuan dalam kepengurusan partai dan pencalonan legislator pada pemilihan umum, serta dengan adanya keterhubungan antara aktivis perempuan di masyarakat dengan anggota parlemen. Keterwakilan perempuan dan hubungan antara elit politik dengan rakyat menjadi faktor penting dalam mendorong parlemen dalam menjalankan fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan dengan memperhatikan kepentingan kaum perempuan.

Pengalaman dalam proses pemerintahan menyimpulkan bahwa penciptaan aturan dan alokasi anggaran yang sensitif terhadap isu gender dapat terwujud melalui peningkatan kuota perempuan dalam struktur kepengurusan partai dan pencalonan legislator pada pemilihan umum. Ini terjadi melalui keterhubungan antara aktivis perempuan di masyarakat dengan anggota parlemen. Keterwakilan perempuan dan hubungan antara elit politik dengan rakyat menjadi pendorong bagi parlemen dalam menjalankan fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan dengan memperhatikan kepentingan kaum perempuan.

Pemilu setiap lima tahun sekali dan setiap tahun di dalamnya kita memperingati Hari Kartini. Panggil aku “Kartini” saja, tanpa Raden Ajeng punya semangat bebas setara seperti di pemilu. Yang ningrat dan yang jelata, yang lelaki dan yang perempuan, yang professor dan yang tidak pernah sekolah, semuanya setara dalam demokrasi. One person, one vote, one value. []

USEP HASAN SADIKIN