Menjadi anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) pada Pemilu 2024, vibes-nya beda. Lini masa media sosial bermunculan banyak meme mengenai KPPS. Lalu pada pelaksanan hari H-nya, ada keadaan umum dari para anggota KPPS yang belum sepenuhnya memahami proses pungut-hitung suara pemilu.
Saya, akan mencoba menarasikan pengalaman menjadi anggota KPPS Pemilu 2024 lalu. Tentunya, pengalaman ini subjektif sehingga dapat dan juga tidak dirasakan oleh seluruh abdi negara di Pemilu 2024.
Rekrutmen yang Mudah (Kalau Kenal)
Seperti abdi-abdi negara lainnya, menjadi seorang anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) juga senantiasa membutuhkan open recruitment. Hal ini itu ditujukan guna menjaring sesiapa saja yang hendak menjadi anggota KPPS adalah orang-orang terbaik yang ada dalam ruang lingkup Tempat Pemungutan Suara (TPS) sekitar. Jangan sampai, seorang yang terpilih adalah mereka yang tidak mempunyai kredibilitas dan integritas yang dibutuhkan, bisa ugal-ugalan proses pesta demokrasi yang ada.
Pada tahap rekrutmen, pendaftar biasanya langsung menyerahkan berkas ke tempat pendaftaran yang biasanya tersedia di balai desa atau kelurahan. Biasanya, pendaftaran dilakukan secara online kemudian berkas tersebut menjadi hard-file ketika diserahkan ke balai desa. Tapi, ada juga pendaftaran yang dikolektifkan oleh seorang ketua RT sekaligus pak atau bu RT tersebut merupakan si orang yang merekomendasikan agar ia menjadi anggota KPPS.
Hal itu, dalam hemat saya, dilakukan agar proses rekrutmen tidak memakan waktu lama. Namun, dalam prosesnya, tidak ada seorang pun yang ingin mendaftar. Bisa jadi karena kesibukan. Atau bisa juga karena tidak ada orang yang dinilai mampu menjadi abdi negara tersebut. Keadaan ini bisa jadi alasan agar orang yang terpilih menjadi anggota KPPS adalah sanak kerabat RT itu sendiri. Hal ini jamak kita temukan dalam proses rekrutmen KPPS.
Seorang sahabat menuturkan jika dirinya diminta oleh ketua RT-nya untuk menjadi anggota KPPS. Ia merasa tidak mampu tapi akhirnya menerima juga.
“Pak RT meminta karena pak RT sudah berkeliling sekampung dan tidak ada seorang pun yang mau kalau disuruh mendaftar, akhirnya ya sudah ditunjuk saja yang menurut pak RT mampu,” katanya sambil memeragakan cara berkomunikasi seorang RT kepada saya.
Hal di atas memang kerap kita temukan dalam proses pendaftaran KPPS, meskipun tidak dapat dikatakan terjadi di seluruh wilayah NKRI. Seyogyanya kita musti insyaf, beberapa stakeholder yang terlibat mesti memerhatikan hal ini. Dalam pandangan penulis, ketakminatan hingga apatisnya masyarakat dalam rekrutmen penyelenggara adhoc pemilu ini bukan masalah biasa saja. Sekurang-kurangnya ada beberapa hal yang musti diperhatikan.
Pertama, orang-orang tidak mau menjadi anggota KPPS bukan karena ia benar-benar tidak mau dalam artian apatis terhadap segala bentuk politik, melainkan karena ia tidak mengetahui anggota penyelenggara ini. Saya pernah mengajak kawan-kawan tongkrongan saya menjadi anggota KPPS ini akan tetapi mereka menyebut dirinya tidak pantas. Mereka merasa tidak bakalan mampu dan yang paling aneh mereka takut menjadi anggota KPPS.
Artinya, edukasi dalam upaya peningkatakan literasi politik harus benar-benar diperhatikan secara serius. Meskipun dalam satu sisi, orang-orang dapat mencari tahu KPPS itu apa melalui media sosial atau pun alat pencairan internet lainnya tetapi faktor kesadaran yang kurang akhirnya senantiasa membuat gagal upaya ini. Meskipun, kita musti berbangga karena pada Pemilu 2024 ini, orang-orang mulai penasaran dengan apa itu KPPS melalui viralnya meme di media sosial, dan hal itu dinilai positif karena pada muaranya banyak orang mencari tahu tentang KPPS.
Di sisi lain, persoalan bukan hanya karena minimnya pendidikan politik bagi masyarakat. Ternyata, masih ditemukannya aksi nepotisme di dalam rekrutmen itu sendiri. Nepotisme dapat dimaknai sebagai suatu perilaku yang berlebihan dalam memerhatikan kesukaan pada sanak saudara. Di dalam rekrutmen KPPS jamak ditemukan mereka yang mendaftar dan akhirnya terpilih adalah seorang yang dekat dengan sang petugas penyeleksi.
Seolah menjadi rahasia umum, orang-orang yang tidak mempunyai paman atau seorang bapak dan atau lainnya yang menjadi petugas penyeleksi anggota KPPS akhirnya enggan untuk mendaftar. Dalam hatinya barangkali telah terpaut satu tarikan pikiran jika ia mendaftar hanya akan membuang waktu, tenaga dan materi saja karena toh pada akhirnya yang terpilih adalah mereka yang dekat-dekat saja.
Dan bagi penulis, letak masalahnya bukan pada apakah seorang itu layak atau tidak duduk sebagai anggota penyelenggara pemilu. Masalahnya justru ada pada apakah proses demokratisasi di pemilu akan berhasil ketika benih-benih yang ditanamkan pun merupakan hasil mereduksi demokrasi? Dalam artian, ketika terjadi suatu penyelewengan pemilu. Misalnya. seorang yang memilih anggota KPPS terlibat dalam suatu kesepakatan politik dengan calon tertentu apakah akan dijamin bahwa anggota KPPS yang ditunjuk oleh mereka tidak terlibat di dalamnya? Inilah kenapa nepotisme harus dihancurkan dalam proses rekrutmen guna menghindari dugaan penyelewengan pemilu secara TSM (terstruktur, sistematis, dan masif).
Orientasi Etis Anggota KPPS
Untuk itu, dalam tingkatan yang paling terkecil dan menjadi garda terdepan mengawal proses demokrasi Indonesia, seorang yang hendak menjadi anggota penyelenggara pemilu haruslah seorang yang memiliki nilai-nilai etis ketika menjalankan roda amanahnya. Nilai etis inilah yang akan menjadikan dirinya terbebas dari perilaku nepotisme dan sifat-sifat yang meleburkan semua sifat kemanusiaan.
Orientasi etis tidak hanya dilakukan dengan cara-cara penanaman pendidikan dan literasi politik, melainkan dari bagaimana seorang anggota KPPS itu memandang pemilu. Bagi sebagian oknum, pemilu merupakan ladang untuk panen uang, banyak ditemukan dalam sepanjang sejarah, seorang penyelenggara pemilu menjadi makelar penggelembung suara karena dibayar oleh peserta pemilu.
Untuk itu, nilai-nilai etis yang berangkat dalam upaya penyehatan demokrasi kita harus dimiliki segenap anggota KPPS hingga ranah atasnya. Dan hal yang paling dapat dilakukan adalah secara struktural, KPU sebagai lembaga penyelenggara benar-benar memastikan bahwa mereka yang terpilih adalah yang sudah teruji baik secara elektabilitas maupun intelektualitasnya. Hal inilah yang akan mendorong proses demokrasi lebih baik.
Selain itu, pemberian sanksi yang bukan hanya administrasi atau pun yuridis melainkan sanksi sosial hingga sanksi sejarah harus diberikan kepada mereka yang menyalahi nilai-nilai etis dalam proses pendewasaan demokrasi kita. Dengan hal tegas, konsekuen, dan penuh keseriusan ini, maka proses rekrutmen di dalam penyeleksian anggota penyelenggara adhoc pemilu akan benar-benar berangkat dan menghasilkan orang-orang yang memiliki semangat, dedikasi hingga perhatian yang penuh terhadap pendewasaan, perbaikan dan kesehatan demokrasi Indonesia yang sudah berada di titik paling rawan dalam beberapa dekade terakhir. []
ISMA MAULANA IHSAN
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
*Tulisan ini akan diteruskan pada beberapa tulisan lainnya untuk menggambarkan sekaligus berbagi pengalaman menjadi anggota KPPS di Pemilu 2024 dalam upaya mendewasakan dan menyehatkan demokrasi kita.