Akhir tahun 2016, publik menyaksikan perbedaan pemaknaan prinsip kemandirian penyelenggara pemilu antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait aturan kewajiban konsultasi Peraturan KPU dan Bawaslu kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam forum rapat dengar pendapat yang hasil keputusannya mengikat. KPU menilai aturan tersebut memberangus kemandirian KPU dalam merumuskan peraturan, sementara Bawaslu justru menilai aturan tersebut memperteguh kemandirian Bawaslu.
Mengenai pemaknaan prinsip kemandirian oleh Bawaslu, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menilai pernyataan Bawaslu di depan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang judicial review yang diajukan KPU tersebut kontradiktif. Pasalnya, realita di lapangan menunjukkan DPR telah melakukan intervensi terhadap salah satu peraturan Bawaslu, yakni penegakan politik uang.
“Aturan politik uang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dan boleh dikenakan sanksi diskualifikasi paling lambat 60 hari sebelum pemungutan suara adalah salah satu keinginan DPR yang diminta untuk diakomodasi dalam peraturan Bawaslu,” jelas Fadli, pada acara diskusi “Catatan Akhir Tahun Perludem” di Cikini, Jakarta Pusat (29/12).
Hal ini tentu saja melemahkan dan mementahkan kemungkinan orang dijerat sebagai pelaku politik uang.
Ironisnya, Bawaslu, dalam banyak kesempatan, mengatakan bahwa syarat TSM yang bersifat akumulatif dalam penindakan pelanggaran politik uang sebagai aturan yang menyulitkan Bawaslu. Aturan tersebut disebutnya sebagai aturan karet sehingga perlu dihilangkan atau direvisi.
“Berulang kali saya katakan Bawaslu sulit menjerat pelaku politik uang karena adanya ukuran TSM yang sifatnya akumulatif. Jadi, kami usulkan agar TSM ini dihilangkan. Apabila ada satu unsur saja dari politik uang yang terbukti, bisa dikenakan sanksi,” kata Ketua Bawaslu, Muhammad, pada acara “Konsolidasi Masyarakat Sipil Kawal RUU Pemilu” di Kuningan, Jakarta Selatan (22/12).