Koalisi Nasional untuk Implementasi UU Penyandang Disabilitas meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) melindungi hak pilih semua penyandang disabilitas mental. Perlindungan pun menekankan kepada KPU menjalankan fungsi melayani dari pusat hingga tingkat daerah dan sosialisasi pemilih mengenai disabilitas mental. Partai politik sebagai lembaga demokrasi dan peserta pemilu seharusnya berkepentingan melakukan pendidikan dan pemberdayaan pemilih disabilitas mental bukan mempolitisasi isu pemilih disabilitas mental.
“Kami meminta KPU melindungi hak pilih warga penyandang disabilitas, khususnya disabilitas mental. Semuanya harus masuk daftar pemilih, tanpa kecuali,” kata Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rosa Damayanti di Jakarta (24/11).
Yeni menekankan bahwa, upaya pengakuan hak pilih warga disabilitas mental merupakah hal yang sudah amat lama diperjuangkan masyarakat sipil terhadap negara. Harapan perempuan aktivis Reformasi ini adalah, apa yang sudah dicapai di Pemilu 2014 dengan pendataan dan pelayanan di TPS Khusus di Rumah Sakit Jiwa bisa lebih ditingkatkan dalam hal pemenuhan dan layanan hak pilih.
Perwakilan Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Disabilitas (PPUA), Heppy Sebayang berpendapat, dalam pengumuman Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan (DPTHP) pada 15 November 2018, KPU belum menginformasikan pemilih disabilitas. Berdasarkan DPT di Pilkada 2018, jumlah pemilih penyandang disabilitas masih jauh dari seharusnya.
“KPU harus mengoptimalkan 30 hari sebagai waktu perbaikan daftar pemilih,” kata Heppy.
Jangan dipolitisasi
Perwakilan Pokja Koalisi Nasional Penyandang Disabilitas, Mahmud Al Fasa menekankan, upaya perlindungan hak pilih disabilitas mental ini jangan dipolitisasi. Semua ini menurutnya, murni sebagai bentuk jaminan hak dasar warga negara.
“Dalam undang-undang disabilitas, ada satu pasal mengenai hak politik yang wujud rinciannya amat banyak termasuk jaminan hak pilih di pemilu,” kata Mahmud.
Selain itu, Mahmud menyayangkan jika perlindungan hak pilih penyandang disabilitas mental dimaknai sebagian peserta pemilu sebagai upaya pemenangan peserta pemilu lainnya. Ini mendorong pendukung peserta pemilu menyebar informasi yang tak mendidik sehingga menimbulkan kesalahpahaman terhadap penyandang disabilitas, khususnya disabilitas mental.
Psikiater senior, Irmansyah mengklarifikasi kesalahan pemahaman dari sebagian peserta pemilu dan masyarakat terhadap penyandang disabilitas mental. Menurutnya, kapasitas seseorang memilih di pemilu tidak ditentukan diagnosis atau gejala yang dialami penderita, melainkan dari kemampuan kognitif (kemampuan berpikir).
“Artinya, penyandang disabilitas mental seperti penderita skizofrenia, Bipolar atau depresi berat tidak otomatis kehilangan kapasitas menentukan pilihan,” kata Irman.
Irman menyayangkan jika persoalan kemanusiaan dan hak pilih ini malah dipolitisasi. Partai politik sebagai lembaga demokrasi dan sebagai peserta pemilu bertanggungjawab dalam melakukan pendidikan politik termasuk mengenai hak politik disabilitas. Bahkan, seharusnya partai politik berkepentingan terhadap pemilih disabilitas.
Koalisi mendorong KPU untuk membentuk kebijakan tambahan yang mendukung penyandang disabilitas mental untuk ikut menggunakan hak pilihnya, yaitu:
- Berkoordinasi dengan Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah untuk memberikan dukungan dan fasilitas yang dibutuhkan, agar para penyandang disabilitas mental yang didaftar dapat menggunakan hak memilihnya pada saat hari pencoblosan;
- Tidak menggunakan surat keterangan dokter sebagai syarat bagi siapapun pemilih untuk menggunakan hak pilihnya, termasuk penyandang disabilitas mental;
- Melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, tim sukses para calon Presiden dan Wakil Presiden, Partai Politik peserta Pemilu 2019, internal KPU, KPUD dan penyelenggara Pemilu lainnya terkait dengan hak politik penyandang disabilitas, khususnya penyandang disabilitas mental. []
USEP HASAN SADIKIN