Undang-undang kepemiluan turunan dari konstitusi memperlemah makna kemandirian Komisi Pemilihan Umum, termasuk dalam menjamin pencalonan perempuan minimal 30% di tiap daerah pemilihan. Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mempunyai ketentuan yang memperlemah KPU dalam aspek rekrutmen, pembentukan peraturan, dan anggaran sehingga berdampak pada kerentanan intervensi anggota DPR melalui peraturan KPU.
“KPU mestinya merevisi PKPU dan partai wajib melaksanakan PKPU yang dibuat,” terang akademisi Ilmu Politik Universitas Indonesia, Valina Singka Subekti dalam diskusi bertajuk “Jaga Kualitas Pemilu: KPU Patuh pada Putusan MA- DKPP Tegas Sanksi Penyelenggara” secara daring (6/10).
Valina menjelaskan, keterwakilan perempuan minimal 30 persen sudah menjadi komitmen nasional untuk menghadirkan pemilu yang berintegritas. Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023, tidak tepat jika disikapi KPU dengan membuat nota dinas surat edaran pada partai partai.
Valina menyoroti masalah kemandirian KPU yang terus menurun. Menurutnya, kemandirian penyelenggara pemilu adalah bagian integral dari integritas pemilu yang harus tercermin dari kebijakan secara keseluruhan.
Lebih jauh, ia menjabarkan persoalan kemandirian KPU itu erat kaitannya dengan konstruksi awal pembentukan lembaga. Sejak awal KPU dikonstruksikan memang tidak sama dan setara dengan lembaga lain. Menurutnya, melalui istilah mandiri ada keinginan KPU tidak sepenuhnya independen, misalnya dengan aturan-aturan turunan yang semakin mengikat KPU seperti, sistem rekrutmen, pembuatan regulasi, dan anggaran pemilu.
“Ketiga hal itu membuat KPU tidak bisa hadir sepenuhnya menjadi lembaga yang independen. Karena itu penyelenggara pemilu harus diawasi. Dan itu bukan persoalan, karena sekarang sudah ditekan dan diawasi aja masih diterbas saja,” ungkapnya. []
AJID FUAD MUZAKI