Proyek KTP elektronik yang karut marut turut membawa permasalahan pada Pilkada 2017. Ia mencederai salah satu hak mendasar dalam pemilu: hak untuk memilih.
Pembahasan UU No. 10/2016 (revisi kedua UU Pilkada) di DPR pada September 2016 silam menghasilkan kesepakatan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Pemerintah. Kesepakatan tersebut salah satunya adalah syarat harus memiliki Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el) untuk dapat memilih. Pada pelaksanaan Pilkada 2017, ada permasalahan data pemilih yang bersilangan dengan KTP-el sebagai syarat memilih ini.
“Negara telah melakukan kejahatan konstitusional kepada warganya. Padahal, negara seharusnya wajib melindungi dan memastikan hak pilih warganya terjamin,” ujar Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Permasalahan pertama muncul pada jenis pemilih yang belum melakukan perekaman KTP-el dan karenanya tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Pada penyusunan Daftar Pemilih Sementara (DPS), KPU mencatat jumlah pemilih yang belum merekam dan memiliki KTP-el sebanyak 1.550.109. Karena belum melakukan perekaman dan tak punya fisik KTP-el, ia tidak masuk dalam daftar potensial pemilih pemilu (DP4) sebagai bahan penyusunan DPT. Saat pemungutan suara pun, ia jelas tak bisa memilih, karena pasal 57 UU 10/2016 menyaratkan, dalam hal warga negara Indonesia tidak terdaftar sebagai pemilih, pada saat pemungutan suara menunjukkan KTP-el. Ini berbeda dengan Pilkada 2015 yang membolehkan pemilih membawa kartu keluarga atau surat keterangan domisili.
“Landasan hukum yang digunakan, jika individu tidak terdaftar di daftar pemilih, tidak memiliki e-KTP atau surat keterangan, maka KPU tidak bisa memfasilitasi. Ini karena akan sulit untuk mengonfirmasi atau membuktikan identitas calon pemilih itu,” kata Sigit Pamungkas, anggota KPU (2/2).
Permasalahan juga muncul pada pemilih yang telah mempunyai KTP-el atau surat keterangan, tetapi belum terdaftar di DPT. KPU menempatkan pemilih ini dengan kategorisasi pemilih tambahan yang didaftar di daftar pemilih tambahan (DPTb).
PKPU 14/2016 Pasal 10 dan Pasal 37 mengatur prosedur pemungutan suara bagi pemilih yang terdaftar di DPTb. Mereka menggunakan hak pilihnya dengan ketentuan menunjukkan KTP-el atau surat keterangan kepada KPPS. Hak pilih pemilih pada DPTb dapat digunakan di TPS yang sesuai dengan alamat yang tertera dalam KTP-el atau surat keterangan. Penggunaan hak pilih dilakukan satu jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS.
Pada implementasinya, penggunaan KTP-el oleh pemilih yang terdaftar di DPTb bersengkarut dengan penggunaan KTP-el oleh pemilih yang terdaftar di DPT tapi tak mendapat formulir C6.
Pasal 11 PKPU 14/2016 mengizinkan pemilih yang telah terdaftar di DPT tapi tidak mendapat atau membawa formulir C6 (surat pemberitahuan pemungutan suara) untuk memilih dengan menunjukkan KTP-el atau surat keterangan. Bedanya, pemilih yang terdaftar di DPT ini boleh memilih di jam 8.00—12.00, bukan di satu jam terakhir.
Selain bersengkarut dengan pengguna KTP-el pemilih di DPT, petugas KPPS juga mengacaukan aturan Pasal 37 PKPU 14/2016. Aturan itu menyebut, KPPS memberikan surat suara kepada pemilih yang terdaftar di DPTb apabila surat suara masih tersedia.
Namun, KPPS beranggapan, pemilih di DPTb, yang memilih dengan KTP-el atau surat keterangan, hanya bisa menggunakan surat suara cadangan. Anggota KPPS tak berani menggunakan surat suara untuk DPT karena khawatir para pemilih di daftar itu belum dan akan datang. Akibatnya, banyak pemilih yang pada akhirnya tak bisa memilih karena alasan ini.
“Ada kesenjangan pengambil kebijakan dan praktik di TPS,” tegas Titi.
Permasalahan lain menimpa jenis pemilih yang terdaftar di DPT, sudah melakukan perekaman KTP-el, tetapi belum mendapatkan KTP-el. Kondisi ini terjadi karena blangko KTP-el yang sudah habis. Mereka bisa memilih dengan membawa surat undangan memilih (Formulir C6) dan/atau surat keterangan dari Disdukcapil bahwa yang bersangkutan telah melakukan perekaman KTP-el, tapi belum mendapat fisik KTP-el.
Ada kekhawatiran pemalsuan surat keterangan. Surat Keterangan Pengganti KTP-el, yang contohnya dilampirkan dalam Surat 471.13/10231/DUKCAPIL, tak disertai alat verifikasi memadai yang bisa menunjukkan keaslian surat. Di TPS tidak ada alat pemindai yang dapat memeriksa keaslian surat tersebut. Di DKI Jakarta, tercatat ada 230 ribu surat keterangan yang diterbitkan. Padahal, berdasarkan data Disdukcapil, surat keterangan yang terbit hanya sebanyak 84 ribu lembar.
“Data waktu itu kan ada 84 ribu surat keterangan yang diterbitkan Disdukcapil. Ternyata ketika pilkada kemarin jumlahnya membengkak menjadi 230 ribu,” kata anggota Bawaslu DKI Achmad Fachrudin (4/3).
Kasus-kasus di lapangan ini sebenarnya adalah buntut dari aturan kepemilikan KTP-el sebagai syarat memilih yang terlalu dipaksakan. Masih banyak pemilih yang belum merekam. Kalaupun sudah merekam, fisik KTP-el belum kunjung didapat karena blangko KTP-el tak tersedia. Akibatnya, KPU mesti merancang peraturan yang di satu sisi mesti mengakomodasi hak pilih, di sisi lain mesti meminimalisasi kecurangan. Aturan terburu-buru dan sikap terlalu protektif petugas karena banyak isu kecurangan lah yang membuat hak pilih tergadaikan.