Salah satu komisioner Commission of Election (Comelec) Filipina, Lui Tito Guia, membagikan pengalaman penerapan teknologi pemilu yang diterapkan Filipina kepada peserta Regional Meeting Stakeholder Election Technology yang diadakan oleh Regional Support for Election and Political Transitions (Respect) di Hotel Harris Tebet, Jakarta Selatan, Indonesia (30/9). Dalam kesempatan itu, Lui menekankan pentingnya kolaborasi dan diskusi berkelanjutan diantara negara-negara regional agar penerapan teknologi pemilu di negara masing-masing menjadi solusi atas masalah kepemiluan yang dihadapi.
Di wilayah Asia-Pasifik, setidaknya ada empat negara yang menerapkan teknologi pungut-hitung dalam penyelenggaraan pemilu di negaranya. Australia menerapkan ragam teknologi pemungutan suara sejak 2007, mulai dari pemilihan dengan telpon bagi pemilih disabilitas netra dan pemilih dengan gangguan penglihatan lainnya, hingga pemilihan dengan electronic certified lists (ECLs) di beberapa daerah pada Pemilihan Federal 2013 dan 2016. Filipina menggunakan optical mark recognition (OMR) sebagai alat penghitungan suara elektronik atau e-counting. India mengadopsi direct record electronic (DRE) untuk melayani hampir satu miliar pemilihnya. Dan Korea Selatan, selain telah menggunakan mark scanner untuk e-counting dan menyediakan pilihan online voting sebagai salah satu metode memilih, tengah mencoba peruntungan lain dengan mengembangkan teknologi blockchain untuk sistem pemungutan suara elektronik atau e-voting.
Simak selengkapnya penjelasan Lui dalam bentuk wawancara.
Bagaimana Filipina memulai teknologi e-counting? Apakah saat itu Comelec merujuk pada standar negara tertentu?
Dalam pengalaman saya, saya tidak percaya pada ukuran tertentu, karena yang utama adalah konteks. Bagaimana teknologi tertentu diterapkan bisa sesuai dengan kondisi sosio-politik dalam negeri, dan apa yang benar-benar dibutuhkan.
Seperti apa konteks Filipina?
Di Filipina, sebagai gambaran awal, kami memiliki 81 provinsi, 145 kota, 1.489 kota, dan 42.045 Barangays. Barangays adalah dasar dari konstituensi atau daerah pemilihan (dapil). Kami memiliki 1.822.173 pemilih di luar negeri, dengan total pemilih terdaftar dalam dan luar negeri sebanyak 61.843.750. Pada pemilihan terakhir, ada sekitar 100.000 tempat pemungutan suara (TPS) dan 36.830 pusat penghitungan suara. Kami menggunakan sekolah sebagai TPS.
Sama seperti Indonesia, kami juga menyelenggarakan pemilu serentak. Kami memilih presiden, senator, anggota House of Representative (HoR), gubernur, anggota Sangguniang Panlalawigan, walikota, dan anggota Sangguniang Panlungsod /Bayan dalam satu hari yang sama. Kami mencetak surat suara dengan ribuan nama dalam satu surat suara tunggal. Di pemilihan terakhir, 43.791 kandidat pemilihan memperebutkan 3.193 kursi.
Mengapa e-counting dan tidak e-voting atau e-recap?
Di dalam konstitusi kami, dikatakan bahwa semua pemilihan harus diadakan dalam satu hari, dan bahwa sistem pemilihan kami adalah first past the post, pemenang mengambil semua, hanya satu yang akan menang. Lalu dikatakan, pemilihan dilakukan secara manual dengan menandai kertas suara. Memberikan tanda di surat suara, dalam pandangan konstitusi kami, adalah cara memilih yang paling transparan. Nah, kerangka hukum itulah yang kemudian diturunkan menjadi UU Pemilihan 1955. Dengan demikian kami tidak bisa menyelenggarakan pemilihan dengan e-voting.
Kenapa kami memilih e-counting? Karena pemilihan manual itu menyebabkan beberapa masalah, inefisiensi. Ada banyak salinan sertifikasi yang mesti diisi. Inilah mengapa akhirnya ada tuntutan untuk memodernisasi proses pemilihan kita. Jadi, penggunaan teknologi dalam pemilu itu permintaan dari masyarakat dan diukung oleh organisasi masyarakat sipil.
Bisa diceritakan proses adopsi teknologi e-counting Filipina? Berapa lama proses pengujian teknologi hingga akhirnya diterapkan secara resmi dan apa saja yang dilalui?
Ya, ini dimulai di tahun 1992. Kami berpikir memperbaiki proses pemilihan secara serius. Saat itu Comelec mengirim perwakilan ke negara-negara lain, mencari alternatif, dan kemudian sekitar tahun 1992 sampai 1993, akhirnya teknologi baru kami putuskan untuk diterapkan. Tidak e-voting, karena menurut kami pemilihan dengan surat suara adalah metode yang paling transparan dan membuat penyelenggara pemilu percaya diri. Dengan surat suara, kita masih memiliki sesuatu untuk membuktikan suara kita benar. Dan itulah sebabnya kami memilih optical scanner.
Maka, pada 1994, disusunlah undang-undang. Alasan mengapa kami membutuhkan hukum baru dalam menggunakan teknologi penghitungan suara, karena UU Pemilu tahun 1955 tidak menyediakan ruang untuk mengadopsi teknologi baru. Akhirnya undang-undang disahkan pada 1997. Kemudian pada 1998, tahun dimana ada pemilihan nasional, kami mengujinya di daerah Mindanao.
Setelah Pemilu 1998, tidak ada revisi undang-undang. Karena ada pemilu setiap tiga tahun sekali, kami tidak punya waktu untuk merevisi regulasi dan memperbaiki teknologi yang ada.
Masa terbaik pengembangan teknologi kami terjadi di 2004. Namun, ada beberapa masalah dalam pengadaan teknologi sehingga Mahkamah Agung membatalkan kontrak dengan penyedia teknologi e-counting. Jadi, sekali lagi, tidak ada teknologi yang digunakan hingga 2004.
Lalu di 2007, seharusnya teknologi e-counting sudah diterapkan. Tapi, revisi undang-undang pemilu justru memperkenalkan sistem e-voting DRE yang tidak menggunakan kertas suara. Undang-undang otomasi ini tampaknya hanya berfokus pada penggunaan satu teknologi tertentu. Beberapa orang berpikir hal tersebut tidak benar. Undang-undang mestinya memberikan fleksibilitas bagi penyelenggara pemilu untuk mempertimbangkan banyak teknologi.
Kami kemudian menggunakan optical mark recognition (OMR) pada 2008 di daerah pemilihan Mindanao. Skemanya menggunakan pusat penghitungan suara. Tidak ada penghitungan di TPS. Surat suara dimasukkan ke dalam kotak suara, lalu dibawa ke pusat penghitungan, dan surat suara dimasukkan ke mesin e-counting. Jadi, itu yang digunakan pada 2006 dan 2008.
Pada 2009, memakai lagi teknologi pemindaian optik. Tapi kali ini, Comelec memutuskan untuk menghitung suara di TPS. Jadi, alih-alih menghitung di pusat penghitungan suara, Comelec memperkenalkan precinct system di setiap TPS. Hasil penghitungan suara kemudian ditabulasi.
Bagaimana cara kerja mesin e-counting Filipina?
Mesin e-counting kami menggunakan pemindai optik. Mesin ini sudah terstandarisasi. Cara bekerjanya, mesin menangkap gambar suara pemilih dalam surat suara. Surat suara kami dicetak depan dan belakang. Jadi, pemindaian dilakukan terhadap surat suara tampak depan dan belakang.
Mesin kemudian menyimpan hasil pindaian pilihan pemilih ke dalam kartu SD yang tertanam di dalam mesin e-counting. Lalu mesin secara otomatis menghitung dan mengkonsolidasikan suara, kemudian mencetak hasil pemilihan. Perlu diketahui, mesin e-counting kami tidak terhubung ke jaringan internet apapun hingga akhirnya kami mengirimkan hasil penghitungan suara ke pusat konsolidasi suara.
Bagaimana memastikan surat suara yang dihitung oleh mesin e-counting merupakan surat suara yang sah, yang dikeluarkan oleh Comelec?
Di surat suara, ada kode QR masing-masing.
Baik. Lalu bagaimana menyatukan hasil penghitungan suara dari satu mesin ke mesin yang lain?
Hasil penghitungan suara dari mesin precinct dikirimkan ke tiga server: server penyelenggara pemilu tingkat kota, server cadangan atau server pusat, dan ke server transparansi. Server transparansi ditujukan untuk organisasi masyarakat sipil dan media. Mereka dapat melihat hasil pemilu di website server transparansi, real time. Dengan ini, mereka memiliki kesempatan untuk mempublikasikan data dari data mentah kami. Biasanya, masyarakat sipil dan media mengkonsolidasikan hasil pemilu dan membuat tabulasi mereka sendiri.
Cara menyatukannya, ada beberapa tingkatan. Setelah suara dihitung di pusat-pusat penghitungan suara, suara ditabulasi di tingkat kota. Hasilnya disertifikasi. Pememang Pemilihan Wali Kota dan Pemilihan Anggota Parlemen tingkat kota juga disertfiikasi. Setelah tabulasi selesai di tingkat kota dan pemenangnya disertifikasi, maka hasilnya dikirim ke tingkat provinsi. Di tingkat provinsi, hasil di tingkat kota ditabulasikan. Di tingkat provinsi inilah hasil Pemilihan Gubernur dan anggota legislatif tingkat provinsi disertifikasi. Begitu juga di tingkat nasional.
Terkait pemilihan legislatif, sistem pemilihan legislatif kami menerapkan mixed member system. 20 persen anggota parlemen dipilih dengan sistem proportional representative (PR). Hasil pemungutan suara mereka ditabulasikan di Board of National Canvassers.
Skema tersebut diatur di dalam undang-undang atau peraturan teknis yang dibuat oleh penyelenggara pemilu? Apa saja sebetulnya yang perlu disiapkan dalam kerangka hukum, jika suatu negara hendak menerapkan teknologi pemilu baru?
Undang-undang kami mengatur parameter tertentu untuk teknologi yang kami terapkan. Seperti sistem harus dapat diaudit, inklusif, aman, dan sistem harus pernah digunakan dalam pemilihan sebelumnya. Tujuannya adalah untuk mengetahui ini baik, itu buruk. Jadi, parameter itu ada di dalam undang-undang, bukan dalam konstitusi.
Kami juga memiliki penasehat eksternal, para pakar informasi teknologi (IT). Comelec memang memiliki tenaga IT yang memadai, tapi undang-undang berpikir bahwa penting untuk memiliki penasehat eksternal yang terdiri atas akademisi di bidang IT, perwakilan industri IT, dan praktisi industri IT. Penasehat eksternal dipimpin oleh sekretaris Departemen Informasi dan Teknologi Pemilu.
Selain itu, ada persyaratan sertifikasi. Sistem harus disertifikasi oleh pihak ketiga dan melibatkan entitas sertifikasi internasional. Komite sertifikasi dalam negeri berasal dari Departemen Teknologi Informasi dan Komunikasi Negara, Departemen Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Negara, dan salah satu perwakilan Comelec. Jika Comelec tidak setuju dengan hasil evaluasi otoritas sertifikasi tersebut, kami bisa berkomentar dan memberi penjelasan secara formal.
Hal lain yang diatur di undang-undang yakni peninjauan kode sumber oleh partai politik dan lembaga swadaya masyarakat, serta uji mesin e-counting dan tes surat suara, apakah surat suara dapat terbaca oleh mesin e-counting. Tes ini dilakukan sebelum pemilihan.
Ada sertifikasi dan tes yang dilakukan sebelum mesin e-counting digunakan pada hari pemilihan. Bagaimana memastikan integritas performa mesin di hari pemilihan?
Tabulasi elektronik selalu diimbangi dengan salinan suara pemilih. Jika ada suatu masalah atau peretasan terhadap server, antara hasil transmisi ke sistem tabulasi tingkat kota atau provinsi, maka kami menghitung salinannya.
Ada juga jejak kertas. Jejak kertas ini dapat dari ketika seorang pemilih memasukkan surat suara ke dalam mesin pemindaian atau e-counting, mesin mencetak jejak kertas. Tujuan jejak kertas adalah untuk memverifikasi bahwa pemungutan suara itu benar. Jadi, Anda memasukkan jejak kertas itu ke dalam kotak yang disediakan di TPS. Kami tidak mengizinkan pemilih membawa pulang jejak kertas. Kertas itu juga tidak boleh difoto karena akan mendorong terjadinya politik uang.
Selain itu, di bawah hukum kami, setelah pemilihan, kami harus memeriksa surat suara sebagai mekanisme audit. Kami menghitung surat suara secara manual untuk membandingkan hasil pemilihan yang diproses oleh mesin e-counting. Audit ini dilakukan secara acak. Ada Komite yang menentukan kotak suara mana yang akan dihitung secara manual. Penunjukkannya harus inklusif dan transparan.
Jika terjadi kesalahan dalam proses penghitungan, bagaimana membuktikan kesalah tersebut?
Berdasarkan tradisi hukum kami, bukti terbaik adalah surat suara. Jadi, kami pergi ke TPS, kami buka kotak suara dan menghitungnya secara manual. Namun, cara ini hanya bisa ditempuh jika ada sesuatu yang mencurigakan atau ketika suatu pihak yang berkepentingan memintanya.
Sejauh ini, menurut Bapak, apa dampak penggunaan teknologi e-counting terhadap Pemilu di Filipina?
Ketika masyarakat melihat hasil pemilu dapat diumumkan dalam waktu yang cepat, mereka menerima hasilnya, dan itu membuat situasi politik yang tadinya panas jadi dingin. Calon presiden yang kalah, menerima kekalahan mereka.
Jujur saja, teknologi bermanfaat dan relevan bagi penyelenggaraan pemilu di negara kami. Tampaknya juga, oleh media, teknologi yang kami gunakan dipandang sebagai kisah sukses yang mendapat pujian mereka. Tentu saja ada masalah dengan sistem, ada kesalahan prosedural. Itu memang terjadi selama proses.
Adakah permintaan dari pihak tertentu agar penghitungan suara kembali ke manual?
Ada wacana di parlemen untuk kembali ke penghitungan manual. Alasannya soal kredibilitas. Memang dengan teknologi, prosesnya cepat tetapi tak semua orang bisa menyaksikan dan kita tidak bisa melihat proses di dalam mesin. Tapi, jika kami kembali ke sistem yang lama, maka kita akan kembali menghadapi sistem yang tidak efektif. Jadi, mana yang bisa lebih bisa kita terima?
Jadi, tantangan apa saja yang pernah dihadapi selama penggunaan teknologi e-counting?
Pertama, ketidakpercayaan dari publik, karena kurangnya transparansi sistem. Faktanya memang kita tidak bisa melihat sistem transmisi atau tabulasi. Itu membuat orang sulit percaya. Kami berpikir, mengapa kami membutuhkan 30 salinan ketika kami sudah digital. Jadi, kami memvalidasi proses digital dengan proses manual.
Kedua, aspek pengadaan teknologi juga cukup kontroversial. Bayangkan saja, kita membeli teknologi baru seharga miliaran dolar.
Ketiga, dari aspek hukum. Ketika pemilihan elektronik diadopsi, pengacara harus diedukasi agar memahami teknologi baru ini. Tentu berbeda mengatasi perselisihan hasil pemilu saat hasilnya diproses secara elektronik.
Keempat, serangan siber. Serangan siber di dalam proses pemilu juga berkontribusi pada kredibilitas proses dan hasil pemilihan. Jika ada isu sistem kita diserang, kredibilitas proses yang telah kita lalui rentan dipertanyakan.
Ada rekomendasi atau saran bagi penyelenggara pemilu di negara lain yang tengah berproses mengadopsi teknologi pemilu?
Tentu. Hal pertama yang penting dilakukan adalah melakukan identifikasi masalah. Mengapa Anda harus menggunakan teknologi? Kemudian, cari solusi yang tepat. Ingat! Anda mengadopsi teknologi karena Anda perlu meningkatkan kualitas proses pemilihan. Anda jangan mengadopsi teknologi jika Anda tidak memiliki infrastruktur yang cukup, jaringan internet misalnya. Perlu diketahui, teknologi pemilu yang Anda mengadopsi akan menghabiskan 30 persen dari pendapatan domestik bruto negara Anda.
Oleh karena itu, dalam proses pengadaan teknologi, penyelenggara pemilu harus membuat prosesnya terbuka dan transparan, Perlakukan semua penyedia teknologi secara ekual. Yang terpenting, kita harus detil merinci apa saja yang kita butuhkan berikut spesifikasinya. Tuliskan itu semua di dalam kontrak.
Hal lain yang juga saya sarankan, yakni meningkatkan kapasitas penyelenggara pemilu. Dalam teknologi. penyelenggara harus bisa terbuka untuk berkolaborasi dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil, juga kelompok IT, agar dibantu mengadopsi teknologi. Kami memiliki orang-orang IT yang baik di Comelec, tapi ada juga orang-orang cemerlang di luar sana yang bisa memberikan kritik dan saran.
Soal hukum, periksa lagi apa yang perlu diatur di dalam undang-undang, agar teknologi kepemiluan memiliki legitimasi. Terkadang regulasi memang perlu detil, tapi di saat yang lain, regulasi juga mesti menjami fleksibilitas teknologi yang dikembangkan.
Terakhir, ini sangat penting, lakukan tes, tes, tes! Dan tes lagi! Tes adalah sesuatu yang akan membangun kepercayaan semua pihak. Pastinya, Anda melakukannya sesuai dengan konteks sosio-politik negara Anda.
Referensi:
Lundie, Lub. Electronic Voting at Federal Elections. Artikel dalam https://www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/pubs/BriefingBook45p/ElectronicVoting.
Meisburger, Tim. Korean Elections: A Model of Best Practice. Artikel dalam http://asiafoundation.org/2016/04/20/korean-elections-a-model-of-best-practice/.
Marinoff, Nick. South Korea is Trilaling Blockchain Voting, Here’s What That Mean. Artikel dalam https://bitcoinmagazine.com/articles/south-korea-trialing-blockchain-voting-heres-what-means.