Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mengambil peran pemantauan pemilu di 2014 lalu. Menurutnya, lembaga pemantau tidak seharusnya hanya menyoal hasil pemilu. Jauh daripada itu, proses pengelolaan pemilu juga mesti dijaga kualitas dan integritasnya.
M. Afifiddun, Koordinator Nasional JPPR, mengupas evaluasi pemilu 2014 lalu. Menurutnya, masyarakat sipil dengan kritik-kritiknya berperan sebagai obat penguat bagi penyelenggaraan pemilu yang berintegritas. Berikut cuplikan evaluasi Afif atas pemilu 2014 dalam wawancara rumahpemilu.org dengannya (25/11).
Apa titik berat evaluasi Pemilu 2014 lalu?
Kunci dari proses pelaksanaan pemilu tentu adalah manajemen pengelolaan pemilu yang baik. Manajemen pengelolaan pemilu yang baik akan menentukan kualitas yang baik. Kualitas dan integritas proses akan menentukan kualitas dan integritas hasil. Ini sebenarnya concern-nya lembaga pemantau. LSM, biasanya, tidak hanya menyoal hasil pemilu itu, tapi juga menyoal prosesnya. Jadi, integritas proses itu menjadi penting untuk menilai integritas hasil. Jadi kalau misalnya Partai A menang, tapi prosesnya penuh kecurangan, saya kira, kemudian orang akan bertanya-tanya dengan kualitas kejurdilan dari pemilu itu sendiri.
Berhasilkah penyelenggara pemilu menjawab itu?
Saya kira KPU sangat berhasil untuk meyakinkan masyarakat umum atas itu. Kepercayaan masyarakat harus dimiliki oleh lembaga seperti KPU dan Bawaslu. Ini yang harus dilakukan oleh lembaga penyelenggara. Sehingga ia bisa dianggap sebagai lembaga yang independen, tidak memihak kepada salah satu peserta pemilu. Dengan demikian, orang kemudian mengakui hasil atau proses pemilu itu sendiri.
Salah satu tantangan penyelenggaraan pemilu adalah memberikan pembuktian terhadap preseden dan apa yang terjadi di masa lalu. Misalnya, di pemilu kemarin di tahun 2009, isu soal pemanfaatan teknologi untuk mengunggah hasil suara dinilai manipulatif atau menguntungkan salah satu peserta pemilu. Ini menjadi hal yang harus diklarifikasi oleh penyelenggara dan harus diyakinkan pada pelaksanaan pemilu 2014.
Evaluasi Anda soal kualitas tahapan pemilu?
Yang pertama soal daftar pemilih. Dalam catatan kami, sumber data awal DPT memang masih bermasalah. NIK, E-KTP, dan seterusnya itu, menjadi muara dari adanya daftar pemilih yang masih bermasalah.
Tetapi, kualitas DPT, menurut kita, lebih baik dibandingkan pemilu sebelumnya. Kalau di pemilu sebelumnya, habis pemilu ada pansus soal DPT di DPR karena begitu bermasalahnya DPT pada waktu itu. Kemudian, di pemilu kali ini kita menjumpai sistem pendataan pemilih yang bisa diakses siapa pun, dan kita tidak pernah mendapatkan itu pada pemilu-pemilu sebelumnya. Saya kira kita perlu apresiasi untuk itu.
Tapi, sidang sengketa hasil pemilu banyak menyoal DPT, terutama DPK dan DPKTb…Â
Istilah seperti DPT, DPTb, DPK, DPKTb, ini memang membingungkan bagi banyak orang. Intinya kan sebenarnya, orang yang sudah terdaftar, pemilih pindah, dan kemudian pemilih tambahan. Tapi bagi orang yang tak menggauli pemilu, bisa jadi frase-frase ini agak membingungkan. Kalau bisa lebih disederhanakan saya kira akan lebih menarik untuk diketahui oleh masyarakat.
Perbaikan sistem pendataan daftar pemilih melalui perbaikan sejumlah peraturan perundangan harus segera dilakukan. Perbaikan ini tentu di tahapan awal proses pemilu, aturan-aturan hukum, kemudian perbaikan kualitas pendaftaran pemilih. Kenapa ini kita sebut, karena ini soal hak politik warga yang menjadi hak asasi individu, jadi kita mesti selalu ingatkan bahwa yang namanya masyarakat itu punya hak memilih dan itu harus diperhatikan terus.
Dalam tahapan kampanye, peserta pemilu beradu-siasat melanggar aturan kampanye. Apa rekomendasi anda atas masalah ini?
Sekarang begini, contoh iklan di TV, penjelasannya soal akumulasi terhadap pelanggaran hak kampanye itu harus, misalnya, menyertakan visi misi dalam iklan kampanye. Kita tidak akan pernah menjumpai pelanggaran kampanye di TV atau di media cetak. Mau Perludem laporan setiap hari pasti gagal terus itu.
Tidak mungkin ada sebuah iklan politik yang akan menyampaikan visi misi mereka secara verbal. Contoh, rokok Marlboro itu, untuk meyakinkan bahwa merokok Marlboro itu gagah, itu tidak harus dengan tagline, “rokoklah Marlboro, Anda akan gagah,†tapi cukup dengan simbol kuda. Ini nonverbal.
Tren komunikasi ini yang harus ditangkap oleh penyelenggara pemilu saat nanti harus merumuskan apa yang dimaksud dengan penyampaian visi misi dalam iklan politik atau kampanye. Jika ini tak diubah, tak akan ada lagi iklan politik yang akan dijerat atas nama akumulatif itu; menyampaikan pesannya secara verbal sesuai dengan yang dilaporkannya di KPU.
Soal pelaporan dana kampanye, ini sudah menjadi perhatian dan sudah relatif transparan. Saya kira KPU sangat transparan, tapi akuntabilitas masih minim. Tidak ada verifikasi dan sebagainya.
Beberapa kecurangan masih terjadi dalam proses pungut hitung…
Kita mengidentifikasi di tingkat KPPS, TPS, PPS, berubahnya jumlah rekap suara itu masif sekali. Kami sudah menghadap KPU untuk merekomendasikan rekapitulasi setelah TPS langsung ke kabupaten. Ini, minimal, mengurangi anggaran saksi desa dan kecamatan. Secara partai, itu efisien. Kemudian, rekap penghitungan langsung dari KPPS ke KPU kabupaten/kota dengan membuat sistem penghitungan yang memanfaatkan teknologi. Â
Secara jaminan, rekapitulasi langsung ini menutup dua pintu orang melakukan kecurangan, yaitu di desa dan kecamatan. Dua kemungkinan orang curang tertutup. Di Perppu itu belum ada. Mudah-mudahan untuk pengaturan pemilu ke depan ada.
Selain kecurangan, ditemukan juga kesalahan catat penyelenggara pemilu di tingkat lapangan. Apa yang Anda tangkap dari fenomena ini?
Kami mencatat beban KPPS dalam pola-pola tugasnya itu berat. Dikurangi bisa enggak? Saya mendengar teman-teman KPPS itu tandatangan sampai ratusan ribu kali dalam satu hari. Honornya 400 ribu, kerjanya tandatangan terus. Satu tandatangan satu rupiah itu nantinya. Ini maksud saya, untuk mengurangi kemungkinan dia capek, lelah, akhirnya enggak sengaja salah, kena kasus DKPP pula. Bisa enggak jika beban mereka disederhanakan? Misalnya, berita acara itu enggak banyak-banyak amat yang harus ditandatangani.
Bagaimana dengan politik uang?
Kampanye dengan memberikan uang masih masif. Di pileg kita temukan 33 persen dari 1005 TPS yang kita pantau. Kita mengandaikan masalah yang timbul di pileg itu ibarat kemarau yang panjang, masalahnya banyak, begitu pilpres, diguyur air hujan sehari selesai. Coba jika dibalik. Seandainya pilpres diselenggarakan terlebih dahulu, dan masalah timbul di pilpres. Saya kira kepercayaan ke KPU bakal terbalik.
Pilegnya bisa jadi masalah. Begitu pilpres, ekspektasi publik banyak terpenuhi. Selain, mungkin, calonnya menang. Praktik politik uang tak terlalu banyak karena rumusnya: semakin besar dapil, semakin kecil politik uang; semakin kecil dapil, semakin banyak politik uang. Itulah sebabnya dalam pileg dan pemilihan kepala desa ada banyak politik uang. Karena dapilnya semakin kecil, perebutannya semakin ketat.
Soal partisipasi, di pileg angkanya meningkat hingga 75 persen. Bagaimana Anda menilai ini?
Ini terkait strategi untuk melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih. Ini ikhtiar KPU sekarang yang seratus persen berbeda dengan yang dilakukan oleh KPU sebelumnya. Kalau KPU sebelum-sebelumnya, sejak 1999, ketika proses-proses mengajak masyarakat untuk terlibat itu berbasis kelembagaan. Jadi kalau ada masalah, lembaganya yang harus bertanggung jawab. Muncullah itu yang kemudian istri-istri polisi, atau apa itu, yang mendapatkan pendidikan pemilih, yang bisa jadi kesehariannya tidak ada urusannya dengan pemilu.
Tapi pada pemilu kali ini, KPU berikhtiar untuk membuat relawan demokrasi. KPU berkaitan langsung dengan orang-orangnya, tidak dalam bentuk lembaga. Sasaran utama dari agen sosialisasi KPU terdiri atas lima rumpun, yaitu anak muda, tokoh agama, perempuan, kaum marjinal, dan penyandang disabilitas. Ini menarik. Kita tinggal menilai saja yang mana yang lebih baik: berkolaborasi kelembagaan atau berkolaborasi individual.
JPPR menjadi salah satu organisasi masyarakat sipil yang turut mengadvokasi kaum disabilitas dalam pemilu. Bagaimana hasilnya?
Yang paling menarik, pertama kali dalam sejarah pemilu di Indonesia, di setiap TPS disediakan alat bantu braille bagi penyandang disabilitas netra. Ini sejarah dalam pemilu kita. Sebelumnya tidak ada, kecuali di beberapa pilkada yang petugas KPU-nya tahu.
Namun, kami menerima masukan dari beberapa orang. Soal disabilitas, kami mendapat informasi bahwa beberapa, dan ini banyak terjadi di daerah-daerah, yang jadi relawan demokrasi untuk penyandang disabilitas adalah pengurus YPAC. Dia nondisabled. Orang-orang dinas sosial, misalnya, bukandisable, tapi memang urusannya mengurusi penyandang disabilitas. Saya juga dapat complain, salah satu ketua penyandang disabilitas dari sebuah kabupaten sudah menghubungi KPU setempat dan ternyata KPU-nya tidak melibatkannya.