Maret 28, 2024
iden

Mada Sukmajati: Partaikrasi, Korupsi Politik, dan Agenda Reformasi Partai

Dosen Ilmu Politik Universitas Gajah Mada (UGM), Mada Sukmajati, merupakan salah satu penulis buku “Pembiayaan Pemilu di Indonesia” yang dipublikasi pada akhir 2018 lalu. Buku tersebut merupakan karya antologi beberapa akademisi, pegiat pemilu, dan jurnalis yang difasilitasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Mada, pada diskusi Pembiayaan Gelap dan Korupsi Politik di Pemilu 2019: Ongkos Mahal Demokrasi di Indonesia di Gondangdia, Jakarta Pusat (28/1), memaparkan hasil risetnya mengenai pembiayaan partai politik, pembiayaan kampanye pemilu, dan pembiayaan politik. Simak selengkapnya melalui format wawancara.

Bapak menulis satu chapter untuk buku Pembiayaan Pemilu di Indonesia. Buku ini telah dirilis pada akhir 2018 lalu, tetapi masih sepi pembahas. Apa pentingnya topik ini untuk didiskusikan oleh publik?

Ya, jadi buku ini masih mengandalkan data pemilu-pemilu sebelumnya, baik pileg (Pemilihan Legislatif) dan pilpres (Pemilihan Presiden), maupun pilkada (pemilihan kepala daerah). Kami sangat concern pada topik ini karena kami merasa topik ini dibicarakan main-main. Padahal, ini topik yang sangat serius. Saya pribadi menduga, masalah politik kita, korupsi politik yang marak terjadi, sumbernya ada di pembiayaan politik yang masih di ruang gelap.

Kalau dari riset Bapak, mengapa terjadi korupsi politik? Apa hubungan antara korupsi politik dengan pembiayaan politik?

Saya sedikit cerita. Di Italia, korupsi politik terjadi begitu sistematis. Mereka menamakan fenomena ini sebagai partitokrasi. Kemarin saya menulis di Jurnalis Prisma mengenai partitokrasi ini, di situ saya berargumen bahwa partitokrasi yang dalam bahasa Indonesia adalah partaikrasi, itu terjadi di Indonesia.

Sebentar. Apa definisi partitokrasi?

Partitokrasi adalah suatu sistem yang berlaku akibat dominasi partai yang luar baisa, mulai dari rekrutmen pejabat publik, kebijakan publik, dan seterusnya. Nah, karena dominasi ini, partai akhirnya membentuk kartel. Kartelisasi menyebabkan korupsi politik yang bersifat endemik, sistemik, dan sulit dibuktikan.

Mengapa sulit dibuktikan?

Karena semuanya terlibat dan menganggap fenomena kartelisasi partai ini sebagai normalitas. Dan juga, karena partai membentuk regulasi dan kebijakan, maka tidak heran regulasi yang dibentuk adalah regulasi yang membuat korupsi politik yang mereka lakukan sulit dibuktikan.

Baik. Bagaimana pandangan Bapak mengenai fenomena partaikrasi di Indonesia?

Menurut saya, partitokrasi di Indonesia bisa dilihat dari tiga dimensi. Pertama, pembiayaan partai politik. Kedua, pembiayaan kampanye. Ketiga, pembiayaan politik. Omong kosong membicarakan korupsi politik tanpa ngomong pembiayaan partai politik. Dan, omong kosong juga membicarakan pembiayaan partai politik tanpa ngomong pembiayaan kampanye.

Pada riset saya, pembiayaan gelap tidak terjadi pada konteks kampanye, melainkan juga dala konteks partai politik. Makanya, adalah agenda yang sangat mendesak untuk mereformasi partai politik. Saya melihat hulunya memang di pembiayaan partai.

Coba lihat kasus Partai Demokrat, Partai Golkar (Golongan Karya), yang pakai politik uang, hasil korupsi juga, untuk menjadi ketua umum partai. Lalu kasus Idrus Marham, indikasinya kan uang suap digunakan untuk memenangkan Idrus sebagai ketua Golkar dalam konvensi partai. Nah, ini harus dibongkar. Agenda reformasi kepartaian salah satunya adalah soal pemilihan kepemimpinan partai. Karena, dari sini sebenarnya praktik politik uang dan korupsi politik terjadi.

Selain itu, politik uang juga terjadi pada proses pencalonan. Ada jenderal kardus. Belum lagi soal menempatkan artis pada nomor urut jadi. Kan masak gak pake duit, yang kadernya sudah lama saja gak dapat nomor urut jadi.

Pembiayaan gelap inilah yang mendorong perlunya reformasi pengelolaan keuangan partai. Saat ini, partai kita dianggap sangat oligarkis. Hanya ketua umum dan bendahara partai yang tahu keuangan partai. Makanya, beberapa kasus korupsi melibatkan bendahara partai.

Jadi, kalau ingin mereformasi partai politik, untuk mencegah korupsi politik yang sulit terjadi akibat partaikrasi, setidaknya tiga agenda itu yang harus kita buka: reformasi pemilihan pemimpin dan pengurus partai, proses pencalonan kandidat dalam internal partai, dan pengelolaan keuangan partai. Tiga hal yang tak jelas ini adalah penyebab pembiayaan partai yang gelap.

Baik, lanjut ke soal pembiayaan kampanye. Bagaimana pembiayaan partai politik yang gelap memberikan imbas kepada pembiayaan kampanye yang gelap?

Begini, sebenarnya fenomena gelapnya pembiayaan kampanye tidak hanya terjadi di Indonesia. Tapi secara global, pembiayaan kampanye juga jadi masalah, termasuk di negara yang demokrasinya sudah mapan.

Hari ini, biaya politik kita semakin mahal.  Dukungan finansial dari akar rumput semakin berkurang, lalu digantikan dengan adanya keinginan bisnis untuk membiayai kampanye calon.

Di buku Biaya Pemilu di Indonesia, kami coba mengupas pembiayaan kampanye pemilu dengan tiga dimensi sederhana. Pertama, biaya yang diperlukan oleh peserta pemilu, baik konteks pilpres, pileg, maupun pilkada. Kedua,  sumber sumbangan dana kampanye. Ketiga, alokasi dana kampanye dan cara mengelola dana kampanye.

Nah, dari tiga dimensi ini, ada beberapa temuan menarik. Dari dimensi penerimaan dana kampanye, kami menemukan fakta bahwa sumber pembiayaan pemilu semakin bergantung pada pembiayaan dari individu. Dalam pilkada misalnya, partai politik pengusung tidak memfasilitasi apapun. Calon dilepas.

Dari dimensi pengeluaran, para calon mengalokasikan dana kampanye untuk biaya iklan di media massa. Pengeluarannya sangat besar. Televisi masih dianggap sangat strategis untuk memobilisasi dukungan. Konteks Pemilu 2019, saya dengar spot iklan di TV sudah habis. Jadi, sejak jauh hari slot iklan sudah dibeli  oleh peserta pemilu.

Alokasi lain yang lebih besar dari iklan adalah untuk politik uang. Di buku Pembiayaan Pemilu di Indonesia, kami mengundang Burhanudin Muhtadi untuk memperkaya teori politik uang. Burhan memandang bahwa politik uang terjadi karena kandidat yang lain melakukan politik uang. Jadi, kandidat lain ikut-ikutan. Nah, terhadap teori ini, Bawaslu penting untuk segera meredam sekecil apapun praktek politik uang agar tidak menjadi collective action.

Selain politik uang, dana kampanye dialokasikan untuk mahar politik. Di pilkada, besaran mahar ditentukan oleh harga kursi di parlemen daerah. Misal, partai punya lima kursi. Satu kursi dihargai 350 juta.  Jadi, untuk dapat dukungan dari partai itu, calon harus membayar mahar sebesar 1,75 miliar rupiah. Ada formula lainnya. Misal, hitung-hitungannya adalah saksi di TPS (Tempat Pemungutan Suara). Memang bagi partai, saksi harus dibiayai calon, partai gak mampu membiayai.

Terakhir, dari dimensi pengelolaan, ada yang formal dan informal. Pengelolaan formal untuk kepentingan pelaporan dana kampanye, pelaporan informa untuk internal. Nah, riset kami, laporan formal itu tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya. Di pilkada, besaran di laporan pengeluaran dana kampanye, realitasnya sepulih sampai lima belas kali lipat.

Jadi, kami bertanya kepada responden. Dia mengatakan bahwa pengeluaran dana kampanyenya sekitar 7 miliar rupiah. Tapi dia melaporkan hanya sekitar 900 juta. Ada juga responden lain yang mengatakan 1 miliar rupiah, tapi ternyata realitasnya sampai 15 miliar rupiah.

Bawaslu, makanya jangan percaya dengan laporan formal!

Baik. Secara garis besar, pembiayaan partai politik dan kampanye pemilu menyebabkan korupsi politik, dan korupsi politik ini dimungkinkan karena melembaganya partaikrasi. Lalu apa rekomendasi Bapak untuk reformasi partai yang banyak didengungkan oleh para pegiat demokrasi?

Pertama kita harus mendiskusikan, partai politik ini, mau kita jadikan public goods atau private goods? Kalau public goods, dia layak untuk mendapatkan pembiayaan, dan dia wajib mempertanggungjawabkan.

Kedua, perumusan pembiayaan kampanye. Ini sangat penting. Menurut saya, Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) atau apa harusnya punya kajian tentang standar, bahwa kalau pilkada diselenggarakan di daerah Jawa Timur misalnya, yang layak itu berapa biayanya. Untuk pileg juga seperti itu. Pendataan seperti ini selama ini tidak ada sehingga pasar bebas terjadi. Akhirnya, gelap-gelapan.

Antar lembaga harus bersinergi. Kami masyarakat sipil berharap, reformasi partai menjadi agenda yang lebih serius.