December 24, 2024

Marcus Mietzner: “Kudeta Demokrat” Gambaran Krisis Demokrasi Koalisi Super Mayoritas Indonesia

Associate Professor Australian National University (ANU), Marcus Mietzner, pada diskusi “Kudeta Demokrat: Otoritarianisme Pemerintah?” Jumat (12/3) memberikan pendapatnya mengenai kasus yang terjadi pada Partai Demokrat dan kaitannya dengan demokrasi Indonesia. Marcus menilai Pemerintah semestinya tak memiliki wewenang untuk menentukan legalitas kepengurusan partai politik, bahwa super koalisi yang terjadi di Indonesia merupakan fenomena yang tak terjadi di negara lain, dan beberapa kemungkinan situasi demokrasi Indonesia ke depan. Simak selengkapnya dalam format wawancara.

Bagaimana pandangan Anda terhadap pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi periode kedua yang didukung oleh 82 persen partai politik di DPR?

Memang, Jokowi dalam pemerintahannya sejak 2014 berhasil memperbesar (dukungan) mayoritasnya di DPR. Dari awal minoritas 30-an persen, sekarang ke 82 persen. PAN (Partai Amanat Nasional) tidak beroperasi lagi sebagai oposisi. Omnibus Law, PAN ikut pemerintah. Jadi sebenarnya saat ini, 82 persen partai di DPR mendukung pemerintahan.

Dalam ilmu politik, ini disebut super mayoritas. Dalam demokrasi, sulit dicari sistem demokrasi yang mempunyai super mayoritas yang mirip seperti Indonesia.

Dari pengamatan Anda, bagaimana cara Presiden Jokowi memperbesar dukungan partai politik untuk pemerintahannya?

Ada dua kasus yang harus dibedakan. Ada beberapa partai yang masuk secara sukarela. PAN di 2016 masuk tanpa paksaan. Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) juga masuk di 2019 tanpa permainan dari pihak luar. Menurut Slater, partai politik ingin masuk ke dunia kekuasaan dengan bergabung dengan pemerintah untuk dapat bagian dari bagi-bagi kekuasaan, bagi-bagi uang, anggaran.

Tetapi, ada partai politik yang memang masuk ke pemerintahan Jokowi secara tidak sukarela. Ada unsur pemaksaan dari luar. Demokrat, jika kepengurusan yang diakui legal adalah yang versi KLB (Kongres Luar Biasa), maka ia masuk ke koalisi pemerintahan bukan sukarela, tapi ada paksaan untuk masuk ke pemerintah. Kan pemerintah diberikan wewenang untuk menentukan legalitas kepengurusan partai politik.

Jadi, maksud Anda, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dapat memaksa partai politik untuk masuk menjadi bagian dari Koalisi?

Sumber dari persoalan itu adalah kewenangan pemerintah untuk menentukan legalitas pimpinan suatu partai politik. Itu menjadi alat untuk memaksakan penggantian pimpinan partai supaya pimpinan itu berganti dari antipemerintah menjadi propemerintah.

Kasusnya, pada 2015 dan 2016 dengan Golkar (Golongan Karya) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Dua partai politik ini sebenarnya dari pimpinannya bersedia untuk mengisi peran sebagai partai oposisi, tapi karena ada manipulasi dari luar, pimpinan oposisi itu diganti dengan pimpinan propemerintah.

Jadi, di Golkar itu sangat jelas, Bakrie mendukung Prabowo pada Pemilu 2014. Lalu muncul faksi lain yang pro-Jokowi, yang kemudian diakui oleh pemerintah sebagai representasi legal, walaupun akhirnya kalah di MA. Itu yang dijadikan momentum untuk menggantikan pimpinan partai yang sebenarnya mau berada di luar pemerintahan. Pada saat itu Golkar. Setelah diganti dengan ketua umum yang propemerintah, langsung masuk ke pemerintahan. Ini semua merupakan langkah Jokowi membentuk koalisi dari minoritas menjadi mayoritas.

Kasus yang sama terjadi di PPP. Di bawah pimpinan Suryadarma Ali di 2014, PPP mendukung Prabowo. Dengan  segala macam permainan yang memakai alat kewenangan untuk menentukan siapa pemenang di partai, kemudian PPP mendukung Jokowi. Jadi, Jokowi tidak ragu-ragu menggunakan kewenangan itu baik di kasus Golkar maupun PPP.

Sekarang Jokowi melakukan hal yang sama dengan Partai Demokrat agar Partai Demokrat masuk menjadi koalisi pendukung pemerintah?

Kasus Partai Demokrat itu tidak baru sebetulnya. Hal yang sama muncul waktu Kongres Partai Demokrat tahun 2015 di Surabaya. Waktu itu, saya hadir di situ.

Menjelang kongres, muncul kabar bahwa pemerintah ingin menggantikan pimpinan Partai Demokrat. Ada suara yang sama dengan sekarang, bahwa Pak SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) sudah lewat, harus ganti dengan yang baru, harus menyelamatkan Partai Demokrat.

Pada saat itu di Surabaya, SBY minta sebenarnya, kalau dia berhasil mengundang Jokowi untuk membuka kongresnya, berarti legalitas kongres itu tidak bisa diganggu gugat. Dia berusaha keras untuk mendatangkan Jokowi ke kongres itu. Awalnya Jokowi tidak mau, tapi akhirnya datang juga.

Waktu itu ada perannya Ruhut Sitompul, karena Ruhut dekat dengan Jokowi, akhirnya dia berhasil datangkan Jokowi ke Surabaya. Jokowi membuka kongres. Dengan demikian, pemerintah tidak bisa mengatakan kongres itu tidak legal di kemudian hari. Di situ SBY masih berhasil. Tapi pada saat itu sudah ada isu yang menggoyahkan Demokrat. Kita (Partai Demokrat) tidak mau di-Golkar-kan. Maksudnya, memakai perselisihan di partai untuk kesempatan intervensi luar partai mengganti pimpinan partai yang propemerintah. SBY saat itu sudah curiga akan dipakai untuk Demokrat, tapi pada saat itu tidak jadi.

Nah, sekarang di tahun 2021, kasusnya muncul lagi.

Pemerintahan Pak Jokowi telah didukung oleh 82 persen partai di DPR. Mengapa masih memerlukan Partai Demokrat?

Itu pertanyaan yang saya juga tidak tahu jawabannya. Spekulasi yang muncul dari berbagai pihak, Partai Demokrat mau dipakai untuk periode ketiga dalam sidang MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Memang ini sangat aneh. Dalam konstelasi partai politik di mana pemerintahan Jokowi punya super mayoritas, tapi masih dianggap kurang.

Pak Mahfud mengatakan presiden sebenarnya tidak tahu Moeldoko akan ke Sumut (Sumatera Utara) untuk jadi ketum (ketua umum). Presiden kaget Moeldoko jadi ketum. Pertanyaan saya, kok kaget? Ini kan selama sebulan sudah dibicarakan. Kami di Australia saja tahu Moeldoko mau dijadikan ketum.

Jadi, cuma ada dua kemungkinan di sini dari presiden yang mengklaim tidak tahu. Dua kemungkinan itu sama-sama buruk. Pertama, presiden tahu dan membiarkan atau malah mendukung. Kedua, presiden tidak tahu dan tidak melakukan intervensi, tetap membiarkan. Itu juga buruk. Kalau memang seorang presiden tidak tahu bahwa kepala stafnya sedang berusaha mengambil alih pimpinan suatu partai, kita harus tanya kenapa presiden tidak ingin tahu. Atau kalau sudah diberi tahu kenapa tidak memecat?

Di Amerika Serikat, tidak akan terjadi ini. Ada kepala staf presiden akan membentuk partai baru atau akan mengambil alih pimpinan partai yang sudah ada, tanpa sepengetahuan presiden.

Nah, walaupun mungkin Jokowi bukan penggagas semua ini, tapi dia menikmati hasilnya. Jadi, kasus ini ada unsur intervensi dari pemerintah untuk menentukan legalitas pimpinan partai yang menurut saya, tidak layak dia pegang. Kewenangan ini semestinya diberikan ke lembaga lain, misalnya Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) atau KPU (Komisi Pemilihan Umum). Pemerintah jangan punya kewenangan ini. Di negara lain tidak ada yang punya kewenangan untuk menentukan siapa yang menjadi pimpinan legal dari suatu parpol.

Kemenkumham, yang menterinya dari parpol, adalah pesaing dari Partai Demokrat. Ini tidak bisa. Manipulasinya sudah terbentuk di dalam regulasi itu sendiri. Jadi harus diberikan ke suatu lembaga yang lebih netral seperti KPU.

Yang harus menentukan siapa yang diterima sebagai representasi legal dari parpol adalah KPU. Mereka yang putuskan mereka terima pendaftaran dari siapa.

Persoalannya hari ini, pemerintah yang pertama menentukan, dan dia menarik-narik itu di proses pengadilan sampai satu dua tahun. Selama satu dua tahun, kubu pemerintah akan diakui oleh pemerintah. Itu yang dinginkan pemerintah dalam kasus ini.

Jika Kemenkumham menyatakan legal pimpinan Partai Demokrat versi KLB, dan bahwa Moeldoko propemerintahan karena dia juga seorang kepala Kantor Staf Presiden (KSP), berarti 91 persen partai di DPR mendukung pemerintahan Jokowi. Apa pembacaan Anda terhadap hal ini? Apa yang dapat dilakukan presiden dengan dukungan 91 persen partai di DPR?

Kalau DPR sudah dikuasai 91 persen, berarti mayoritas 2 per 3 untuk perubahan konstitusi sudah dipegang.

Jokowi pernah mengatakan tidak tertarik dengan periode ketiga. Tapi di dunia, di Amerika Selatan, ada beberapa presiden yang awalnya mundur sesuai konstitusi, akhirnya maju juga. Jadi, jangan terlalu naif kalau presiden bilang dia tidak tertarik untuk periode ketiga. Karena kasusnya sebenarnya, kalau dia ingin maju untuk periode ketiga, saya sudah bisa bayangkan narasinya, karena Covid, belum berhasil menyelesaikan tugas, belum berhasil memindahkan ibukota, jadi dia minta kesempatan untuk menyelesaikan tugas. Itu selalu terjadi di mana-mana.

Tapi ini hanya spekulasi. Tapi kok ini yang diurus? Partai Demokrat kan tidak ada apa-apanya. Demokrat tinggal 8 persen suara. SBY sudah tidak terlalu aktif lagi. AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) tidak terlalu populer. Jadi untuk apa ini diganggu gugat. Alasan itu yang kita mau cari.

Jika Partai Demokrat tidak ada apa-apanya, mengapa Moeldoko mau mengambil alih Partai Demokrat?

Dari pihak Moeldoko, kita gampang memahami motivasinya. Dia seseorang yang tidak populer. Ada survei yang menunjukkan dukungan dia sebagai calon presiden di 2024 benar-benar nol. Dia tidak punya kendaraan politik. Nah ada kesempatan di sini dia ambil. Tapi, di sini menunjukkan Moeldoko tidak punya visi politik yang tajam. Karena, kalau dia perhatikan, belum pernah ada transisi yang sukses dari orang yang mendirikan partai kepada orang yang menggantikan itu.

Salah satunya Hanura (Hati Nurani Rakyat), dibentuk Wiranto, dijual ke OSO (Oesman Sapta Odang) dan mati. Kasusnya akan persis terjadi di sini kalau Moeldoko berhasil diakui sebagai ketua Partai Demokrat. Tidak ada yang pilih di 2024. Karena brand-nya Partai Demokrat itu keluarga Yudhoyono. Jadi, para pemilih Demokrat tidak akan pilih orang yang sama sekali tidak didukung atau dibenci oleh SBY.

Saya bisa jamin, kalau Partai Demokrat diambil Moeldoko, Partai Demokrat menjadi mati atau hanya 1 atau 2 persen. Jadi, sebenarnya, tujuan dari semua ini adalah penghancuran Partai Demokrat, bukan pengambilalihan Partai Demokrat untuk Moeldoko di tahun 2024. Tidak ada skenario sama sekali dia akan sukses menjadikan Partai Demokrat menjadi partai besar. Mereka sebenarnya sudah tahu itu. Ini untuk menghancurkan keluarga Yudhoyono, prospek politik mereka pada 2024.

Walaupun, prediksi saya, SBY dan AHY akan menang di Mahkamah Agung. Tapi itu pun, dengan kekacauan yang ada sekarang, mengurusnya harus ke pengadilan, lalu ada orang yang pindah atau dipecat. Ini semua sudah cukup untuk membuat kerusakan politik bagi Partai Demokrat, dan cukup menghambat AHY ke arena politik di 2024. []

AMALIA SALABI