November 28, 2024

Max Lane: Politik Kelas Harus Diaktifkan Masif di Pemilu

Indonesianis, Max Lane banyak menulis hubungan antara gerakan massa dan keterkaitannya antara transisi orde pemerintahan menyertai pemilu. Dosen politik internasional di Victoria University ini pernah menulis “Malapetaka di Indonesia” yang menjelaskan, kontestasi Pemilu 1955 yang ideologis, pemerintahan terpilihnya digantikan melalui intervensi militer. Setelah tragedi 30 September 1965, pemilu tak lagi menyertai ragam ideologi. Baru setelah Reformasi, kebebasan politik bisa kembali menampung ragam ideologi di pemilu. Sayangnya, intervensi kuasa kapital semakin menguatkan pragmatisme partai dan parlemen sehingga pemilu jauh dari makna demokrasi itu sendiri: dari, oleh, dan untuk rakyat.

Pungut hitung Pemilu Legislatif 2014 sudah berlalu. Rumahpemilu.org mewawancarai Max Lane tentang pandangannya mengenai Pemilu 2014, demokrasi, dan kemungkinan gerakan alternatif yang mesti dibangun dari bawah. Berikut hasil wawancara jurnalis rumahpemilu.org, Maharddhika dengan Max Lane selepas diskusi “Pemilu 2014 dan Kebangkitan Kekuatan Alternatif” di kampus FISIP, Universitas Indonesia (16/5).

Bagaimana penilaian Anda terhadap Pemilu Legislatif 2014?

Saya pikir hasil pemilu lumayan mencerminkan sikap di publik terhadap partai-partai. Ada 180 juta orang terdaftar sebagai pemilih. Ada 5-10 juta orang yang seharusnya mendaftar tapi tidak dapat mendaftar. Kira-kira ada 70-an juta yang tak memilih. Tidak ada partai yang mereka suka sehingga terjadi pengasingan publik dari partai.

Hasil jumlah suara untuk masing-masing partai juga mencerminkan itu. Partai yang menang dapat 18 persen. Partai yang menang itu 30 sampai 40 persen. Bukan menang dengan 18 persen. Itu menunjukkan tidak ada satu partai pun di Indonesia yang disukai orang banyak.

Dua faktor itu—70-an juta yang tak memilih dan suara partai sedikit—mencerminkan bahwa rakyat Indonesia tak ada yang betul-betul semangat menyukai partai. Itu juga menjadi salah satu faktor yang menunjukkan bahwa situasinya sangat terbuka untuk membangun partai baru. Kaum muda sebagai pasukan pencerahan harus ada dan bersolidaritas berinteraksi dengan gerakan serikat buruh yang sudah berkembang riil di Indonesia.

Adakah perbedaan yang bisa diciptakan dari Pemilu Legislatif 2014 bagi ekonomi?

Kita bisa lihat, dalam waktu-waktu belakangan, setiap partai sanggup berkoalisi dengan siapapun. Itu menunjukkan tak ada perbedaan besar di antara partai. Kebanyakan partai yang ada adalah partai yang selama ini bagian dari pemerintahan: PKB, PAN, Golkar, dan PKS. Koalisi ke depan, apakah itu presidennya Prabowo atau Jokowi, sebagian partai di parlemen akan sama dengan partai yang ada di pemerintahan sekarang.

Saya melihat semua partai perspektifnya sama tentang ekonomi. Program ekonominya akan sama dengan sekarang dan tak akan memberikan perbaikan berarti bagi rakyat Indonesia. Mungkin untuk kalangan menengah dan menengah atas akan ada perbaikan. Mungkin juga ada orang yang bisa masuk kelas menengah. Namun, untuk 200 juta orang miskin, saya kira tidak akan ada perbaikan.

Bagaimana pengaruh Pemilu Legislatif 2014 bagi gerakan alternatif? Apakah gerakan akan bergantung pada yang berkuasa?

Kita takutkan orang yang berlatar-belakang militer dan pelanggaran HAM berat. Jika berkuasa, bisa menjadi ancaman yang berbahaya. Jawabannya sekarang adalah membangun kesadaran dan organisasi di masyarakat. Potensi gerakan alternatif besar sekali. Situasi objektifnya memungkinkan ada gerakan besar, tapi bergantung pada kaum muda. Mahasiswa, wartawan, guru, dosen, intelektual, dan aktivis bisa bersatu melancarkan perkembangan respon situasi atau justru menunggu melihat apa yang akan terjadi.

Dulu teman-teman muda berinisiatif di Partai Rakyat Demokratik (PRD), bagaimana Anda menilai gerakan ini?

Saya lihat PRD tak gagal, tapi sangat berhasil. Seorang penguasa otoriter bisa jatuh dengan macam-macam cara. Bisa jatuh diganti lancar oleh anaknya atau temannya, tapi di Indonesia Soeharto terpaksa diturunkan dalam suasana gerakan mahasiswa yang besar, suasana keresahan masyarakat yang militan, dan suasana agenda Reformasi. Itu keberhasilan yang besar sekali. Berdiri pada tahun 1996 dan menjatuhkan Soeharto pada tahun 1998 itu satu keberhasilan yang fenomenal. Soeharto di-backing tentara, sementara PRD dan mahasiswa tidak punya senjata.

Tapi, hingga kini PRD tidak bisa hadir di parlemen. Apakah Anda menganggap ini kegagalan?

Kalau dikatakan gagal kemudian, buat saya itu terlalu keras dan tak adil menghakiminya. PRD secara riil berdiri tahun 1996, sementara Soeharto jatuh pada tahun 1998. PRD hanya punya tiga tahun untuk membangun dirinya. Tak mungkin. Maklum saja, organisasi ini hampir seluruhnya terdiri atas mahasiswa dan terbilang masih muda—baru bangun 3 tahun. Organisasi ini juga tak punya resources keuangan yang memadai. Memang itu membutuhkan perjuangan lama lagi.

Jika dibandingkan dengan partai yang baru waktu itu dan bisa masuk parlemen dan terus berlanjut hingga sekarang, apa yang takdilakukan PRD untuk bertahan di parlemen?

Partai atau organisasi yang bisa bertahan adalah partai yang menyetujui struktur-struktur ekonomi dan politik yang ada. Lebih gampang memelihara kehadirannya di politik kalau memang ikut arus. Membangun partai baru yang ikut arus berbeda dengan membangun gerakan politik yang melawan arus. Membangun gerakan yang melawan arus jauh lebih sulit. Apalagi 2000—2010 belum ada fenomena seperti munculnya serikat buruh. Kalau cuma aktivis saja yang bergerak, yang bisa dilakukan sangat terbatas. Kalau aktivis plus kekuatan sosial yang bisa dilakukan bisa berbeda.

Apa yang menyebabkan pemilu berikutnya tak menghukum kuasa sisa Orde Baru?

Kekuatan yang bergerak di politik hanya elite. Elite memang harus cari suara dari rakyat—suara di TPS. Selama tak ada kekuatan sosial yang bergerak, tak akan berubah. Selama rakyat miskin yang 200 juta itu, atau mungkin 235 juta, tak hadir di politik sebagai pelaku dan kekuatan, tak mungkin berubah.

Hasil sejarah selama ini adalah menciptakan vakum yang berarti ketakhadiran kelas rakyat miskin, buruh dan tani. Ketakhadiran kelas proletar. Mengakui ketakhadiran itu adalah awal dari semua analisis. Yang dihadapi Indonesia bukan melawan adanya kooptasi terhadap gerakan, tetapi mengisi ketakhadiran kelas tersebut. Kevakuman yang terlahir karena Orde Baru membutuhkan kehadiran kembali kelas proletar Indonesia dalam politik.

Kalau vakum ini diisi, seluruh elit akan takut setakut-takutnya. Elite sudah 40 tahun tak terbiasa menghadapi kehadiran yang memperjuangkan sekedar program redistribusi maupun demokrasi. Elite akan takut, akan melawan, tidak akan terima. Kalau vakum itu mulai diisi dengan gerakan besar dengan program redistribusi dan demokrasi untuk ke program sosialisme, hal itu dapat memecahkan masalah rakyat dan harus menghapuskan kapitalisme.

Lalu bagaimana bisa mengisi vakum ini dan menghadirkan kembali gerakan alternatif?

Kehadiran kelas rakyat miskin di politik harus sebagai pelaku. Juga diperlukan program atau platform sebuah persatuan yang bisa mengantar, memicu, membantu, atau melancarkan. Mungkin programnya masih mulai dengan redistribusi dan demokrasi. Dengan basis objektif yang ada sekarang, bisa berkembang dengan cepat. Membangun organisasi kader yang punya program yang komprehensif dan radikal itu satu tantangan. Gerakan riil yang sudah muncul dan melibatkan jutaan orang itu untuk sementara ini harus menjadi titik awal.

Ini adalah tentang masalah membangkitkan gerakan politik massa yang masif—yang harus jutaan orang. Itu mengapa saya menekankan bahwa kita harus melihat perkembangan-perkembangan riil. Dan perkembangan yang paling menentukan adalah munculnya gerakan serikat buruh yang bisa menggerakan ratusan ribu bahkan jutaan orang. Harus melihat ke sana dulu. []