August 8, 2024

Memilih Orang Baik

“Wah. Percuma mas. Sistemnya udah rusak. Siapa yang kepilih, sama aja.”

Kalimat itu merupakan jawaban tukang ojek yang biasa mangkal di Tebet Timur IV, Jakarta Selatan. Ia ditanya, “pilih partai apa nanti di Pemilu 2014?” Si tukang ojek mengaku sebagai aktivis dan ikut bergerak saat Reformasi 98. Ia sebutkan nama-nama pemuda yang dinilai idealis revolusioner saat itu, kini malah menjadi orang partai besar yang berdasar kacamata Reformasi pilihan politik mereka sulit dimengerti.

Kita boleh setuju dengan pernyataan itu. Tapi ada beberapa catatan terhadap sikap tak memilih di pemilu. Pertama, kita perlu sadar, jika tak memilih maka pemilu tetap berlangsung untuk mengisi pemerintahan yang dinilai rusak sistemnya. Kedua, jika tak melalui pemilu, lalu dengan cara apa kita mengisi pemerintahan? Ketiga, taruhlah kita semua sepakat tak usah dengan pemilu untuk mengisi pemerintahan, lalu siapa yang berhak menunjuk orang-orang tertentu untuk mengisi pemerintahan dan siapa pengisi pemerintahan yang bisa diterima rakyat banyak?

Catatan tersebut menempatkan golput, atau tak menggunakan hak pilih, menjadi sikap yang tak strategis. Kalau pun kita menilai sistem pemerintahan rusak, golput bermakna sikap pasif terhadap keadaan yang belum baik. Maka memilih orang “baik” untuk memperbaiki sistem pemerintahan yang rusak menjadi kebutuhan mendesak.

Pakar hukum tata negara, Saldi Isra menyimpulkan, tata negara tak baik saat ini menempatkan partai sangat mungkin menjadi kekuatan yang sulit dikontrol. Salah satu poros kuasa partai ada dalam parlemen tempat orang-orang peserta pemilu akan berada.

Untuk itu, kampanye yang bersifat massif dan terstruktur diperlukan, terutama dalam menyampaikan jejak rekam partai dan caleg peserta pemilu. Diperlukan kerja keras membukakan mata pemilih untuk tak lagi memilih partai dan orang-orang yang telah berkhianat pada rakyat beserta hasilkan pemerintahan yang menurut tukang ojek di atas sebagai sistem yang rusak.

Perspektif menilai “baik”

Pertanyaannya, bagaimana menilai seorang caleg sebagai orang baik? Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan profil caleg. Profil umumnya berisi riwayat pendidikan dan pekerjaan. Sederhananya memang kita bisa mulai menilai baik caleg dari dua variabel itu.

Jika ingin lebih jauh menilai caleg sebagai orang baik, kita memerlukan perspektif untuk menilai permasalahan bidang apa yang perlu diperbaiki melalui undang-undang beserta alokasi anggarannya. Apakah caleg yang akan kita pilih akan menyelesaikan masalah yang menurut kita penting diutamakan.

Antikorupsi baik menjadi perspektif yang kita sertakan. Mengingat kewenangan parlemen sekarang beserta relasi partai di dalamnya, tak tertutup kemungkinan poros kuasa ini terperangkap ke dalam postulat yang pernah dikemukakan Lord Acton: power tends to corrupt,absolute power corrupt absolutely. Memilih partai dan caleg yang relatif punya semangat antikorupsi bisa mengurangi potensi tersebut.

Indonesia Corruption Watch (ICW) telah membuat peringkat partai terkorup di akhir 2012. Transparency International Indonesia pun membuat peringkat partai transparan di awal 2013. Data partai itu perlu dipertimbangan dengan daftar nama caleg yang oleh ICW dikategorikan sebagai caleg yang tak mendukung pemberantasan korupsi. Cari, siapa mantan koruptor? Siapa yang namanya pernah disebutkan sebagai orang terlibat dalam kesaksian persidangan pada kasus korupsi?

Antikorupsi merupakan salah satu perspektif untuk memilih caleg Pemilu 2014. Masih banyak perspektif lain yang juga perlu disertakan atau mungkin lebih diutamakan.

Hak asasi manusia (HAM) penting disertakan bagi kita yang menyayangkan makin dilupakannya pengadilan terhadap kejahatan yang menggunakan kewenangan negara (extra ordinary crime). Feminisme genting hadir karena perempuan berdasar tubuhnya belum mendapatkan akses keadilan pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Environmentalisme bisa lebih mendesak saat lingkungan semakin rusak menyertai hilangnya hak milik tanah orang banyak. Keberpihakan terhadap kaum disabilitas. Pluralisme untuk memenuhi hak warga negara beridentitas diri minoritas. Nasionalisasi barang publik seperti air, tanah dan tambang sangat strategis saat pemerintah bersama rakyatnya tak punya kemandirian berdasar undang-undang. Semuanya perspektif tersebut perlu dimengerti dan dipertimbangkan menjadi dasar menentukan pilihan.

Tak sulit mencari orang “baik” untuk mewakili rakyat di parlemen. Bagi kita yang dekat dengan akses internet kita gunakan Google untuk membahas perspektif tersebut dalam pencarian. Bagi kita yang suka diskusi, perbincangkan perspektif tersebut dengan orang-orang yang dekat dengan perspektif tersebut. Kaitkan dengan partai atau orang-orang yang mencalonkan sebagai peserta pemilu.

Bisa jadi tak ada caleg ideal di penyelenggaraan pemilu dan sistem politik/pemerintahan yang belum ideal ini. Mungkin tak ada caleg yang lepas bersih dari kejahatan berdasar perspektif yang kita rumuskan. Tapi sangat mungkin ada orang yang relatif baik untuk kita pertimbangan sebagai sasaran pilih di pemilu. Silahkan. Masih ada waktu untuk memandang positif dan optimis Pemilu 2014 berjalan baik menghasilkan pemerintahan baik dengan diisi orang-orang “baik”.

Jadi, “Pilih (caleg) partai apa nanti di Pemilu 2014?”. Sebelum kita lempar pertanyaan itu pada orang lain, tanya dulu diri kita. []

USEP HASAN SADIKIN