November 15, 2024

Mendukung Terobosan KPU Melarang Koruptor Nyaleg

Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 20/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD yang didalamnya terdapat larangan koruptor mencalonkan dinilai sejumlah pihak sebagai terobosan. KPU tak hanya berperan mencegah korupsi politik tapi juga menjamin konsistensi regulasi pemilu serentak yang melarang mantan koruptor mencalonkan di semua bentuk kepesertaan pemilu. Larangan ini pun mendapat dukungan pegiat hak asasi manusia.

Pada Bagian Ketiga Persyaratan Bakal Calon, Pasal 7 ayat (1) bertuliskan, bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:

Ada 20 persyaratan menjadi caleg DPR/DPRD. Salah satunya pada syarat huruf h bertuliskan, bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.

“Semua partai politik wajib mematuhi peraturan tersebut. Ini pedoman bagi penyelenggara pemilu dan peserta pemilu dalam menjalankan (tahapan pencalonan) pemilu,” kata Arief Budiman di Jakarta (2/2018).

Koordinator Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Faris berpendapat, kepastian KPU melarang mantan koruptor mencalonkan sebagai anggota DPR/DPRD ini merupakan bukti terobosan KPU yang berkomitmen dalam pencegahan korupsi. Selama Mahkamah Agung tak membatalkannya, semua harus mematuhinya.

“Kita semua harus mendukung langkah KPU ini. Sejumlah pihak sudah menyetujui dan menghormati. Sejumlah partai politik sudah. Presiden juga sudah.” kata Donal (3/7).

Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menegaskan dukungan kepada KPU. Menurutnya, PKPU 20/2018 merupakan bentuk penyempurnaan konsistensi UU No.7/2017 dalam pemilu serentak. Undang-undang yang digunakan dalam Pemilu 2019 ini melarang mantan koruptor mencalonkan sebagai presiden/wakil presiden.

“Anehnya mantan koruptor tetap boleh nyaleg DPR/DPRD. Padahal undang-undangnya sama. Pemilu serentak yang menggabungkan pemilu presiden dan parlemen membutuhkan perlakuan hukum yang sama, termasuk dalam kepesertaan,” kata Titi.

UU No.7/2017 Bab Peserta dan Persyaratan Mengikuti Pemilu terdapat ketentuan yang melarang mantan koruptor mencalonkan sebagai presiden/wakil presiden, Pasal 169 huruf d. Tapi, larangan ini tak ada dalam persyaratan caleg DPR/DPRD.

Soal melanggar HAM dan tindak pidana berat/luar biasa

Ketua Panitia Khusus (Pansus) UU Pemilu, M. Lukman Edy menginfokan, dalam perumusan undang-undang pemilu ada perdebatan saat memasukan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Istilah dalam UU Pemilu, kejahatan luar biasa adalah tindak pidana berat. Menurut Edy, yang menolak larangan koruptor nyaleg, beralasan karena melanggar HAM.

“Apakah korupsi adalah kejahatan luar biasa? Selama ini kejahatan luar biasa bentuknya adalah genosida. Lalu ditambah terorisme, bandar narkoba, dan pedofilia. Kita seharusnya melakukan terobosan bahwa korupsi juga termasuk kejahatan luar biasa,” kata anggota DPR Fraksi Partai Kebangkita Bangsa ini (6/4).

Memasukan bentuk kejahatan luar biasa sebagai syarat pencalonan pemilu ini bukan merupakan pelanggaran HAM, khususnya hak dipilih sebagai hak politik. Koordinator Peneliti Imparsial, Ardi Manto Adiputra mengatakan, pelarangan suatu bentuk kejahatan amat dalam pencalonan pejabat politik bisa dibutuhkan. Tujuannya untuk perlindungan HAM yang lebih luas.

“Misal, pelaku genosida biasanya adalah pejabat politik yang punya kewenangan besar bernegara. Wajar jika pelaku kejahatan amat berat ini dilarang mencalonkan lagi sebagai pejabat politik,” kata Ardi.

Ardi pun menjelaskan, secara teknis hukum, istilah tindak pidana berat merupakan kejahatan yang dihukum minimal 5 tahun. Koruptor biasanya dihukum lebih dari 5 tahun dan kalau pun kurang dari 5 tahun ada permasalahan dalam penegakan hukumnya. Jadi, melarang koruptor nyaleg DPR/DPRD merupakan kewajaran dan tak melanggar HAM.

Di saat Ketua Pansus UU Pemilu yang juga elite parpol serta aktivis HAM menilai pelarangan koruptor nyaleg bukan pelanggaran HAM, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) malah menilai larangan koruptor nyaleg sebagai pelanggaran HAM. Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar mengatakan, melakukan pelanggaran HAM jika tetap melarang mantan koruptor menjadi caleg di pemilu 2019.

“Apakah KPU dapat melakukan sesuatu di luar intensi pembuat UU? Apabila KPU masih melakukan itu, bagi saya, KPU telah melakukan pelanggaran HAM berat di mana menghilangkan hak orang untuk dipilih,” tegas Fritz (5/5) di Jakarta.

Pernyataan Ketua Bawaslu, Abhan pada 2 Juli 2018 menekankan, PKPU hanya ditetapkan KPU, belum disahkan lembar negara. Bawaslu menghimbau parpol untuk tidak mencalonkan mantan koruptor di Pemilu 2019. Terserah parpol mengikuti himbauan Bawaslu atau tidak karena tak ada ketentuannya dalam UU No.7/2017. []

USEP HASAN SADIKIN