Dalam diskursus pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu, isu keterwakilan perempuan mencuat menjadi salah satu isu yang tak bisa disepelekan oleh Panitia khusus (Pansus) RUU Pemilu. Pansus, pada 1 Februari 2017 lalu, mengundang kelompok-kelompok gerakan politik perempuan ke rapat dengar pendapat untuk memberikan masukan terkait kebijakan afirmasi politik perempuan di RUU Pemilu.
Permintaan untuk memasukkan ketentuan perempuan di nomor urut satu di 30 persen daerah pemilihan (dapil) di daftar calon masing-masing partai disambut baik oleh semua fraksi. Nampaknya, pengaturan ini akan “goal”. Namun, yang masih perlu dicemaskan adalah sistem pemilu apa yang akhirnya diadopsi dalam UU Pemilu kita.
Beberapa fraksi, seperti Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Fraksi Partai Golkar, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyetujui ketentuan perempuan di 30 persen dapil di daftar calon, namun dalam sistem proporsional tertutup. Sementara fraksi lainnya, yakni Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Fraksi Partai NasDem, menyetujui ketentuan tersebut dalam sistem proporsional terbuka.
Persoalannya, manakah sistem pemilu yang dapat menjamin terwujudnya keterwakilan perempuan sebesar 30 persen di parlemen? Aliansi Masyarakat Sipil untuk Revisi UU Pemilu (Ansipol), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) meyakini sistem proporsional terbuka adalah solusi tepat untuk memenuhi keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen, tanpa menciderai hak masyarakat untuk menentukan wakil-wakilnya di parlemen.
Anggota Pansus dari Fraksi PKB, Siti Masrifah, mengakui sistem tersebut membantunya meraih kursi di DPR. “Saat saya mencalonkan, saya gak mungkin mengandalkan partai. Semua teman caleg satu partai juga berkompetisi. Jadi, saya benar-benar mengumpulkan modal sosial, mendekati masyarakat,” tukasnya di Senayan. Jakarta Selatan (1/2).
Pengalaman caleg perempuan di pemilu 2004
Ada suatu penelitian milik Shelly Adelina berjudul “Hambatan Calon Legislatif Perempuan dalam Partai dan Sistem Politik Menuju Lembaga Legislatif, Studi Kasus Kegagalan Caleg Perempuan dalam Pemilu 2004” (2006) yang masih relevan untuk menjawab perdebatan soal sistem proporsional terbuka murni sebagai sistem yang adil untuk perempuan, bahkan untuk semua calon legislatif (caleg). Penelitian ini berhasil dipertahankan untuk mendapat gelar master di bidang Gender dan Politik Universitas Indonesia
Shelly, yang sekarang menjabat sekretaris prodi Kajian Gender Pascasarjana UI, melakukan wawancara pada tujuh orang perempuan caleg yang gagal memenangkan kursi parlemen pada Pemilu 2004. Artikel ini hanya akan diangkat pengalaman dari lima caleg, karena satu caleg nampaknya tak diwawancarai secara penuh oleh Shelly dan satu caleg lainnya berasal dari partai yang sama.
Pertama, caleg berinisial MU dari PKB yang dicalonkan di dapil Jawa Barat VII dengan nomor urut dua. MU mengatakan bahwa PKB masih bias patriarki. Rapat harian dilaksanakan pada malam hari, yakni jam delapan hingga larut malam, bahkan dini hari. Hal ini, dinilai MU, memberatkan perempuan anggota partai yang seringkali tak mendapat izin dari suami untuk keluar rumah hingga larut malam. Padahal, kata MU, pengambilan keputusan dilakukan pada akhir rapat.
Mengenai nomor urut, MU mengakui bahwa penempatan nomor urut tidak dilaksanakan secara adil dan terbuka. Pada kasusnya, yang menempati nomor urut satu adalah orang yang tak membina dapil seperti yang dilakukannya.
“Saya sudah bina dapil yang memang dikatakan oleh DPC untuk saya pegang. Tapi, begitu ada orang baru yang telah ditolak di dapil Jawa Tengah dan Jawa Timur, dia kok pilih dapil yang selama ini sudah saya bina? Dapil ini sangat bagus basis masanya buat suara partai saya. Saya pikir saya yang ditempatkan di nomor urut satu, karena saya yang bina sejak awal. Tetapi menjelang penatapan nomor urut ke KPU (Komisi Pemilihan Umum), kok dia yang dijadikan nomor urut satu,” jelas MU.
Kedua, caleg berinisial NA dari Partai Golkar. NA awalnya dijanjikan nomor urut satu, tetapi pada saat keputusan nomor urut keluar, ia dialihkan ke nomor urut tiga untuk dapil Jawa Barat.
Sama seperti MU, NA juga keberatan dengan rapat internal partai yang dilaksanakan pada malam hingga dini hari. “Kami perempuan gak bisa ikut rapat sampai akhir. Jadi, kami gak tau perkembangan penting dan keputusan yang diambil. Kami gak bisa memonitor. Waktu-waktu begini yang sering tidak akrab dengan keberadaan kami sebagai ibu rumah tangga,” kata NA.
NA mengatakan bahwa Partai Golkar tak memberikan bantuan kampanye yang berarti pada saat ia mencalonkan diri. Departemen perempuan, menurutnya, tak punya otoritas terhadap partai.
“Di partai, semua orang sibuk berkompetisi. Jadi, jangan mengharapkan dukungan dari siapa,” kata NA.
Ketiga, caleg berinisial RI dari Partai Amanat Nasional (PAN). RI memberikan kesaksian bahwa partainya masih otoritarian, patriarkal, dan kental akan politik patronase. “Yang gak bisa cari muka atau gak mau tunduk sama bos besar ya tersingkir. DPP (Dewan Pimpinan Partai) didominasi oleh laki-laki dan itu berdasarkan kedekatan,” kata RI.
RI, seperti kesaksian dua perempuan caleg sebelumnya, mengatakan bahwa penentuan nomor urut calon ditentukan oleh tiga orang yakni ketua umum, ketua, dan ketua lembaga pemenangan pemilu. Orang yang ditempatkan di nomor urut satu, sebutnya, adalah pemilik dana besar yang tak cukup intelek.
“Ya kecewa. Saya sudah bekerja keras dan mengabdi kepada partai sejak awal, tapi tidak diberi nomor jadi. Waktu kampanye pun saya gak dapet bantuan dari partai,” kata RI.
Keempat, caleg berinisial FN dari PPP. Ia mendapatkan nomor urut empat untuk dapil Rembang, padahal ia sebelumnya dijanjikan nomor urut satu oleh Dewan Pimpinan Cabang (DPC). FN pun tak menerima bantuan kampanye dari partainya.
“Yang dapat nomor urut atas itu ya kepentingan senior partai,” tandas FN.
Kelima, caleg berinisial KM dari PDIP, nomor urut empat untuk dapil Yogyakarta. Ia ditelpon oleh Ketua Umum PDIP untuk bergabung dengan PDIP. Ia juga ditawarkan mengisi jabatan struktural, tetapi ia menolaknya karena jabatan struktural banyak intrik dan kasar.
Sama seperti caleg perempuan di atas, KM pun telah membina dapil sejak satu tahun sebelum masa kampanye. Ia dijanjikan nomor urut jadi. Namun, setelah nomor urut ditetapkan, ia turun ke nomor urut empat, nomor urut yang kemungkinan berhasil lolos kecil. Nomor urut satu hingga tiga diisi oleh caleg petahana yang sebelumnya telah menjabat sebagai legislator dan kader yang mempunyai jabatan struktural.
“Kalau partai membutuhkan dukungan tokoh masyarakat, mestinya mereka memperhatikan perjuangan si tokoh. Kalau partai benar-benar mau memberikan kesempatan kepada caleg perempuan yang berpotensi, harusnya gak begitu yang saya alami. Ternyata yang dapat nomor urut atas adalah yang punya jabatan struktural semua,” kata KM.
Agar kuota 30 persen perempuan terwujud tanpa mengorbankan sistem yang berkeadilan
Berdasarkan pengalaman lima perempuan caleg yang telah dijelaskan secara singkat, nampaknya tak berlebihan untuk menyimpulkan bahwa sistem proporsional tertutup dan sistem proporsional terbuka terbatas mematikan harapan caleg bernomor urut tiga ke bawah untuk terpilih. Terutama, caleg yang berkompetisi di dapil yang bukan merupakan basis masa partainya. Calon bernomor urut besar hanya menjadi tempelan di kertas suara, tanpa bisa menentukan peruntungannya sendiri.
Untuk perempuan, sistem proporsional tertutup menjadi hambatan di tengah penentuan nomor urut yang tak transparan, tak hadirnya keterwakilan perempuan di kepengurusan harian partai, dan tak tersedianya dukungan partai yang memadai bagi perempuan caleg dalam berkampanye.
Berbeda dengan sistem proporsional tertutup, sistem proporsional terbuka memenuhi prinsip demokrasi yang amat mendasar yakni pengakuan kedaulatan rakyat. Dalam sistem proporsional terbuka, ada semua kader punya kesempatan yang sama untuk terpilih. Hal ini baik bagi caleg perempuan, yang seringkali ditempatkan di nomor urut besar, setelah petahana legislator, pengurus harian partai, dan kalangan elit partai. Caleg yang takut pada sistem proporsional terbuka hanyalah pihak-pihak yang khawatir dirinya tak cukup sanggup mengumpulkan basis masa.
Tiga puluh persen keterwakilan perempuan di parlemen dapat diwujudkan melalui besaran dapil yang moderat, yakni 3 hingga 9 atau 10, ketentuan perempuan di nomor urut satu di 30 persen dapil, dan sistem proporsional terbuka murni. Dengan formulasi ini, keterwakilan perempuan di parlemen sebesar 30 persen niscaya terwujud, dan kita boleh berbangga, karena hasil pemilu merupakan pilihan rakyat, bukan semata pilihan partai.