November 27, 2024

Menyela Politisasi Abadi UU Pemilu

“Hukum adalah produk politik.”

Tampaknya, tak ada undang-undang yang lebih politis dibanding undang-undang pemilu. Regulasi mengenai kompetisi partai politik atau politisi meraih kursi kekuasaan ini merupakan produk hukum yang punya kepentingan politik kekuasaan yang tinggi. Para dewan kuat berkecenderungan menyusun sejumlah pasal dan ayat untuk mempertahankan bahkan memperluas kekuasaannya. Syarat kepesertaan calon dan partai politik di pemilu diperberat. Biaya politik dibuat amat mahal. Pemilu dan hasilnya bukan hanya diskriminatif tapi juga kurang ruang sirkulasi untuk mengevaluasi dan memperbaiki.

UU Pemilu merupakan salah satu regulasi yang amat buruk. Naskah akademik sabatas tempelan. Tujuan undang-undang dengan isi pasal dan ayatnya, tak sesuai. Pemisahan Bab, tak jelas. Setiap pemilu, undang-undang pemilu selalu baru dan selalu resmi disepakati pada waktu berhimpit dengan tahapan pemilu.

Pada Pemilu 2019, UU 7/2017 menjadi sebab sistemik yang membuat pemilu kelima pasca-Reformasi ini berkualias buruk. Penyelenggara pemilu,  pemilih, dan peserta harus menghadapi kompleksitas pemilu yang tak terkelola. Hasilnya, selain perolehan suara/kursi yang tak proporsioinal dan anggota parlemen yang tak representatif, ada ratusan petugas pemilu harus menjadi korban jiwa.

Mengoptimalkan jalur?

Untuk memperbaiki siklus undang-undang ini, kita perlu mengoptimalkan jalur yang ada. Pasal 5 UUD 1945 ayat (1) bertuliskan, Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Inisiatif undang-undang dari Presiden lebih mungkin terhindari dari kepentingan politik kekuasaan.

Tapi, merujuk UU 7/2017 yang digunakan di Pemilu 2019, Presiden tak berperhatian baik dalam mengoptimalkan kewenangannya memperbaiki politik Indonesia. Rancangan UU Pemilu inisiatif Presiden setali tiga uang keburukannya dengan undang-undang pemilu yang telah disahkan.

Bahkan, Presiden menguatkan hal-hal yang seharusnya dihilangkan dalam UU Pemilu. Contoh, Presiden mempertahankan ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden berupa persentase kursi parlemen/suara partai atau gabungan partai hasil pemilu sebelumnya (20%/25%). Bahkan, Presiden Joko Widodo ikut mengomentari syarat pencalonan yang berkaitan dengan kompetisi dirinya ini dengan pernyataan, “idealnya setiap pemilu ditambah persentasenya. Tapi yang ini dibikin sama saja.”

Presiden Jokowi pun menaikan usia minimal warga Indonesia mencalonkan presiden/wakil presiden. Pada Pemilu sebelumnya, syarat ini di angkat 35 tahun. Sedangkan pada Pemilu 2019, melalui UU 7/2017 inisiatif Presiden, usia minimal pencalonan presiden/wakil presiden menjadi 40 tahun.

Jalur kewenangan undang-undang ini pun dimiliki Presiden melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu). Pasal 22 UUD 1945, Presiden berhak menetapkan Perpu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa yang subjektivitasnya bisa dipertanggungjawabkan berdasar Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.

Sayangnya, jalur ini pun tak dioptimalkan memperbaiki siklus pembentukan undang-undang. Sejumlah Perpu malah menjadikan Presiden bersifat otoriter. Subjektivitas hal ihwal kegentingan memaksa malah berbuah Perpu 1/2016 tentang Kebiri, Perpu 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), dan Perpu 1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan. Sebelumnya, Jokowi hanya menggunakan kewenangan eksklusif dengan Perppu 1/2015 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hanya untuk mengisi kekosongan anggota hasil krimininalisasi.

Hukum baik dalam politik buruk?

Apa boleh buat, tak optimalnya pengupayaan perbaikan undang-undang melalui jalur eksekutif, mengharuskan kita memanfaatkan jalur alternatif. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi (MK), salah satunya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pada jalur inilah kita bisa menyela politisasi abadi UU Pemilu.

Melalui MK sebagai poros kekuasaan yudisial, regulasi yang baik lebih mungkin dihasilkan dengan mengoreksi regulasi buruk yang dihasilkan pembuat kebijakan. Terutama pada konteks buruknya kualitas lembaga legislatif dan eksekutif yang suplainya dari partai politik yang buruk melalui pemilu. Dari putusan final dan mengikat sembilan hakim konstitusi ini, ketentuan buruk dalam regulasi bisa batal bahkan menjadi modal perbaikan dalam revisi undang-undang berikutnya.

Eksistensi MK lahir dari kesadaran bahwa kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam mengeluarkan produk hukum harus dibatasi agar tak terjadi kesewenangan. Amandemen UUD 1945 yang melahirkan MK dan kewenangannya dalam menguji undang-undang, lahir dari Reformasi menyerta kesadaran pemilu yang amat buruk selama Orde Baru menghasilkan pejabat politik dan kebijakan yang beroritentasi pada perluasan kekuasaan.

Sebagai the guardian of the constitution, MK menjaga dan menjalankan check and balances. Kekuasaan harus diimbangi kekuasaan.

Sejumlah Putusan MK memang bisa memperburuk tapi secara umum masih dalam tren yang baik. Dari Putusan 14/PUU-XI/2013, MK pernah menghasilkan putusan pemilu serentak lima kotak yang menjadi salah satu sebab sistemik buruknya UU 7/2017 dan penyelenggaraan Pemilu 2019. Tapi, MK pun mengoreksinya melalui Putusan 55/PPU-XVII/2019, bahwa tiga pemilu (presiden, DPR, dan DPD) harus diserentakan dan memisahkan pemilu lainnya dengan tujuan perbaikan presidensial.

Tentu masih banyak pasal dalam ragam undang-undang politik yang harus diubah untuk menciptakan politik yang baik. Di tengah kebutuhan judicial review undang-undang bidang lain, kita perlu memetakan mana pasal-pasal dalam undang-undang yang prioritas untuk dibatalkan MK dan menerima permohonan kita untuk menjadi acuan revisi undang-undang. Selain dapat berdampak sistemik, prioritas di sini berarti pasal-pasal yang dimaksud cenderung dipertahankan oleh pembuat kebijakan sehingga pengupayaan melalui judicial review ke MK lebih mungkin dibanding melalui usulan dalam rancangan undang-undang kepada DPR/Pemerintah.

Berikut ketentuan dalam undang-undang politik (pemilu dan partai politik) yang sebaiknya diprioritaskan dalam permohonan ke MK:

  1. Proporsionalitas anggota serta transparansi keuangan parpol sebagai syarat kepesertaan pemilu bagi partai politik;
  2. Memproporsionalkan syarat pembentukan partai politik;
  3. Menghapus ambang batas pencalonan presiden dan kepala daerah;
  4. Menghapus ambang batas parlemen;
  5. Mengecilkan daerah pemilihan DPR/DPRD (3-6 kursi).

Melalui lima permohonan ketentuan itu, pemahaman “hukum adalah produk politik” menjadi berubah posisi. Politisasi abadi UU Pemilu bisa kita sela. Proses hukum yang baik dalam kekuasaan yudisial MK bisa mengubah politik buruk kekuasaan legislatif dan eksekutif menjadi baik. Ini tak serta merta tapi merupakan satu dari sedikit jalan perbaikan sistemik untuk bisa tetap positif dan optimis berdemokrasi. []

USEP HASAN SADIKIN